Jakarta (ANTARA) - Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai terdapat perbedaan calon tunggal di Pilkada 2024 dengan masa 2015 hingga 2020.
“Jadi, kalau calon tunggal 2015 dilakukan untuk memberikan akses pencalonan kepada partai. Pasca-2015, calon tunggal disertai motif untuk menutup akses pencalonan oleh partai dengan memborong semua tiket dari lebih 10 partai, sehingga partai-partai tersisa tidak mampu mengusung calon. Jadi, agak berbeda nih,” kata Titi dalam webinar yang disaksikan dari Jakarta, Minggu.
Selain itu, Titi menyebut terdapat ciri khas lain dari calon tunggal pada 2024, meskipun mulanya dia mengatakan bahwa pada 2015 calon tunggal diperbolehkan akibat putusan Mahkamah Konstitusi untuk menyelamatkan hak pilih, sedangkan pada 2024 terjadi praktik memborong tiket partai politik.
“Pada 2024 ditemukan karakter yang lebih khas dibandingkan 2015 sampai 2020 di mana sentralisasi pencalonan dan hegemoni pengurus pusat partai politik melalui rekomendasi dari DPP yang wajib itu membuat banyak ketidakpuasan di sejumlah daerah akibat adanya keterputusan aspirasi pencalonan,” jelasnya.
Baca juga: Akademisi UI: Calon tunggal bukan agenda lokal tapi nasional
Baca juga: Pilkada diulang tahun berikutnya jika calon tunggal kalah
Ia menjelaskan bahwa keterputusan aspirasi tersebut salah satunya tercermin dalam Pilkada Jakarta 2024.
“Di Jakarta ada Anies Baswedan, dan Ahok. Kok yang dicalonkan lain? Apalagi diimpor dari gubernur provinsi sebelah. Nah, itu yang menjadi problem,” katanya.
Menurut dia, akibat keterputusan aspirasi dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat, sehingga menimbulkan ekspresi ketidakpuasan dengan adanya gerakan mencoblos semua kandidat.
“Lalu, di daerah-daerah calon tunggal ada gerakan tandingan mendaftarkan kotak kosong setelah calon tunggal didaftarkan. Misalnya di Kota Pangkalpinang, Asahan, Gresik, serta beberapa daerah lain,” jelasnya.
Baca juga: Pragmatisme dan kurangnya kaderisasi sebabkan calon tunggal di Pilkada 2024
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ketidakpuasan tersebut turut membuat suara kosong, kotak kosong, atau gerakan tidak memilih calon tunggal menjadi wacana yang dibahas di ruang publik.
“Pembahasan blank vote, suara kosong, kotak kosong, atau none of the above, saya enggak pilih semuanya, itu menarik untuk dibincangkan karena ini soal formalisasi ekspresi politik yang berbeda bahwa tidak semua ekspresi politik itu dapat diwadahi oleh pasangan calon yang ada di kotak suara,” ujarnya.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum mencatat ada 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah atau calon tunggal pada Pilkada 2024 berdasarkan data per Rabu (4/9) pukul 23.59 WIB. Adapun 41 daerah itu terdiri atas satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota.
Baca juga: Berikut daftar daerah dengan satu pasangan calon pada Pilkada Serentak 2024
Baca juga: Calon tunggal perlu suara 50 persen lebih untuk terpilih
Berita Terkait
Akademisi UI: KPU perlu atur PKPU pilkada ulang tak lampaui 2025
Selasa, 17 September 2024 7:14
Akademisi UI: Calon tunggal bukan agenda lokal tapi nasional
Minggu, 8 September 2024 18:22
Pakar sebut KPU seharusnya tak tutup diagram suara di Sirekap
Kamis, 7 Maret 2024 5:33
Anggota Dewan Perludem berpesan jangan berlebihan gimik politik
Selasa, 23 Januari 2024 6:04
Catatan soal kemungkinan kotak kosong menang di dua daerah
Jumat, 29 November 2024 2:51
Pilkada Surabaya 2024 dan tantangan legitimasi calon tunggal
Kamis, 21 November 2024 11:01
Putusan MK soal desain surat suara patut diapresiasi
Selasa, 19 November 2024 3:40
MK putuskan Pilkada ulang digelar jika kotak kosong menang
Kamis, 14 November 2024 13:59