Jakarta (ANTARA) - Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) menilai ASEAN Vision 2045 tidak cukup untuk menghadapi tantangan hak asasi manusia dan demokrasi yang mendesak yang terus melemahkan kemajuan Asia Tenggara saat ini.
Menurut pernyataan tertulis APHR di Jakarta, Sabtu, APHR menilai bahwa visi tersebut masih belum membahas isu-isu hak asasi manusia yang paling mendesak.
“Kurangnya komitmen yang jelas untuk mengatasi kemunduran demokrasi dan impunitas di beberapa negara anggota merupakan kesempatan yang terlewat untuk memperkuat kredibilitas dan relevansi ASEAN dalam konteks regional dan global yang semakin bergejolak,” mengutip pernyataan tertulis tersebut.
Menurut Ketua APHR dan anggota DPR Indonesia, Mercy Chriesty Barends, visi tersebut dibuat dengan tujuan untuk memetakan masa depan ASEAN, tetapi tidak menyentuh realitas yang ada dan mendesak yang dihadapi masyarakat di kawasan.
Mercy pun mempertanyakan bagaimana ASEAN dapat merencanakan tahun 2045 dengan mengabaikan kekejaman yang sedang berlangsung di Myanmar, penganiayaan terhadap para pembangkang politik dan berkurangnya ruang sipil di kawasan.
“Masa depan yang dibangun di atas kesunyian bukanlah masa depan sama sekali,” ujar Mercy.
Selain itu, APHR menilai bahwa daripada mendorong konsensus sejati, visi tersebut tampaknya memprioritaskan keharmonisan elit daripada mengatasi akar penyebab ketidakstabilan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan.
APHR juga berpendapat bahwa visi tersebut gagal mengakui salah satu kesenjangan kelembagaan ASEAN yang paling mencolok, yaitu tidak adanya mekanisme apa pun untuk mengatasi perubahan yang tidak konstitusional dalam pemerintahan.
Karena itulah, APHR menganggap ASEAN enggan untuk meminta pertanggungjawaban negara-negara anggota atas pelanggaran yang secara fundamental merusak tata kelola demokrasi.
“Tanpa mekanisme seperti itu, komitmen kawasan terhadap demokrasi tetap dangkal, sehingga membuka pintu bagi ketidakstabilan politik yang berkelanjutan dan kubu otoriter,” menurut pernyataan APHR tersebut.
Sementara itu, Ketua Bersama APHR dan mantan anggota parlemen Malaysia Charles Santiago mengatakan bahwa frasa “berpusat pada rakyat” yang terus diulang oleh ASEAN tidak miliki arti apa pun jika penderitaan rakyat tidak tercantum dalam dokumen strategis tersebut.
Charles mengatakan akan sulit mengatasi penindasan yang tidak dapat disebutkan, sekaligus mempertanyakan masa depan seperti apa yang akan dibangun jika ASEAN tidak dapat melindungi hak asasi manusia.
APHR mengatakan bahwa visi tersebut tidak menawarkan peta jalan untuk meningkatkan mandat Komisi Antarpemerintah ASEAN tentang Hak Asasi Manusia (AICHR).
Menurut APHR, tidak ada alat untuk memantau kepatuhan negara, tidak ada komitmen untuk meninjau dan memperkuat fungsi pelindungannya serta tidak ada mekanisme untuk mendukung mereka yang paling berisiko.
“Tanpa langkah-langkah yang dapat ditegakkan, hak asasi manusia di ASEAN tetap bersifat simbolis daripada substantif,” mengutip pernyataan APHR.
APHR juga mengatakan bahwa visi tersebut mengabaikan ancaman paling kritis dan langsung di kawasan karena tidak menyebutkan risiko kejahatan kekejaman yang meluas, krisis pengungsi yang semakin memburuk di kawasan, pertumbuhan perdagangan manusia yang difasilitasi teknologi, atau lonjakan jaringan kriminal lintas batas.
“Jika ASEAN bahkan tidak bisa mengakui keberadaan populasi yang terusir dan teraniaya di kawasan, bagaimana mungkin mereka bisa mengeklaim melindungi mereka?” kata anggota Dewan APHR dan anggota DPR Thailand Rangsiman Rome.
APHR mengatakan, dokumen tersebut tidak memiliki kerangka kerja yang koheren dan berpusat pada manusia untuk mengatasi masalah-masalah seperti perubahan iklim, ancaman dunia maya, dan ketegangan geopolitik.
Menurut APHR, keamanan manusia sejati menuntut penanganan kerawanan pangan, krisis kesehatan, pengungsian dan degradasi lingkungan dengan urgensi yang sama seperti keamanan negara.
“Tanpa tolok ukur yang transparan, pemantauan yang independen, dan evaluasi yang inklusif, dokumen tersebut berisiko menjadi deklarasi seremonial tanpa konsekuensi. Cita-cita luhur saja tidak cukup – ASEAN harus berkomitmen pada tindakan nyata,” tegas APHR.
Baca juga: Panduan Perilaku Laut China Selatan siap diadopsi awal 2026
Anggota Dewan APHR dan anggota DPR Filipina Arlene Brosas mengatakan bahwa akuntabilitas adalah fondasi legitimasi, yang tanpa hal tersebut, visi ASEAN bukanlah peta jalan, melainkan fatamorgana.
“Jika ASEAN ingin dihormati secara global, ASEAN harus cukup berani untuk menegakkan nilai-nilai yang diklaimnya: keadilan, hak asasi, dan pemerintahan yang demokratis,” ujar Arlene.
Baca juga: Gol Maung Lwin antar ASEAN All Stars kalahkan Man United
Karena itulah, APHR pun mendesak para pemimpin ASEAN untuk bergerak melampaui panggung diplomatik.
Menurut APHR, jika dokumen “Visi Komunitas ASEAN 2045: Masa Depan Kita Bersama” memiliki makna, maka masa depan tersebut harus berakar pada akuntabilitas, tata kelola yang responsif, dan komitmen yang berani terhadap kebenaran.
Pada KTT ASEAN ke-46 yang diselenggarakan pada 27 Mei 2025 di Kuala Lumpur, Malaysia, ASEAN meluncurkan dokumen “ASEAN Community Vision 2045: Our Shared Future”, di mana para pemimpin ASEAN berkomitmen untuk mewujudkan ASEAN yang tangguh, inovatif, dinamis dan berpusat pada rakyat pada 2045.