Mataram, (Antaranews NTB) - Perwakilan pemuda dari Komite Nasional Pemuda Indonesia Cabang Soromandi, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, menilai pemerintah terkesan memaksa petani jagung untuk menanam bibit bantuan yang tidak cocok dengan kondisi lahan pertanian.
"Masyarakat petani di sini dipaksa bersyukur walaupun kondisi bibit yang diberikan tidak baik. Jadi muncul kesan kalau pemerintah ini memaksa petani menanam bibit yang ada," kata Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Soromandi Baharudin yang dihubungi wartawan di Bima, Jumat.
Belum lagi adanya dugaan persoalan kelompok tani (poktan) siluman. Baharudin menduga munculnya poktan siluman ini tidak terlepas dari ulah para pihak di UPTD dan PPL Kecamatan Soromandi.
Termasuk adanya dugaan penyaluran bibit yang tidak sesuai dengan luasan lahan petani. Persoalan seperti ini, jelasnya, hampir terjadi di seluruh kelompok tani di wilayah Soromandi.
Dengan berbagai persoalan yang dia dapatkan di lapangan, Baharudin berharap pemerintah serius dalam menjalankan program bantuan ini. Bahkan diharapkan perlu adanya perbaikan serta pengawalan program yang konsisten dari pihak pemerintah.
Melihat kondisi tersebut, seorang akademisi dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima, Nusa Tenggara Barat, Yaser Arafat, turut angkat bicara. Dia lebih menyoroti peran pemerintah dalam menjalankan program bantuan pertanian tersebut.
Ketika dihubungi wartawan di Bima, Jumat, Yaser Arafat menyarankan kepada pemerintah agar lebih komunikatif dengan masyarakat petani yang menjadi target penyaluran bantuan bibit jagung.
Kalau pun ada perubahan varietas bibit, dosen yang juga pengurus DPD II KNPI Bima itu berharap agar pemerintah tidak langsung menyalurkannya sebelum ada ruang komunikasi dengan masyarakat petani.
"Jadi harus diawali dengan penyuluhan. Bukan malah saat bibit itu sudah diberikan kepada petani, baru ada penyuluhan," ujarnya.
Yaser Arafat memberikan tanggapannya terkait penyaluran bantuan bibit jagung yang dikeluhkan sebagian petani dari sejumlah desa di Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima.
Keluhan itu muncul karena bantuan bibit jagung yang disalurkan pemerintah pada akhir tahun 2018, yakni jenis BISI-2 dan Premium-191, tidak sesuai dengan usulan Rencana Definitif Kebutuhkan Kelompok (RDKK), yang telah sepakat untuk BISI-18.
"Kalau bibit yang diharapkan sudah kehabisan stok, harusnya dikasih tahu supaya masyarakat tidak kaget," ujarnya.
Jebolan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sulawesi Selatan, ini tidak menampik kalau bibit yang dibagikan pemerintah itu punya kualitas.
Namun alangkah baiknya pemerintah belajar pada pengalaman 2016 lalu. Kala itu, bibit BIMA URI dianggap jauh lebih bagus dibanding BISI-18 karena pernah diuji coba di tempat lain.
"Ketika ditanam, bibit itu tumbuh, tapi untuk berat dan hasilnya tidak sebagus dengan BISI-18 atau NK," ujarnya.
Karena itu muncul kekhawatiran dari kalangan petani terkait mutu dan kualitas dari varietas bibit baru BISI-2 dan Premium-191, apakah cocok dengan lahan pertanian diwilayahnya.
Apalagi musim tanam untuk jagung itu hanya satu tahun sekali, pastinya petani akan menanam bibit yang kualitasnya benar-benar bisa memberikan keuntungan besar saat panen.
"Jadi mereka khawatir dengan bibit baru ini, produksi mereka menurun. Saya harap jangan dijadikan uji coba, kasihan masyarakat karena harga pupuk ini mahal, biaya orang tanam mahal. Ini perlu diperhatikan pemerintah," kata Yaser.
Agar tidak terus menerus menjadi polemik, dia berharap kepada pemerintah untuk membuka ruang komunikasi kepada semua pihak dengan melibatkan pemerintah desa dan peran pemuda sebagai jembatan komunikasi para petani.
Akan percuma saja bila pemerintah mengeluarkan bibit baru, namun tidak dibarengi dengan sosialisasi secara menyeluruh dan komprehensif dan Pemerintah seharusnya bisa menjelaskan bahwa kualitas bibit baru itu lebih baik dari BISI-18.
"Adakah sampel uji coba sebelumnya di daerah lain, varietas bibit baru itu lebih bagus hasilnya. Ini yang tidak pernah disampaikan kepada masyarakat," ucapnya.
Meski berhasil di daerah lain, sambung dia, pemerintah juga harus memperhatikan, apakah bibit itu cocok dengan mutu dan kualitas tanah di Bima.
"Mungkin di daerah tertentu bibit tersebut cocok. Tapi untuk Soromandi dan Donggo itu sudah cocok dengan BISI-18," kata Yaser.
Sebenarnya tujuan pemerintah menyediakan bibit bermutu agar petani sejahtera dan berdampak pada produksi hasil pertanian yang kian meningkat dari tahun ke tahunnya. Namun dia sangat menyayangkan tujuan itu tidak selaras dengan fakta di lapangan.
