Surabaya (ANTARA) - Di sebuah kampung dengan kehidupan yang sederhana, hiuduplah sepasang suami istri, sang  ayah yang sudah beranjak lanjut usia, ia bernama Pak Nanang dan putranya, Fahri. Anak anaknya yang lain sudah tinggal tak serumah, karena mereka bekerja jauh da nada yang sudah berumah tangga. Pak Nanang  adalah seorang guru sederhana yang bekerja keras sepanjang hidupnya untuk menghidupi Fahri sejak kecil. Ia membesarkan Fahri. Sang Istri, Harjani, adalah ibu rumah tangga biasa, yang saat ini juga  dalam keadaan sakit.  Meski dalam kedaan yang seperti ini, sang ibu tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi anaknya, Fahri. Seluruh tenaga dan waktunya ia curahkan untuk Fahri, harapannya sederhana: melihat anaknya tumbuh menjadi pribadi baik yang bisa mandiri dan punya kehidupan lebih baik darinya.

Demi pendidikan Fahri , Pak Nanang rela bekerja lebih keras. Hujan, panas, atau sakit tak pernah membuatnya berhenti bekerja, mengajari anak – anak di sekolah. Penghasilan  yang ia dapatkan hanya cukup untuk kebutuhan hidup sederhana, tetapi Pak Nanang selalu menyisihkan sebagian hasil kerjanya untuk membiayai sekolah Fahri. Di saat anak-anak di kampung, belajar dan bekerja untuk membantu orang tua mereka, Pak Nanang membebaskan Fahri  dari beban itu, agar ia bisa fokus belajar.

Namun, seiring waktu, Fahri mulai tumbuh menjadi pemuda yang pemberontak. Gaya hidup yang bossy, Fahri merasa malu dengan kehidupannya yang sederhana, dan merasa kekurangan.  dengan rumah mereka yang sederhana, dan dengan pekerjaan ayahnya sebagai seorang guru. Fahri sering merasa tidak puas dengan apa yang ia miliki. Seringkali malah menyusahkan orang tuanya, dengan bebrbagai alasan dan dalih, agar bisa memaksa orang tuanya memberikan sesuatu. Bukannya bersyukur atas pengorbanan ayahnya, Fahri malah mulai sering menjauh dengan kehidupan yang menurutnya baik. Sekolahpun tak mau, sekolah dianggap sebagai beban, karena menysahkan. Ia kerap berkata kasar pada Pak Nanang dan tak jarang meninggalkan rumah tanpa kabar, baru pulang malam atau bahkan pagi hari. Cara hidup sebagai seorang anak yang tak wajar, menyusahkan orang tua, membunuh masa depannya, belajar tak mau, hidup bersenang senang ia lakukan dengan menyusahkan orang lain terutama keluarga dan orang tuanya tanpa merasa bersalah. 

Pak Nanang  tak pernah mengeluh di depan Fahri. Ia hanya tersenyum, menahan kepedihan dan kekecewaan di hatinya, lalu berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa suatu hari, Fahri akan berubah dan menyadari betapa besar cinta dan pengorbanan ayahnya untuknya. Pak Nanang terus berdoa untuk kebaikan Fahri, berharap anaknya bisa hidup lebih baik suatu hari nanti. Pak Nanang meminta nasehat beberapa orang agar bisa sabar dan ridho menghadapi sikap anaknya yang seperti ini. 

Suatu hari, Fahri pulang ke rumah dengan perasaan lelah karena kecapaian seharian tidak tidur dan pulang pagi. Waktu jam sekolah, Pak Nanang bangunkan Fahri untuk sekolah, bukannya malah berterimaksih, malah marah karena merasa tidurnya terganggu. Pak Nanang tetap berusaha lembut menghadapi sikap fahri yang kasar dan tidak sopan ini. Namun justru sikapnya malah menjadi – jadi seolah tak pernah butuh terhadap orang tua. Pak Nanang , yang semakin tua dan rapuh, mencoba menasihati Fahri dengan sabar. Ia berkata, "Nak, harta tidak menentukan siapa kita, tapi ilmulah yang akan mengangkat derajat kita, dengan ilmu itulah kita bisa bertahan hidup nak .” 

