Beijing (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri China menyebut nelayan Filipina melakukan manuver di Laut China Selatan yang menyebabkan terjadinya insiden terbaru di perairan tersebut.
"Kapal-kapal penangkap ikan Filipina, meskipun China telah berulang kali mencegah dan memperingatkan, dengan sengaja berlabuh di laguna Xianbin Jiao dan berulang kali melakukan manuver berbahaya termasuk tiba-tiba berbelok dari jalur," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing, Senin.
Xianbin Jiao atau disebut Sabina Shoal oleh pihak lain adalah atol karang samudera yang terbentuk di atas sebuah gunung laut di bagian timur Kepulauan Spratly. Lokasinya sekitar 72 mil laut di barat laut Pulau Palawan dan 160 mil laut di barat laut Pulau Kalimantan. Sabina Shoal membentang hampir sepanjang 23 kilometer.
Guo Jiakun menyebut Xianbin Jiao adalah bagian dari Nansha Qundao milik China. Nansha Qundao lazim disebut sebagai kepulauan Spratly.
"China memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan atas Nansha Qundao, yang meliputi Xianbin Jiao, dan perairan sekitarnya. Pada 12 Desember, Filipina telah melakukan tindakan terorganisir dan terencana untuk mengirim sejumlah besar kapal guna melakukan provokasi dan menciptakan masalah di perairan lepas Xianbin Jiao serta memasuki laguna Xianbin Jiao," ungkap Guo Jiakun.
Baca juga: Mantan menteri olahraga China dijatuhi hukuman mati karena korupsi
"Filipina harus segera menghentikan pelanggaran, provokasi, dan pencemaran nama baiknya, menghentikan aksi-aksi nekatnya di laut, dan menahan diri dari menantang tekad kuat China untuk melindungi kedaulatan, hak, dan kepentingan kami," kata Guo Jiakun.
Atas insiden tersebut, Wakil Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat Thomas Pigott pada Minggu (14/12) mengatakan AS mengutuk tindakan China yang menyerang nelayan Filipina dengan meriam air dan memotong tali jangkar mereka di dekat Sabina Shoal di Laut China Selatan.
Pigott mengatakan tindakan agresif tersebut membahayakan mata pencaharian nelayan Filipina.
Baca juga: Pemerintah China siap bekerja sama dengan Vatikan
"Kami mendukung sekutu Filipina kami dalam menghadapi tindakan provokatif China dan taktik yang semakin berbahaya terhadap negara-negara tetangganya, yang merusak stabilitas regional," kata Pigott dalam keterangan tertulisnya di laman Kementerian Luar Negeri AS.
"AS bukanlah pihak dalam isu Laut Cina Selatan dan tidak berhak untuk ikut campur dalam masalah maritim antara pihak-pihak yang bersangkutan. AS harus berhenti membuat pernyataan yang memutarbalikkan fakta dan provokatif, serta berhenti membantu dan mendukung upaya Filipina untuk menciptakan masalah di Laut Cina Selatan," ungkap Guo Jiakun merespons pernyataan Pigott tersebut.
Sebelumnya penjaga pantai Filipina mengatakan mengatakan bahwa hampir dua lusin kapal penangkap ikan Filipina diserang kapal penjaga pantai China di dekat karang bernama Sabina Shoal pada Jumat (12/12).
Para nelayan Filipina itu mendapat semprotan bertekanan tinggi dari meriam air China dan kapal-kapal Tiongkok mencoba manuver penghalangan yang agresif.
Juru bicara penjaga pantai Filipina Jay Tarriela mengatakan tindakan "agresif" itu menyebabkan tiga nelayan Filipina mengalami cedera fisik termasuk memar dan luka terbuka serta dua kapal nelayan Filipina mengalami kerusakan signifikan.
Penjaga pantai Filipina juga menyebut selama insiden, satu kapal China memotong tali jangkar beberapa kapal Filipina sehingga membahayakan awak kapal mereka. Penjaga pantai Filipina disebut berhasil membantu nelayan Filipina tersebut.
Penjaga Pantai Filipina pun menyerukan kepada Penjaga Pantai China untuk mematuhi standar perilaku yang diakui secara internasional, memprioritaskan pelestarian kehidupan di laut dibanding upaya penegakan hukum yang membahayakan nyawa nelayan yang tidak bersalah.
China mengeklaim kedaulatan atas pulau-pulau di Laut China Selatan dan yurisdiksi atas perairan yang berbatasan dengan Laut China Selatan yang meliputi Spratlys (Nansha), Paracel (Xisha), Pratas (Dongsha), Macclesfield Bank (Zhongsha).
Di pulau-pulau tersebut juga terkandung minyak bumi maupun sebagai jalur perdagangan laut serta kaya akan ikan.
Untuk menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan, pada 2002, ASEAN dan China sudah menandatangani DOC yang berisi komitmen untuk "meningkatkan kondisi yang menguntungkan bagi solusi damai dan berkelanjutan atas perbedaan dan perselisihan di antara negara-negara terkait."
Namun, bertahun-tahun kemudian, negara-negara yang memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan yaitu China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Indonesia belum mencapai solusi atas sengketa tersebut.
Filipina pada 2013 kemudian mengajukan gugatan arbitrase terhadap China ke Mahkamah Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda sehingga pada 2016, Mahkamah memutuskan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sepanjang 200 mil laut (370 kilometer) menjadi hak Filipina untuk memanfaatkan energi dan sumber daya lainnya, tapi kawasan itu beririsan dengan perairan yang diklaim China sebagai wilayahnya.
Putusan tersebut juga menyatakan China telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dan menyebabkan "kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang" dengan membangun pulau-pulau buatan, reklamasi pulau yang dilakukan China di perairan tersebut dianggap mahkamah tidak memberi hak apa pun kepada pemerintah China.
Namun, China tidak pernah menerima keputusan Mahkamah Arbitrase tersebut dengan menyatakan melanggar prinsip-prinsip dasar hukum internasional karena tidak menyertakan pandangan yang menyeluruh dari China dan juga melanggar DOC yang sudah disepakati sebelumnya.
