Sekira dua abad silam, tepatnya 10 April 1815, Gunung Tambora meletus, memuntahkan jutaan meter kubik material ke atmosfir yang mengubur tiga kesultanan kecil serta merenggut puluhan ribu jiwa. Bahkan setahun kemudian pada 1816, di Eropa terjadi tahun tanpa musim panas yang menimbulkan musibah kelaparan.
Bencana dahsyat itu mengubur tiga kerajaan kecil, yakni Kesultanan Sanggar, Tambora dan Kerajaan Pekat. Sedikitnya 71.000 penduduk meregang nyawa. Bahkan merurut beberapa penelitian memperkirakan letusan Gunung Tambora itu menelan 92.000 korban jiwa.
Namun dibalik bencana yang menyisakan kisah pilu itu tersirat guratan sejarah panjang perjalanan sebuah perkebunan kopi di lereng Gunung Tambora. 200 tahun sudah perjalanan panjang dilalui, kini cita rasa kopi Tambora kian lekat dihati penikmat kopi.
Cerita panjang mengenai perkebunan kopi Tambora itu setidaknya tersurat dalam catatan "Bo Sangaji Kai", yakni naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis menggunakan aksara Bima oleh Siti Maryam Salahudin Rahmat (putri ketujuh dari sembilan bersaudara Sultan Muhammad Salahuddin) dan Henri Chambert.
Menurut cacatan sejarah (Bo Sangajai Kai), perkebunan kopi Tambora sudah ada sebelum Gunung Tambora meletus. Setidaknya ini terbukti dari catatan berisi perjanian damai dan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di lereng Gunung Tambora dan Belanda, yang dilakukan di Makassar, 17 April 1701.
Fakta itu juga didukung oleh penemuan tim peneliti Arkeologi, Denpasar Bali yang menemukan biji kopi yang terkubur awan panas di kawasan yang diperkirakan pernah menjadi lokasi kerajaan Tambora.
Pada 1930, seorang pengusaha berasal dari Swedia, Gosta Bjorklund membuka perkebunan kopi seluas 56.000 hektare di lereng Barat dan Utara Gunung Tambora. Pada masa itulah, kopi Tambora mulai terkenal hingga mancanegara.
Peninggalan Belanda
Perkebunan peninggalan kolonial Belanda ini merupakan salah satu dari tiga kawasan sentral produksi kopi yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. yakni kopi Rinjani varietas Arabika di Sembalun yang berada di lembah pegunungan Rinjani.
Perkebunan kopi Tepal juga varietas Arabika di sentra kopi Tepal di pegunungan Batu Lanteh di Kabupaten Sumbawa dan kopi Tambora varietas Robusta dikembangkan di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima.
Pada perjalanan selanjutnya tahun 1943, lahan yang terbentang di lereng kaki Gunung Tambora itu dikekola oleh NV. Pasuma, kemudian pada 1977 secara resmi dikelola oleh PT Bayu Aji Bima Sena Jakarta.
Namun seiring perjalanan waktu perkebunan kopi peninggalan Belanda di lereng Tambora itu pada 2001 PT Bayu Aji menghentikan operasi perkebunan kopi. Ratusan hektar lahan dan aset senilai miliaran dan sekitar 150 pegawai menjadi tak bertuan.
Setahun kemudian, pemerintah Kabupaten Bima mengambil alih pengelolaan kawasan perkebunan kopi tersebut dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Tanaman Kopi yang produktif hanya 80 hektare dengan produksi hanya 150 kilogram per hektare. Kasus penjarahan kopi oleh masyarakat sekitar menjadi persoalan lain yang dihadapi permintah daerah.
Untuk menyehatkan kembali perkebunan kopi peninggalan Belanda itu Pemerintah Kabupaten Bima cukup banyak mengalokasikan dana. Kini setelah 10 tahun berlalu, perkebunan kopi Tambora mulai menunjukkan peningkatan hasil yang cukup signifikan.