Tetapi Fahri yang sedang terbakar emosi malah membentak ayahnya. “Apa yang Ayah tahu soal kehidupan yang lebih baik? Ayah cuma guru yang bahkan tidak bisa memberikan apa yang aku mau!”

Kalimat itu menampar hati Pak Nanang seperti belati. Namun, ia tetap tenang dan berkata, "Ayah memang hanya guru, Nak, tapi setiap ilmu yang Ayah ajarkan, setiap hari sekolah yang bisa kau tempuh, semua itu dari hasil kerja ayah sebagai seorang guru. Tidakkah kau tahu, Ayahmumu ini berjuang dari satu tempat ke tempat lain, yang Ayah pikirkan hanya kamu nak dan masa depanmu”,  Pak Nanang menunduk, membiarkan air mata jatuh dalam diam. “Ayah hanya berharap, kelak kamu bisa bertanggung jawab karena kamu kelak akan berkeluarga dan membiayai keluarga yang kamu bangun nak”, ungkap Pak Nanang dengan wajah berpeluh. 

Waktu berlalu, dan Pak Nanang semakin tua dan sakit-sakitan. Meski tubuhnya semakin lemah, ia tetap bekerja semampunya. Fahri , yang kini beranjak remaja, semakin jarang pulang dan semakin jarang berkomunikasi. Pak Nanang merasa sangat kesepian, tetapi ia tidak pernah mengeluh. Dia selalu berpikir, "Mungkin Fahri sedang sibuk, mungkin dia merencanakan sesuatu diluaran sana untuk masa depannya”. Pak Nanang berusaha menghibur hatinya agar tidak terlalu kecewa dan bersedih. 

Fahri selalu asyik dengan kehidupannya, bersenang – senang, tak sadar sikapnya membuat Pak Nanang tertekan, begitu juga dengan sang ibu. Pikiran dan hati yang gundah dikeduanya, ternyata menjadi penyebab penyakit yang menggerogoti kesehatannya. Sang ayah berusaha tegar menyembunyikan rasa sakitnya, begitu juga sang ibu, namun tubuh sang ibu sang ibu tak kuasa menutupi kepedihan hatinya. Fahri tak kunjung jua menyadari itu semua, masih tetap hidup bergaya bossy, tapi tak mengerti keberadaan orang tuanya yang semakin terpuruk. 

Suatu hari, fahri mendapati ayahnya sakit dan ibunya yang juga dalam keadaan sakit. Namun karena jauhnya dari hidayah Allah, Fahri tak pernah mau tahu keadaan kedua orang tua, yang ada pada pikirannya, permintaanya harus dipenuhi, kalau nggak, maka barang barang dirumah akan dirusak. Hidup Fahri semakin jauh dari hidayah dan keberkahan dari orang tua. Namun ayah dan bundanya tetap sabar menghadap itu semua. Keduanya punguti barang – barang yang dirusak, tanpa mengucapkan sepatah katapun, meski umpatan dan kata kata kasar datang bertubi tubi. Sang ayah dan bundanya hanya diam sambil berdoa berharap agar sikap Fahri berubah dan diberi hidayah. 

Tak kuat menahan perlakuan sang anak, Pak Nanang dan istrinya tak kuasa menahan peri batin dan pikirannya. Suatu hari sang Ayah mengeluh sakit, dan kepalanya terasa pusing sekali, serta lambungnya terasa perih. Seperti biasanya harjani, sang istri memberikan obat persediaan yang ada, sambil bergumam, yang sabar ya ayah. Mendengar harapan istrinya, Pak Nanang hanya terdiam dan menatap wajah sang istri denga penuh kasih saying. Pak Nanang mengangguk dan meminta kepada sang sitri untuk beristirahat. Tiba waktu sholat Ashar, Sang istri membangunkan Pak Nanang, tapi Pak Nanang tak beranjak bangun, Pak Nanang hanya terdiam beku, tak menjawab dan tak bergerak. Mendapati Pak Nanang yang seperti, Harjani berteriak dan menangis, sehingga tetangga mendengar teriakannya. Para tetangga datang dan melihat keadaan ibu Harjani, mereka liha t ibu Harjani menangis, memeluk Pak nanang yang kini terbujur kaku dengan wajah membiru. 

