Lombok Barat, NTB (ANTARA) - Direktur Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Negeri Lombok Ali Muhtasom mengingatkan dan mendorong pemerintah daerah (pemda) untuk menghidupkan kembali kawasan wisata Senggigi di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai destinasi unggulan wisatawan.
"Senggigi itu sudah lebih dulu mendunia. Jadi namanya sudah mendunia. Titik baliknya ada pada fase COVID-19. Itu hampir semua berdampak. Setelah itu bisnis di sana pergerakannya pelan. Banyak hotel tutup. Jadi banyak hotel tutup sebagian buka sebagian tidak sampai sekarang," ujar Ali Muhtasom, di Lombok Barat, Kamis.
Ia mengatakan berbicara destinasi Senggigi dulu bisa berjalan maksimal pengelolaannya, karena pendapatan daerah banyak, sehingga ada modal untuk mengelola.
Namun, hari ini menurutnya, terbatas sehingga butuh komitmen pemerintah daerah terutamanya terhadap intervensi anggaran, agar bisa menghidupkan atau membangkitkan kawasan wisata Senggigi sebagai destinasi unggulan.
"Jadi kalau memang Senggigi itu kita ingin hidupkan kembali atau 'Senggigi Reborn' kita menyebutnya, harus ada konsep ulang pengelolaan wisata Senggigi," kata Ali Muhtasom pula.
Ali menyatakan, kenapa menghidupkan kembali wisata Senggigi harus dilakukan, karena destinasi itu memiliki potensi yang cukup besar bagi pariwisata NTB.
"Di sekitar Senggigi yang berkembang itu Tiga Gili (Trawangan, Air, dan Meno). Sedangkan Senggigi belum, padahal potensinya besar sekali," ujarnya lagi.
Oleh karena itu, menurut Ali, yang perlu dilakukan saat ini dan harus dilakukan secara terus-menerus, adalah mengedukasi masyarakat di sekitar kawasan wisata Senggigi untuk berbenah. Misalnya bagaimana kebersihan destinasi dari sampah.
"Masyarakat harus diedukasi ulang melalui intervensi dari pemerintah daerah karena kalau hanya imbau-imbau nggak akan berdampak. Jadi memang harus ada suatu konsep, kemudian ada yang mengawal. Ada petugas yang disiagakan misalkan Sat Pol PP. Tapi tugas Pol PP dalam kapasitas edukasi. Tanpa itu tidak akan bisa," kata Ali.
Selain kawasan wisata Senggigi, destinasi wisata lain di NTB juga harus diperlakukan hal yang sama. Seperti halnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Pemberian edukasi terhadap masyarakat juga harus dilakukan secara terus-menerus. Apalagi di KEK Mandalika terdapat tujuh desa penyangga yang harus terus dibina.
Baca juga: Poltekpar sebut NTB perlu diversifikasi destinasi wisata baru
"Jadi dimulai desanya dulu. Di Mandalika ada tujuh desa. Masing-masing desa harus ditetapkan satu persatu potensinya apa, keunggulannya apa. Jadi jangan sama keunggulannya namun harus digali terus potensinya," katanya lagi.
Selanjutnya, yang tidak kalah penting harus dilakukan adalah bagaimana pengembangan pariwisata itu melibatkan masyarakat di dalamnya.
Baca juga: Poltekpar NTB gelar Mandalika Internasional Festival 2024 pada 24-25 Oktober
"Jadi basis pengembangannya itu harus masyarakat, bukan keinginan pihak lain (investor), sehingga masyarakatnya menjadi termotivasi. Kalau pun ada kehadiran investor itu sebagai penyemangat, jangan dibalik mengikuti kemauan investor. Tapi bagaimana harus kolaborasi, saling menguatkan dan saling menguntungkan," katanya pula.
Disamping itu, kata Ali, di masing-masing destinasi itu harus ada tokoh yang bisa menjadi motor penggerak, sebagai motivasi. Karena berbicara desa wisata itu bukan membangun yang baru, namun apa yang sudah ada menjadi kearifan lokal setempat yang kemudian harus ditonjolkan atau diunggulkan.