Luas lahan tanaman kopi yang produktif bisa mencapai 146 hektar. Dengan total produksi mencapai 30 ribu ton per tahun. Bahkan perkebunan kopi itu menyumbang pendapatan asli daerah mencapai Rp200 juta hingga Rp350 juta per tahun.
Pemasukan daerah yang bersumber dari perkebunan kopi Tambora itu masih jauh dari harapan, karena yang bisa dihasilkan sejatinya bisa berkali lipat dari jumlah itu.
Dinas Perindustrian NTB berupaya mempromosikan kopi NTB ke luar daerah, termasuk yang berasal dari perkebunan kopi peninggalan Belanda di lereng Tambora.
Kepala Dinas Perindustrian NTB Baiq Eva Nurcahyaningsih (kini digantikan Andi Pramaria) mengatakan kopi andalan yang dipromosikan adalah kopi Tambora dan Tepal yang diproduksi petani di Pulau Sumbawa. Selain itu, kopi Sembalun di Kabupaten Lombok Timur, serta kopi dari kabupaten lain yang memiliki cita rasa khas tersendiri.
Kopi NTB, menurut Eva, sebenarnya sudah cukup dikenal di dalam dan luar negeri. Bahkan, sudah diekspor ke beberapa negara, namun volumenya masih relatif kecil.
Karena itu upaya promosi dengan memanfaatkan berbagai event skala nasional dan internasional terus digalakkan. Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB juga akan membantu mempromosikan komoditas unggulan hasil perkebunan tersebut.
Menurut data Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB, potensi pengembangan tanaman kopi mencapai 31.016 hektare, namun yang sudah dimanfaatkan sekitar 12.500 hektare dengan tingkat produktivitas lahan mencapai 450-700 kilogram per hektare.
Selain perkebunan kopi peninggalan Belanda di Pulau Sumbawa juga cukup banyak masyarakat yang mengembangkan perkebunan kopi. Umumnya yang dijadikan lokasi kebun kopi mencapai 1.200 meter di atas permukaan laut, namun disesuaikan dengan masing-masing varietas.
Sejatinya dalam perjalanan panjang sejarah perkopian di NTB telah menghasilkan kopi bercita rasa tinggi yang tidak kalah dengan kopi dari daerah lain di Tanah Air.(*)
Bencana dahsyat itu mengubur tiga kerajaan kecil, yakni Kesultanan Sanggar, Tambora dan Kerajaan Pekat. Sedikitnya 71.000 penduduk meregang nyawa. Bahkan merurut beberapa penelitian memperkirakan letusan Gunung Tambora itu menelan 92.000 korban jiwa.
Namun dibalik bencana yang menyisakan kisah pilu itu tersirat guratan sejarah panjang perjalanan sebuah perkebunan kopi di lereng Gunung Tambora. 200 tahun sudah perjalanan panjang dilalui, kini cita rasa kopi Tambora kian lekat dihati penikmat kopi.
Cerita panjang mengenai perkebunan kopi Tambora itu setidaknya tersurat dalam catatan "Bo Sangaji Kai", yakni naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis menggunakan aksara Bima oleh Siti Maryam Salahudin Rahmat (putri ketujuh dari sembilan bersaudara Sultan Muhammad Salahuddin) dan Henri Chambert.
Menurut cacatan sejarah (Bo Sangajai Kai), perkebunan kopi Tambora sudah ada sebelum Gunung Tambora meletus. Setidaknya ini terbukti dari catatan berisi perjanian damai dan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di lereng Gunung Tambora dan Belanda, yang dilakukan di Makassar, 17 April 1701.
Fakta itu juga didukung oleh penemuan tim peneliti Arkeologi, Denpasar Bali yang menemukan biji kopi yang terkubur awan panas di kawasan yang diperkirakan pernah menjadi lokasi kerajaan Tambora.
Pada 1930, seorang pengusaha berasal dari Swedia, Gosta Bjorklund membuka perkebunan kopi seluas 56.000 hektare di lereng Barat dan Utara Gunung Tambora. Pada masa itulah, kopi Tambora mulai terkenal hingga mancanegara.