"Kami berharap ada pembenahan ke depannya, jangan lagi ada masalah-masalah seperti ini," ucapnya.
"Masyarakat petani di sini dipaksa bersyukur walaupun kondisi bibit yang diberikan tidak baik. Jadi muncul kesan kalau pemerintah ini memaksa petani menanam bibit yang ada," kata Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Soromandi Baharudin yang dihubungi wartawan di Bima, Jumat.
Belum lagi adanya dugaan persoalan kelompok tani (poktan) siluman. Baharudin menduga munculnya poktan siluman ini tidak terlepas dari ulah para pihak di UPTD dan PPL Kecamatan Soromandi.
Termasuk adanya dugaan penyaluran bibit yang tidak sesuai dengan luasan lahan petani. Persoalan seperti ini, jelasnya, hampir terjadi di seluruh kelompok tani di wilayah Soromandi.
Dengan berbagai persoalan yang dia dapatkan di lapangan, Baharudin berharap pemerintah serius dalam menjalankan program bantuan ini. Bahkan diharapkan perlu adanya perbaikan serta pengawalan program yang konsisten dari pihak pemerintah.
Melihat kondisi tersebut, seorang akademisi dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima, Nusa Tenggara Barat, Yaser Arafat, turut angkat bicara. Dia lebih menyoroti peran pemerintah dalam menjalankan program bantuan pertanian tersebut.
Ketika dihubungi wartawan di Bima, Jumat, Yaser Arafat menyarankan kepada pemerintah agar lebih komunikatif dengan masyarakat petani yang menjadi target penyaluran bantuan bibit jagung.
Kalau pun ada perubahan varietas bibit, dosen yang juga pengurus DPD II KNPI Bima itu berharap agar pemerintah tidak langsung menyalurkannya sebelum ada ruang komunikasi dengan masyarakat petani.
"Jadi harus diawali dengan penyuluhan. Bukan malah saat bibit itu sudah diberikan kepada petani, baru ada penyuluhan," ujarnya.
Yaser Arafat memberikan tanggapannya terkait penyaluran bantuan bibit jagung yang dikeluhkan sebagian petani dari sejumlah desa di Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima.
Keluhan itu muncul karena bantuan bibit jagung yang disalurkan pemerintah pada akhir tahun 2018, yakni jenis BISI-2 dan Premium-191, tidak sesuai dengan usulan Rencana Definitif Kebutuhkan Kelompok (RDKK), yang telah sepakat untuk BISI-18.
"Kalau bibit yang diharapkan sudah kehabisan stok, harusnya dikasih tahu supaya masyarakat tidak kaget," ujarnya.
Jebolan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sulawesi Selatan, ini tidak menampik kalau bibit yang dibagikan pemerintah itu punya kualitas.
Namun alangkah baiknya pemerintah belajar pada pengalaman 2016 lalu. Kala itu, bibit BIMA URI dianggap jauh lebih bagus dibanding BISI-18 karena pernah diuji coba di tempat lain.
"Ketika ditanam, bibit itu tumbuh, tapi untuk berat dan hasilnya tidak sebagus dengan BISI-18 atau NK," ujarnya.
Karena itu muncul kekhawatiran dari kalangan petani terkait mutu dan kualitas dari varietas bibit baru BISI-2 dan Premium-191, apakah cocok dengan lahan pertanian diwilayahnya.
Apalagi musim tanam untuk jagung itu hanya satu tahun sekali, pastinya petani akan menanam bibit yang kualitasnya benar-benar bisa memberikan keuntungan besar saat panen.
"Jadi mereka khawatir dengan bibit baru ini, produksi mereka menurun. Saya harap jangan dijadikan uji coba, kasihan masyarakat karena harga pupuk ini mahal, biaya orang tanam mahal. Ini perlu diperhatikan pemerintah," kata Yaser.
Agar tidak terus menerus menjadi polemik, dia berharap kepada pemerintah untuk membuka ruang komunikasi kepada semua pihak dengan melibatkan pemerintah desa dan peran pemuda sebagai jembatan komunikasi para petani.
Akan percuma saja bila pemerintah mengeluarkan bibit baru, namun tidak dibarengi dengan sosialisasi secara menyeluruh dan komprehensif dan Pemerintah seharusnya bisa menjelaskan bahwa kualitas bibit baru itu lebih baik dari BISI-18.
"Adakah sampel uji coba sebelumnya di daerah lain, varietas bibit baru itu lebih bagus hasilnya. Ini yang tidak pernah disampaikan kepada masyarakat," ucapnya.
Meski berhasil di daerah lain, sambung dia, pemerintah juga harus memperhatikan, apakah bibit itu cocok dengan mutu dan kualitas tanah di Bima.
"Mungkin di daerah tertentu bibit tersebut cocok. Tapi untuk Soromandi dan Donggo itu sudah cocok dengan BISI-18," kata Yaser.
Sebenarnya tujuan pemerintah menyediakan bibit bermutu agar petani sejahtera dan berdampak pada produksi hasil pertanian yang kian meningkat dari tahun ke tahunnya. Namun dia sangat menyayangkan tujuan itu tidak selaras dengan fakta di lapangan.
"Kami berharap ada pembenahan ke depannya, jangan lagi ada masalah-masalah seperti ini," ucapnya.