Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menginisiasi revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga karena dinilai banyak kelemahan dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga yang jumlahnya cenderung meningkat.

"UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) harus lebih powerful. Ini akan diusulkan ke DPR. Harus masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dulu," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Eni Widiyanti di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, dari jumlah kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, sebagian besar adalah kekerasan dalam rumah tangga.

"Berdasarkan data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), 74 persen kekerasan itu terjadi di rumah tangga. Pelakunya 54 persen adalah suami, 13 persen mantan pacar, kemudian ada orang tua, guru, saudara," kata Eni Widiyanti.

Padahal Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. "Kita sudah punya UU PKDRT yang usianya sudah 20 tahun, kenapa ini (KDRT) masih tinggi?" katanya.

Baca juga: Cekcok panen tembakau, Suami di Dompu gorok Istri hingga tewas

Menurut Eni Widiyanti, terdapat beberapa kendala dalam menerapkan UU PKDRT. Pihaknya mencontohkan kasus KDRT yang dilaporkan ke polisi, berakhir secara restorative justice atau damai.

Selain itu, polisi tidak bisa menindaklanjuti kasus KDRT yang laporannya dicabut.

Baca juga: Pemerintah harus punya bank data Femisida

"Beberapa kasus KDRT berujung meninggal. Ternyata dia (korban) sudah melapor, lalu (laporan) dicabut. Polisi sudah tidak bisa ngapa-ngapain (menindaklanjuti kasus) karena ini delik aduan," kata Eni Widiyanti.

Sementara situasi KDRT terus terjadi terhadap korban.

"Siklus KDRT yang berulang itu kadarnya meningkat. Yang tadinya dipukuli, lama-lama digorok, meninggal-lah korban," katanya.

Pihaknya juga menyoroti kasus lainnya, di mana istri dari perkawinan siri tidak bisa diproses dengan menggunakan UU PKDRT.

"Ini perbedaan penafsiran. Padahal suami, istri, anak, orang tua, kakek, nenek, paman, bibi, bahkan pekerja rumah tangga, supir, tukang kebun yang tinggal di rumah yang sama, bisa (diproses dengan UU PKDRT), termasuk istri siri," kata Eni Widiyanti.

 

 

Pewarta : Anita Permata Dewi
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024