Peninggalan Belanda
Perkebunan peninggalan kolonial Belanda ini merupakan salah satu dari tiga kawasan sentral produksi kopi yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. yakni kopi Rinjani varietas Arabika di Sembalun yang berada di lembah pegunungan Rinjani.
Perkebunan kopi Tepal juga varietas Arabika di sentra kopi Tepal di pegunungan Batu Lanteh di Kabupaten Sumbawa dan kopi Tambora varietas Robusta dikembangkan di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima.
Pada perjalanan selanjutnya tahun 1943, lahan yang terbentang di lereng kaki Gunung Tambora itu dikekola oleh NV. Pasuma, kemudian pada 1977 secara resmi dikelola oleh PT Bayu Aji Bima Sena Jakarta.
Namun seiring perjalanan waktu perkebunan kopi peninggalan Belanda di lereng Tambora itu pada 2001 PT Bayu Aji menghentikan operasi perkebunan kopi. Ratusan hektar lahan dan aset senilai miliaran dan sekitar 150 pegawai menjadi tak bertuan.
Setahun kemudian, pemerintah Kabupaten Bima mengambil alih pengelolaan kawasan perkebunan kopi tersebut dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Tanaman Kopi yang produktif hanya 80 hektare dengan produksi hanya 150 kilogram per hektare. Kasus penjarahan kopi oleh masyarakat sekitar menjadi persoalan lain yang dihadapi permintah daerah.
Untuk menyehatkan kembali perkebunan kopi peninggalan Belanda itu Pemerintah Kabupaten Bima cukup banyak mengalokasikan dana. Kini setelah 10 tahun berlalu, perkebunan kopi Tambora mulai menunjukkan peningkatan hasil yang cukup signifikan.
Luas lahan tanaman kopi yang produktif bisa mencapai 146 hektar. Dengan total produksi mencapai 30 ribu ton per tahun. Bahkan perkebunan kopi itu menyumbang pendapatan asli daerah mencapai Rp200 juta hingga Rp350 juta per tahun.
Pemasukan daerah yang bersumber dari perkebunan kopi Tambora itu masih jauh dari harapan, karena yang bisa dihasilkan sejatinya bisa berkali lipat dari jumlah itu.
Dinas Perindustrian NTB berupaya mempromosikan kopi NTB ke luar daerah, termasuk yang berasal dari perkebunan kopi peninggalan Belanda di lereng Tambora.
Kepala Dinas Perindustrian NTB Baiq Eva Nurcahyaningsih (kini digantikan Andi Pramaria) mengatakan kopi andalan yang dipromosikan adalah kopi Tambora dan Tepal yang diproduksi petani di Pulau Sumbawa. Selain itu, kopi Sembalun di Kabupaten Lombok Timur, serta kopi dari kabupaten lain yang memiliki cita rasa khas tersendiri.
Kopi NTB, menurut Eva, sebenarnya sudah cukup dikenal di dalam dan luar negeri. Bahkan, sudah diekspor ke beberapa negara, namun volumenya masih relatif kecil.
Karena itu upaya promosi dengan memanfaatkan berbagai event skala nasional dan internasional terus digalakkan. Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB juga akan membantu mempromosikan komoditas unggulan hasil perkebunan tersebut.
Menurut data Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB, potensi pengembangan tanaman kopi mencapai 31.016 hektare, namun yang sudah dimanfaatkan sekitar 12.500 hektare dengan tingkat produktivitas lahan mencapai 450-700 kilogram per hektare.
Selain perkebunan kopi peninggalan Belanda di Pulau Sumbawa juga cukup banyak masyarakat yang mengembangkan perkebunan kopi. Umumnya yang dijadikan lokasi kebun kopi mencapai 1.200 meter di atas permukaan laut, namun disesuaikan dengan masing-masing varietas.
Sejatinya dalam perjalanan panjang sejarah perkopian di NTB telah menghasilkan kopi bercita rasa tinggi yang tidak kalah dengan kopi dari daerah lain di Tanah Air.(*)