Cirebon, Jawa Barat (ANTARA) - Siang itu, seorang petani duduk di tepi jalan, beralas rumput, persis di samping lahan sawah. Ia adalah Rojai (50) seorang petani asal Desa Tegalkarang, Kecamatan Palimanan, Cirebon, Jawa Barat.Sejak kecil, jalan hidup Rojai tak pernah jauh dari tanah berlumpur dan batang padi. Selepas SD, ia mulai membantu orang tuanya bertani, sembari memelihara kambing.

Namun baru setelah lulus SMA di tahun 1995, ia benar-benar berdiri di atas kaki sendiri menyewa lahan, menggarapnya, dan bertahan di dunia yang bagi sebagian orang terasa semakin berat.

Bertahun-tahun, Rojai merasakan getirnya menjadi petani kecil. Pernah suatu masa, harga gabah anjlok hingga Rp3.700 per kilogram.

Saat musim kemarau, ia hanya bisa menjual di kisaran Rp4.000-Rp5.000 per kg. Tanpa tempat pengeringan, ia terpaksa menjual cepat kepada tengkulak, meski tahu harga itu tak sepadan dengan keringat yang ia tumpahkan.

Tengkulak baginya seperti pintu tunggal yang harus ia masuki, meski di ujungnya ada jurang kerugian. Mereka menentukan harga sesukanya.  Rasa lelah dan kecewa hampir membuat dia menyerah. Dia sempat berpikir untuk apa bertahan jika akhirnya hanya merugi.

"Hampir nyerah, hampir nangis, nyerah, nggak mau bertani lagi. Makanya kebanyakan orang tua itu nggak mau anaknya jadi petani," kata Rojai sambil menghela nafas.

Namun, sejak Bulog hadir dengan kepastian harga Rp6.500 per kilogram, hidupnya berubah. Dia tidak lagi memandang panen sebagai masalah. Tidak lagi was-was menanti tawar-menawar yang menekan ketika menjual panen.

Kini, setiap musim tanam hasil panen dari tiga hektare lahannya bisa mencapai Rp40 juta per hektare dengan biaya produksi sekitar separuhnya.

Sejumlah buruh tani di Desa Tegalkarang, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, memasukan padi ke dalam karung dalam suasana penan di daerah itu, Jumat (8/8/2025). ANTARA/Harianto

Kepastian harga membuat dia lebih tekun merawat tanaman karena hasil jerih payahnya akan terbayar layak. Bahkan, lima orang buruh tani tetap yang dipekerjakan kini bisa bekerja sepanjang tahun berkat pola tanam bergilir yang ia terapkan.

Rojai tak bekerja sendirian. Istrinya, juga seorang petani, setia mendampingi. Anak-anak mereka, enam orang, dibiasakan ke sawah sejak kecil, bahkan yang baru berusia tiga tahun.

"Supaya menjiwai,” katanya sambil tersenyum.

Di sawah, ia membuat saung, kolam ikan, dan area bermain agar anak-anak menganggap sawah bukan sekadar tempat bekerja, tetapi rumah kedua yang menyenangkan. Dari keuntungan bertani, Rojai mengembangkan usaha ternak sapi, khususnya untuk musim kurban. Tahun lalu, ia berhasil menjual hingga 53 ekor.

Kotoran sapi diolah menjadi pupuk organik, sementara urinnya dijadikan pupuk organik cair (POC) untuk padi dan jagung. Siklus ini menekan biaya produksi sekaligus menjaga kesuburan tanah.

Dukungan pemerintah, menurut dia, kini lebih terasa. Bantuan benih, pupuk subsidi yang tepat waktu, hingga alat pertanian seperti traktor dan pompa air membuat hasil panen meningkat.

Ketua Gabungan Kelompok Tani Makmur di Desa Tegalkarang ini juga mengurus pendataan pupuk bagi anggota kelompok, memastikan prosesnya kini lebih sederhana dibanding era kartu tani yang penuh kendala.

