Jakarta (ANTARA) - Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Darmansjah Djumala menyoroti formulasi bahasa dalam pernyataan bersama Indonesia-China, dengan menilai bahwa pernyataan bersama itu idealnya untuk meminimalkan konflik.
Pada seminar “Navigate the Future of the Indo-Pacific” di Jakarta, Kamis, mantan duta besar Indonesia untuk Polandia itu berpendapat pernyataan bersama tersebut tidak akan menimbulkan ketegangan jika frasa “klaim tumpang tindih” tidak disebutkan.
Presiden Prabowo Subianto, saat berkunjung ke China pada 9 November, menyepakati pernyataan bersama dengan Presiden China Xi Jinping terkait penguatan kerja sama strategis dan komprehensif di sejumlah bidang.
Dalam pernyataan yang memuat 14 poin tersebut, Indonesia dan China sepakat membangun pola baru kerja sama dan pembangunan di semua lini, termasuk interaksi antarmasyarakat, kerja sama pembangunan maritim, serta kerja sama pertahanan dan keamanan.
Djumala mengatakan kerja sama maritim Indonesia-China itu diharapkan dapat mengurangi potensi konflik.
Ia menambahkan bahwa kerja sama pembangunan bahkan dianjurkan dalam Kode Etik (Code of Conduct/COC) dan klausa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) diikuti dengan promosi yang baik. Djumala menekankan bahwa Indonesia tidak memiliki klaim di Laut China Selatan.
“Posisi teritorial laut dan ZEE kami sangat jelas. Kami punya koordinatnya dan itu sudah tercantum dalam UNCLOS 1982. Itu tercatat jelas,” katanya. Ia menambahkan bahwa China tidak pernah menyatakan koordinat sembilan garis putus-putus.
Namun, Djumala kembali menyebutkan penggunaan frasa “klaim tumpang tindih” itulah yang membuat situasi jadi bermasalah. Kalau frasa itu tidak ada, semua akan berjalan lancar, ujarnya.
Djumala juga berpendapat seharusnya ada frasa tambahan lagi yang menyebutkan "kerja sama pembangunan sesuai aturan internasional UNCLOS 1982" dalam pernyataan bersama tersebut.
“Kalau saya ada di sana, saya akan dorong (untuk memasukkan frasa UNCLOS 1982)”, ujar Djumala.
Baca juga: PHE OSES komitmen jadikan keselamatan dan keamanan laut prioritas utama
Mantan duta besar yang pernah bertugas di Austria itu juga menilai bahwa komunitas Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tidak perlu khawatir mengenai kerja sama maritim Indonesia-China.
“Ini sangat bilateral, (kerja sama maritim Indonesia-China) tidak mengubah komitmen kami terhadap aturan maritim bilateral kita. Tidak ada yang berubah,” kata Djumala pada seminar tersebut.
Baca juga: Indonesia mendorong efisiensi biaya operasional logistik di ajang MSW
Mantan duta besar yang pernah menjadi Utusan Tetap untuk PBB itu mengatakan komunitas ASEAN perlu menunggu sampai pernyataan bersama itu dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.
Pada seminar “Navigate the Future of the Indo-Pacific” di Jakarta, Kamis, mantan duta besar Indonesia untuk Polandia itu berpendapat pernyataan bersama tersebut tidak akan menimbulkan ketegangan jika frasa “klaim tumpang tindih” tidak disebutkan.
Presiden Prabowo Subianto, saat berkunjung ke China pada 9 November, menyepakati pernyataan bersama dengan Presiden China Xi Jinping terkait penguatan kerja sama strategis dan komprehensif di sejumlah bidang.
Dalam pernyataan yang memuat 14 poin tersebut, Indonesia dan China sepakat membangun pola baru kerja sama dan pembangunan di semua lini, termasuk interaksi antarmasyarakat, kerja sama pembangunan maritim, serta kerja sama pertahanan dan keamanan.
Djumala mengatakan kerja sama maritim Indonesia-China itu diharapkan dapat mengurangi potensi konflik.
Ia menambahkan bahwa kerja sama pembangunan bahkan dianjurkan dalam Kode Etik (Code of Conduct/COC) dan klausa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) diikuti dengan promosi yang baik. Djumala menekankan bahwa Indonesia tidak memiliki klaim di Laut China Selatan.
“Posisi teritorial laut dan ZEE kami sangat jelas. Kami punya koordinatnya dan itu sudah tercantum dalam UNCLOS 1982. Itu tercatat jelas,” katanya. Ia menambahkan bahwa China tidak pernah menyatakan koordinat sembilan garis putus-putus.
Namun, Djumala kembali menyebutkan penggunaan frasa “klaim tumpang tindih” itulah yang membuat situasi jadi bermasalah. Kalau frasa itu tidak ada, semua akan berjalan lancar, ujarnya.
Djumala juga berpendapat seharusnya ada frasa tambahan lagi yang menyebutkan "kerja sama pembangunan sesuai aturan internasional UNCLOS 1982" dalam pernyataan bersama tersebut.
“Kalau saya ada di sana, saya akan dorong (untuk memasukkan frasa UNCLOS 1982)”, ujar Djumala.
Baca juga: PHE OSES komitmen jadikan keselamatan dan keamanan laut prioritas utama
Mantan duta besar yang pernah bertugas di Austria itu juga menilai bahwa komunitas Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tidak perlu khawatir mengenai kerja sama maritim Indonesia-China.
“Ini sangat bilateral, (kerja sama maritim Indonesia-China) tidak mengubah komitmen kami terhadap aturan maritim bilateral kita. Tidak ada yang berubah,” kata Djumala pada seminar tersebut.
Baca juga: Indonesia mendorong efisiensi biaya operasional logistik di ajang MSW
Mantan duta besar yang pernah menjadi Utusan Tetap untuk PBB itu mengatakan komunitas ASEAN perlu menunggu sampai pernyataan bersama itu dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.