"Jadi prinsipnya di situ bukan kita membuang apa yang menjadi kearifan lokal setempat, tetapi kearifan lokal itulah yang kemudian diunggulkan sebagai atraksi wisata," katanya lagi.
"Senggigi itu sudah lebih dulu mendunia. Jadi namanya sudah mendunia. Titik baliknya ada pada fase COVID-19. Itu hampir semua berdampak. Setelah itu bisnis di sana pergerakannya pelan. Banyak hotel tutup. Jadi banyak hotel tutup sebagian buka sebagian tidak sampai sekarang," ujar Ali Muhtasom, di Lombok Barat, Kamis.
Ia mengatakan berbicara destinasi Senggigi dulu bisa berjalan maksimal pengelolaannya, karena pendapatan daerah banyak, sehingga ada modal untuk mengelola.
Namun, hari ini menurutnya, terbatas sehingga butuh komitmen pemerintah daerah terutamanya terhadap intervensi anggaran, agar bisa menghidupkan atau membangkitkan kawasan wisata Senggigi sebagai destinasi unggulan.
"Jadi kalau memang Senggigi itu kita ingin hidupkan kembali atau 'Senggigi Reborn' kita menyebutnya, harus ada konsep ulang pengelolaan wisata Senggigi," kata Ali Muhtasom pula.
Ali menyatakan, kenapa menghidupkan kembali wisata Senggigi harus dilakukan, karena destinasi itu memiliki potensi yang cukup besar bagi pariwisata NTB.
"Di sekitar Senggigi yang berkembang itu Tiga Gili (Trawangan, Air, dan Meno). Sedangkan Senggigi belum, padahal potensinya besar sekali," ujarnya lagi.
Oleh karena itu, menurut Ali, yang perlu dilakukan saat ini dan harus dilakukan secara terus-menerus, adalah mengedukasi masyarakat di sekitar kawasan wisata Senggigi untuk berbenah. Misalnya bagaimana kebersihan destinasi dari sampah.
"Masyarakat harus diedukasi ulang melalui intervensi dari pemerintah daerah karena kalau hanya imbau-imbau nggak akan berdampak. Jadi memang harus ada suatu konsep, kemudian ada yang mengawal. Ada petugas yang disiagakan misalkan Sat Pol PP. Tapi tugas Pol PP dalam kapasitas edukasi. Tanpa itu tidak akan bisa," kata Ali.
Selain kawasan wisata Senggigi, destinasi wisata lain di NTB juga harus diperlakukan hal yang sama. Seperti halnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Pemberian edukasi terhadap masyarakat juga harus dilakukan secara terus-menerus. Apalagi di KEK Mandalika terdapat tujuh desa penyangga yang harus terus dibina.
Baca juga: Poltekpar sebut NTB perlu diversifikasi destinasi wisata baru
"Jadi dimulai desanya dulu. Di Mandalika ada tujuh desa. Masing-masing desa harus ditetapkan satu persatu potensinya apa, keunggulannya apa. Jadi jangan sama keunggulannya namun harus digali terus potensinya," katanya lagi.
Selanjutnya, yang tidak kalah penting harus dilakukan adalah bagaimana pengembangan pariwisata itu melibatkan masyarakat di dalamnya.
Baca juga: Poltekpar NTB gelar Mandalika Internasional Festival 2024 pada 24-25 Oktober
"Jadi basis pengembangannya itu harus masyarakat, bukan keinginan pihak lain (investor), sehingga masyarakatnya menjadi termotivasi. Kalau pun ada kehadiran investor itu sebagai penyemangat, jangan dibalik mengikuti kemauan investor. Tapi bagaimana harus kolaborasi, saling menguatkan dan saling menguntungkan," katanya pula.
Disamping itu, kata Ali, di masing-masing destinasi itu harus ada tokoh yang bisa menjadi motor penggerak, sebagai motivasi. Karena berbicara desa wisata itu bukan membangun yang baru, namun apa yang sudah ada menjadi kearifan lokal setempat yang kemudian harus ditonjolkan atau diunggulkan.
"Jadi prinsipnya di situ bukan kita membuang apa yang menjadi kearifan lokal setempat, tetapi kearifan lokal itulah yang kemudian diunggulkan sebagai atraksi wisata," katanya lagi.