Jakarta (ANTARA) - Ahli sekaligus Profesor Riset Bidang Sistem Usaha Pertanian, Agribisnis, dan Kelembagaan Usaha Tani dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yusuf mengemukakan strategi penguatan kelembagaan pertanian di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Dalam Sidang Terbuka Pengukuhan Profesor Riset BRIN di Jakarta, Selasa, Yusuf mengungkapkan sistem usaha pertanian (SUP) di wilayah yang mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur itu masih menghadapi tantangan seperti keterbatasan infrastruktur, akses permodalan, serta kelembagaan petani yang belum optimal, meskipun memiliki potensi besar di bidang pertanian.
"Diperlukan reformulasi strategi yang mengintegrasikan alih teknologi dan penguatan kelembagaan pertanian di KTI," katanya.
Oleh karena itu, Yusuf mengungkapkan tiga hal utama yang menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, dinamisasi SUP di KTI perlu dilakukan melalui introduksi inovasi yang memungkinkan adaptasi teknologi tepat guna dan penguatan kelembagaan.
Hal ini, kata dia, bisa diakselerasi dengan memperkuat Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP), sebagai penghubung antara Kementerian Pertanian, lembaga penelitian seperti BRIN, perguruan tinggi, sektor swasta, dan institusi terkait.
Baca juga: Hasil pertanian Kopontren Al-Ittifaq bisa dukung program MBG
"BSIP perlu menjadi penggerak kolaborasi untuk memastikan pengembangan dan diseminasi teknologi berjalan berkelanjutan, menjawab kebutuhan masyarakat tani di KTI yang sering terisolasi dari akses teknologi," ujarnya.
Kedua, kata Yusuf, penyusunan kerangka kebijakan alih teknologi dan kelembagaan pertanian harus dirancang agar mendorong percepatan transfer teknologi dan pemberdayaan kelembagaan pada tingkat lokal.
Ia menilai langkah ini dapat meningkatkan akses petani terhadap teknologi, modal, dan pasar.
Baca juga: Perlu petani milenial agar sektor pertanian tidak menua
"Korporasi petani juga membantu petani kecil mengatasi keterbatasan, seperti minimnya informasi teknologi dan keterbatasan permodalan, sekaligus mengintegrasikan rantai pasok agribisnis dengan pasar domestik maupun internasional," ucapnya.
Ketiga, lanjut Yusuf, penerapan reformulasi kebijakan melalui implementasi strategis yang responsif terhadap kondisi lapangan menjadi kunci keberhasilan dari keseluruhan langkah ini.
"Melalui sinergi kebijakan, teknologi adaptif, dan kelembagaan yang kuat, pengembangan pertanian di KTI diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat setempat," tutur Yusuf.
Dalam Sidang Terbuka Pengukuhan Profesor Riset BRIN di Jakarta, Selasa, Yusuf mengungkapkan sistem usaha pertanian (SUP) di wilayah yang mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur itu masih menghadapi tantangan seperti keterbatasan infrastruktur, akses permodalan, serta kelembagaan petani yang belum optimal, meskipun memiliki potensi besar di bidang pertanian.
"Diperlukan reformulasi strategi yang mengintegrasikan alih teknologi dan penguatan kelembagaan pertanian di KTI," katanya.
Oleh karena itu, Yusuf mengungkapkan tiga hal utama yang menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, dinamisasi SUP di KTI perlu dilakukan melalui introduksi inovasi yang memungkinkan adaptasi teknologi tepat guna dan penguatan kelembagaan.
Hal ini, kata dia, bisa diakselerasi dengan memperkuat Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP), sebagai penghubung antara Kementerian Pertanian, lembaga penelitian seperti BRIN, perguruan tinggi, sektor swasta, dan institusi terkait.
Baca juga: Hasil pertanian Kopontren Al-Ittifaq bisa dukung program MBG
"BSIP perlu menjadi penggerak kolaborasi untuk memastikan pengembangan dan diseminasi teknologi berjalan berkelanjutan, menjawab kebutuhan masyarakat tani di KTI yang sering terisolasi dari akses teknologi," ujarnya.
Kedua, kata Yusuf, penyusunan kerangka kebijakan alih teknologi dan kelembagaan pertanian harus dirancang agar mendorong percepatan transfer teknologi dan pemberdayaan kelembagaan pada tingkat lokal.
Ia menilai langkah ini dapat meningkatkan akses petani terhadap teknologi, modal, dan pasar.
Baca juga: Perlu petani milenial agar sektor pertanian tidak menua
"Korporasi petani juga membantu petani kecil mengatasi keterbatasan, seperti minimnya informasi teknologi dan keterbatasan permodalan, sekaligus mengintegrasikan rantai pasok agribisnis dengan pasar domestik maupun internasional," ucapnya.
Ketiga, lanjut Yusuf, penerapan reformulasi kebijakan melalui implementasi strategis yang responsif terhadap kondisi lapangan menjadi kunci keberhasilan dari keseluruhan langkah ini.
"Melalui sinergi kebijakan, teknologi adaptif, dan kelembagaan yang kuat, pengembangan pertanian di KTI diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat setempat," tutur Yusuf.