Fahri tak tahu itu, dia keluar bermain, bersenang – senang bersama kawan – kawannya. Baginya hidup adalah bagaimana membuat dirinya senang, tak mau tahu dari mana bisa senang dan bagaimana kedaan orang tuanya. Ditengah kesenangannya, Fahri mebdapatkan Wa dari ibunya, nak kamu nggak pulang ta, kamu lihat ayahmu, ayahmu sudah nggak ada. 

Harjani dengan dibantu oleh tetangga, mencoba menghubungi anak – anaknya yang lain yang sudah berumah tangga dan bekerja jauh dan tak serumah. Fahri juga tak kunjung menjawab wa sang bunda. Tapi nampaknya wa sang bunda membuat Fahri tergerak untuk pulang dan memastikan keadaan sang ayah dan ibunya dirumah. Fahri melihat banyak orang dirumah, menenangkan sang ibu dan mempersiapkan kebutuhan untuk membersihkan Pak Nanang yang kini telah menjadi mayat menghadap sang Khaliq. 

Fahri hanya terdiam, melihat suasana rumah yang dipenuhi dengan kedukaan, tiba – tiba dia mendekati jasad sang ayah dan menangis akibat kepergiannya. Fahri merasa bersalah, tapi semua sudah terlambat, sang Ayah sudah pergi meninggalkan dia dan keluarga yang lainnya untuk selama lamanya. Sang ibu yang sebatangkara, tentu tak akan sanggup menghadapi hidup ini sendirian, apalagi sang bunda tak bekerja, kecualai hanyalah seorang ibu rumah tangga. Mau tidak mau setelah ini , fahri harus menghadapi hidup sendirian. Hal yang sangat ditakutkan oleh Pak Nanang adalah bagaimana bisa bertahan hidup dengan ilmu yang taka da dan sikap yang tak bisa menghargai orang tua. Bukankah Nabi Muhammad mengatakan bahwa ridho Allah itu bergantung pada ridho orang tua. 

Tangisan Fahri sebagai tangisan penyesalan tentu tak akan bisa mengubah takdir yang ada saat ini. Sang ayah harus pergi selama lamanya. Sikap lembut dan perhatian sang Ayah tak akan dia temukan lagi, kini dia harus berjuang, penyesalan yang tak ada arti. 

Setelah kepergian Pak Nanang, Ibu Harjani memutuskan untuk meninggalkan rumah dan ikut salah satu anaknya. Sang ibu hanya butuh pikirannya tenang menghadapi masa tuanya yang sebatang kara. Ibu Harjani sudah tak sanggup lagi menghadapi sikap sang anak. Dia hanya berharap rumah yang dia bangun bersama sang ayah, alamrhum, menjadi surge, kini telah menjelma menjadi neraka karena perbuatan sang anak laki lakinya, Fahri. Ditengah persiapannya meninggalkan rumah, Harjani menemukan sebuah catatan tulisan yang ditulis oleh Pak nanang yang berisi tentang isi hatinya selama ini. Harjani kemudian memanggil fahri dan menyerahkan tulisan itu agar dibaca.  
"Fahri, anakku sayang,

Maafkan Ayah yang tidak bisa memberimu kehidupan yang berlimpah. Maaf jika Ayah sering tidak mengerti perasaanmu. Setiap hari Ayah berdoa agar hidupmu lebih baik, agar kau bisa menjadi seseorang yang bisa ayah banggakan. Maafkan ayah, jika tidak bisa menemanimu lebih lama. Semoga kau selalu sehat dan bahagia, Nak.

Ayahmu yang selalu mencintaimu"
Fahri menangis tersedu-sedu di kamar itu, menyesali segala kata-kata kasar yang pernah ia ucapkan pada ayahnya. Ia menyadari betapa besar pengorbanan ayahnya, betapa setiap tetes keringat Pak Nanang adalah bentuk cinta yang tanpa pamrih. Hatinya hancur menyadari bahwa orang yang paling mencintainya di dunia ini telah pergi tanpa pernah mendengar ucapan terima kasih darinya. Kini ia hanya bisa meratap dalam penyesalan, menyadari bahwa kasih sayang ayahnya adalah harta terbesar yang pernah ia miliki, yang kini tak akan pernah bisa ia balas.


Surabaya, 6 November 2024

*) Penulis adalah Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

Pewarta : Isa Ansori*)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2024