Mataram (ANTARA) - Kini, korupsi semakin menunjukkan pola yang sistemik. Ia merayap ke segala cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif, hingga yudikatif seperti kanker yang menyebar tanpa kendali dalam tubuh demokrasi. Polanya yang sistemik itu sering kali menampakkan wajah yang paradoksal: satu sisi muncul wacana dan harapan baru bagi pemberantasan korupsi, namun di sisi lain, justru memperlihatkan mata rantai korupsi di negeri ini belum benar-benar terputus.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya, praktik korupsi terlihat jelas di berbagai sektor pemerintahan, pelayanan publik, dan proyek-proyek strategis daerah. Hal itu tercermin dari sejumlah kasus yang mencuat belakangan ini seperti: korupsi pengelolaan NTB Convention Center (NCC) yang merugikan negara hingga miliaran rupiah, dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Dikbud NTB, korupsi proyek Shelter Tsunami di Lombok Utara, dugaan korupsi pengadaan lahan sirkuit MXGP Samota, dan dugaan korupsi pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Gili Trawangan, Lombok Utara. Sebelumnya, kasus pengadaan masker Covid-19 pada tahun 2020 yang melibatkan pejabat di Pemprov NTB juga menambah panjang daftar kasus korupsi di daerah ini. Rentetan kasus korupsi tersebut telah menjadi cerminan dari buruknya sistem tata kelola, rendahnya akuntabilitas, dan lemahnya integritas yang seharusnya menjadi fondasi pelayanan publik yang bersih dan berkeadilan.
Secara sosiologis, tindakan korupsi tidak hanya dimaknai sebatas perilaku menyimpang individu, tetapi merupakan produk dari struktur sosial yang timpang, di mana sistem kelembagaan justru memungkinkan dan memfasilitasi terjadinya perilaku koruptif. Dalam sistem birokrasi yang lemah, diperburuk dengan kultur kekuasaan yang hierarkis dan transaksional, budaya partonase yang kuat, serta lemahnya mekanisme kontrol sosial akan membuka peluang korupsi tumbuh subur dalam semua cabang kekuasaan di berbagai tingkatan.
Memahami Akar Persoalan Korupsi
Memahami korupsi tidak bisa hanya bertumpu pada pendekatan moral individual, tetapi perlu dibongkar secara holistik sebagai problem sosiologis. Dengan meminjam konsep pembangunan sosietal yang ditawarkan oleh Sosiolog Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo (2022), akar persoalan korupsi dapat dilacak menggunakan pendekatan struktur, kultur, dan proses sosial. Ketiganya membentuk jalinan yang saling menopang, menciptakan kondisi sosial di mana perilaku koruptif bukan hanya dimungkinkan, tetapi bahkan menjadi bagian dari mekanisme sistemik yang berlangsung lama.
Pada dimensi struktur, korupsi berakar pada lemahnya aturan dan institusi yang mengatur penyelenggaraan kekuasaan. Regulasi yang tidak konsisten, pengawasan yang lemah, dan birokrasi yang tertutup menciptakan ruang-ruang gelap di mana praktik korupsi tumbuh subur. Persoalan ini menjadi tidak sederhana ketika struktur yang buruk menjadi mengkultur. Misalnya, ketika prosedur pelayanan publik berbelit-belit dan korupsi dianggap sebagai “jalan pintas yang normal,” maka struktur tidak hanya gagal mengendalikan perilaku, tapi juga menciptakan budaya yang menerima penyimpangan sebagai hal biasa.
Namun, struktur yang lemah tidak berdiri sendiri, tetapi justru diperkuat oleh kultur sosial yang permisif terhadap penyimpangan. Dalam banyak kasus, persoalan korupsi menjadi semakin sulit ketika kultur ini distrukturkan, di mana nilai-nilai yang sudah menyimpang justru dilembagakan ke dalam sistem. Misalnya, budaya sogok-menyogok, balas jasa politik, atau pembagian proyek berdasarkan kedekatan bukan hanya dibiarkan, tetapi masuk ke dalam mekanisme formal melalui peraturan, prosedur pengadaan, bahkan pengangkatan jabatan. Dalam kondisi ini, struktur bukan lagi alat koreksi terhadap nilai, melainkan pengejawantahan dari nilai yang sudah menyimpang itu sendiri.
Dimensi ketiga, proses sosial, menunjukkan bagaimana relasi antar individu dan kelompok dalam masyarakat berlangsung. Dalam konteks korupsi, proses sosial yang timpang memperlihatkan rendahnya partisipasi warga dalam proses pengambilan keputusan publik. Komunikasi yang bersifat elitis dan satu arah, minimnya ruang bagi warga untuk mengawasi atau menyuarakan aspirasi, serta lemahnya forum-forum diskusi dan dialog menjadikan relasi sosial berjalan tanpa kontrol yang memadai. Situasi ini akan menghasilkan struktur yang diproses secara sosial, dimana struktur dibentuk, dirawat, dan dijaga oleh aktor-aktor yang punya kendali atas proses sosial tersebut, bahkan menjadikannya alat dominasi, bukan distribusi keadilan.
Mencari Jalan Keluar
Upaya pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan secara parsial atau sektoral, tetapi memerlukan pendekatan yang sistemik dan holistik.
Pertama, perlu mendorong reformasi struktural secara konsisten. Langkahnya bisa dilakukan melalui penguatan regulasi, transparansi anggaran, dan optimalisasi lembaga pengawasan menjadi bagian penting dan mendesak. Namun, lebih dari itu, proses demokratisasi juga perlu diperkuat. Hal ini bisa dilakukan dengan memperluas akses warga terhadap informasi publik serta memperkuat peran organisasi masyarakat sipil sebagai penyeimbang kekuasaan.
Kedua, perubahan kultural harus menjadi agenda utama. Pendidikan anti-korupsi tidak cukup hanya diajarkan secara formal, tetapi harus dihidupkan sebagai gerakan sosial yang melibatkan keluarga, komunitas, sekolah, hingga ruang digital. Keteladanan dari para pemimpin daerah juga sangat dibutuhkan, bukan sekadar figur yang cakap di ruang publik, tetapi juga yang menunjukkan integritas dan dedikasi terhadap pelayanan publik yang bersih.
Ketiga, pembenahan proses sosial dalam pembangunan harus dilakukan secara partisipatif dan akuntabel. Pengambilan keputusan publik tidak boleh hanya melibatkan elite, tetapi harus membuka ruang bagi keterlibatan warga. Masyarakat perlu didorong untuk berpartisipasi aktif dalam menyampaikan suara, mengawasi pelaksanaan program, dan mengevaluasi kebijakan. Partisipasi yang sejati hanya mungkin terwujud jika ada kepercayaan antara warga dan pemerintah. Kepercayaan itu hanya lahir dari praktik pemerintahan yang jujur, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik.
Oleh karena itu, kita berharap NTB terus berjuang keras untuk melawan belenggu korupsi di semua tingkatan penyelenggara negara. Seperti kata pepatah: “selalu ada cahaya di ujung terowongan yang gelap”. Harapan itu pula yang tercermin dalam visi NTB saat ini: Bangkit Bersama untuk Makmur Mendunia. Semoga.
*) Penulis adalah Sosiolog tinggal di Mataram