Beijing (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengungkapkan negaranya siap berdialog dengan negara-negara anggota ASEAN untuk mencari solusi terkait Laut China Selatan.
"China tetap berkomitmen untuk menyelesaikan perbedaan maritim dengan negara-negara terkait melalui dialog dan konsultasi atas dasar menghormati fakta sejarah dan hukum internasional," kata Mao Ning dalam konferensi pers di Beijing, Kamis.
China mengatakan hal itu guna menanggapi pernyataan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. yang mendesak para pemimpin negara anggota ASEAN untuk tidak menutup mata terhadap perkembangan di Laut China Selatan.
"Kami menyerukan kepada semua negara anggota ASEAN untuk tidak menutup mata terhadap tindakan agresif, koersif, dan ilegal dari kekuatan eksternal terhadap negara anggota ASEAN, kata Presiden Marcos Jr dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Vientiane, Laos pada Rabu (9/10).
Ia juga menambahkan, "Keheningan dalam menghadapi pelanggaran ini mengurangi ASEAN".
China, kata Mao Ning, akan terus bekerja sama dengan negara-negara ASEAN secara penuh dan efektif agar dapat mengimplementasikan Deklarasi Perilaku Para Pihak (DOC) di Laut China Selatan dan secara aktif memajukan konsultasi kode etik (code of conduct) di Laut Cina Selatan.
"Dengan upaya bersama China dan negara-negara ASEAN, situasi di Laut China Selatan umumnya stabil. China dengan tegas menentang setiap kegiatan pelanggaran dan provokasi, dan dengan tegas menjaga kedaulatan teritorial serta hak dan kepentingan maritimnya sendiri," ungkap Mao Ning.
"Sehingga bersama-sama menjadikan Laut China Selatan sebagai perairan yang penuh perdamaian, persahabatan, dan kerja sama," tambah Mao Ning.
Mao Ning mengungkapkan kebebasan navigasi di Laut China Selatan tidak pernah menjadi masalah.
"Kami berharap negara terkait akan dengan sungguh-sungguh menghormati upaya negara-negara di kawasan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan," ungkap Mao Ning.
Sebelumnya pada Agustus 2024, kapal penjaga pantai China dan Filipina terlibat setidaknya tiga insiden di Laut China Selatan termasuk di sekitar Sabina Shoal yang masuk dalam Kepulauan Spratly.
Pemerintah China mengeklaim memiliki hak kedaulatan dan yurisdiksi atas kepulauan yang disebut "Nanhai Zhudao" di Laut China Selatan yaitu terdiri dari Dongsha Qundao, Xisha Qundao, Zhongsha Qundao dan Nansha Qundao dan perairan di sekitarnya.
Baca juga: Indonesia-China mencapai 10 kesepakatan dagang
Secara khusus China dan Filipina kerap terlibat dalam konflik terbuka di pulau karang yang disebut China dengan nama "Ren'ai Jiao", sedangkan oleh Filipina sebagai "Beting Ayungin" merupakan bagian dari Kepulauan Spratly yang disengketakan kedua negara, selain juga beberapa negara Asia Tenggara lainnya.
Filipina menempatkan kapal perang BRP Sierra Madre sebagai "markas terapung" bagi penjaga pantai Filipina di terumbu karang tersebut sejak 1999.
Langkah yang telah dilakukan ASEAN dan China dalam menyelesaikan sengketa Laut China Selatan adalah penandatangan Deklarasi Perilaku Para Pihak (Declaration of Conduct/DoC) pada 2002. DoC merupakan perjanjian tidak mengikat yang menguraikan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa secara damai di perairan tersebut.
Baca juga: Anggapan China pesaing jangka panjang, tunjukkan hegemoni AS
DoC meminta para pihak untuk menahan diri dari aktivitas-aktivitas yang dapat mengancam atau mengerahkan pasukan, menyelesaikan perselisihan secara damai melalui dialog dan konsultasi, dan menghormati kebebasan berlayar dan terbang.
Hingga saat ini, ASEAN dan China masih berusaha untuk merumuskan Kode Pedoman Perilaku (Code of Conduct atau CoC) yang mengikat secara hukum guna menghindari konflik antarnegara yang saling bersengketa di wilayah tersebut.
"China tetap berkomitmen untuk menyelesaikan perbedaan maritim dengan negara-negara terkait melalui dialog dan konsultasi atas dasar menghormati fakta sejarah dan hukum internasional," kata Mao Ning dalam konferensi pers di Beijing, Kamis.
China mengatakan hal itu guna menanggapi pernyataan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. yang mendesak para pemimpin negara anggota ASEAN untuk tidak menutup mata terhadap perkembangan di Laut China Selatan.
"Kami menyerukan kepada semua negara anggota ASEAN untuk tidak menutup mata terhadap tindakan agresif, koersif, dan ilegal dari kekuatan eksternal terhadap negara anggota ASEAN, kata Presiden Marcos Jr dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Vientiane, Laos pada Rabu (9/10).
Ia juga menambahkan, "Keheningan dalam menghadapi pelanggaran ini mengurangi ASEAN".
China, kata Mao Ning, akan terus bekerja sama dengan negara-negara ASEAN secara penuh dan efektif agar dapat mengimplementasikan Deklarasi Perilaku Para Pihak (DOC) di Laut China Selatan dan secara aktif memajukan konsultasi kode etik (code of conduct) di Laut Cina Selatan.
"Dengan upaya bersama China dan negara-negara ASEAN, situasi di Laut China Selatan umumnya stabil. China dengan tegas menentang setiap kegiatan pelanggaran dan provokasi, dan dengan tegas menjaga kedaulatan teritorial serta hak dan kepentingan maritimnya sendiri," ungkap Mao Ning.
"Sehingga bersama-sama menjadikan Laut China Selatan sebagai perairan yang penuh perdamaian, persahabatan, dan kerja sama," tambah Mao Ning.
Mao Ning mengungkapkan kebebasan navigasi di Laut China Selatan tidak pernah menjadi masalah.
"Kami berharap negara terkait akan dengan sungguh-sungguh menghormati upaya negara-negara di kawasan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan," ungkap Mao Ning.
Sebelumnya pada Agustus 2024, kapal penjaga pantai China dan Filipina terlibat setidaknya tiga insiden di Laut China Selatan termasuk di sekitar Sabina Shoal yang masuk dalam Kepulauan Spratly.
Pemerintah China mengeklaim memiliki hak kedaulatan dan yurisdiksi atas kepulauan yang disebut "Nanhai Zhudao" di Laut China Selatan yaitu terdiri dari Dongsha Qundao, Xisha Qundao, Zhongsha Qundao dan Nansha Qundao dan perairan di sekitarnya.
Baca juga: Indonesia-China mencapai 10 kesepakatan dagang
Secara khusus China dan Filipina kerap terlibat dalam konflik terbuka di pulau karang yang disebut China dengan nama "Ren'ai Jiao", sedangkan oleh Filipina sebagai "Beting Ayungin" merupakan bagian dari Kepulauan Spratly yang disengketakan kedua negara, selain juga beberapa negara Asia Tenggara lainnya.
Filipina menempatkan kapal perang BRP Sierra Madre sebagai "markas terapung" bagi penjaga pantai Filipina di terumbu karang tersebut sejak 1999.
Langkah yang telah dilakukan ASEAN dan China dalam menyelesaikan sengketa Laut China Selatan adalah penandatangan Deklarasi Perilaku Para Pihak (Declaration of Conduct/DoC) pada 2002. DoC merupakan perjanjian tidak mengikat yang menguraikan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa secara damai di perairan tersebut.
Baca juga: Anggapan China pesaing jangka panjang, tunjukkan hegemoni AS
DoC meminta para pihak untuk menahan diri dari aktivitas-aktivitas yang dapat mengancam atau mengerahkan pasukan, menyelesaikan perselisihan secara damai melalui dialog dan konsultasi, dan menghormati kebebasan berlayar dan terbang.
Hingga saat ini, ASEAN dan China masih berusaha untuk merumuskan Kode Pedoman Perilaku (Code of Conduct atau CoC) yang mengikat secara hukum guna menghindari konflik antarnegara yang saling bersengketa di wilayah tersebut.