Rojai tak menampik, keberhasilan yang dirasakan bukan hanya soal uang. Baginya, ada kepuasan lain ketika mampu memberikan lapangan pekerjaan tetap bagi buruh tani di desanya.

Di seberang desa, Yoyon (51) memiliki cerita pilu yang sama saat menjual gabah hasil panennya. Saat menjual gabah ke tengkulak, dia kerap mengatakan bertani "pari" atau panas perih. Selama bertahun-tahun, wajahnya kerap diliputi rasa cemas tiap kali musim panen tiba. Tengkulak selalu datang dengan harga yang tak pernah ramah.

Padi yang ia rawat berbulan-bulan hanya dihargai sekadarnya, kadang bahkan tak cukup untuk menutup biaya sewa lahan. Tak ada pilihan selain melepasnya, asal laku, karena tak ada tempat menyimpan atau mengeringkan gabah basah.

Kini, cerita itu berubah. Keberadaan Bulog, dengan harga pembelian pemerintah yang pasti, membuat hatinya lebih tenang. Saat padi dipotong, ia tahu tak akan ada lagi tawar-menawar yang menyakitkan.

Begitu gabah diangkat dari sawah yang telah dikemas rapih ke dalam karung, lalu ditimbang, ia kini bisa pulang dengan kantong berisi hasil kerja kerasnya, bukan sekadar janji atau utang yang tertunda.

Yoyon teringat masa-masa suram ketika harga jatuh di angka Rp3.700 per kilogram. Rasanya seperti ditikam pelan-pelan, melihat jerih payah sendiri tak dihargai. Ia tetap menanam, karena sawah bukan hanya pekerjaan, tetapi penopang hidup bagi keluarganya.

Hasil panen dari lahan 0,7 hektare yang ia garap kini mampu memberi pemasukan bersih hampir Rp10 juta sekali panen. Lahan itu disewa Rp12 juta setahun. Dalam satu tahun Yoyon menanam sebanyak tiga kali. Di musim tanam pertama dan kedua, padi menjadi tanaman utama. Sedangkan di musim ketiga, lahan ia isi dengan palawija.

Angka yang dulu hanya mimpi, kini hadir di hadapan. Dari keuntungan itu, Yoyon bahkan berani memperluas lahan garapannya menjadi dua hektare di tahun depan. Tak hanya keluarganya yang merasakan manfaatnya, para buruh tani di desanya pun ikut tersenyum.

Mereka mendapatkan upah dari sistem bawon, membagi hasil panen dalam bentuk padi. Ada kehidupan yang bergantung dari tiap bulir gabah yang jatuh ke tanah, dan Yoyon merasa bangga menjadi bagian dari mata rantai itu.

Di sela-sela kesibukan, Yoyon kerap membawa keluarganya ke sawah di akhir pekan. Mereka makan bersama di pematang, kopi disajikan di tengah padi yang bergoyang. Baginya sawah bukan sekadar lahan produksi, tetapi juga ruang kebersamaan yang hangat, di mana rasa lelah tersapu oleh tawa dan cerita.

Di tengah percakapan siang itu, angin sawah menyapu peluh di wajah Yoyon. Ia bercerita tentang mimpinya memiliki lahan sendiri, setidaknya setengah bau atau sekitar 0,3 hektare. Bukan hanya untuk menjamin masa depan keluarga, tetapi juga agar ia bebas berinovasi tanpa batasan sewa lahan.

Kini, berkat harga yang layak, ia bisa menata langkah, namun berharap adanya bantuan alat mesin panen mini agar kelompok taninya yang beranggotakan 25 orang bisa panen serentak tanpa harus menunggu giliran jasa mesin yang terbatas.

Senyum Yoyon hari itu bukan hanya milik dirinya namun petani lainnya yang bisa menjual hasil panennya dengan harga adil, tanpa rasa tertekan oleh tengkulak. Jerih payah mereka tak lagi dinilai dengan semena-mena.

Negara hadir

Pemerintah menetapkan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah gabah kering panen menjadi Rp6.500 per kilogram, langkah yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan harga bagi petani.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan kebijakan ini merupakan bentuk keberpihakan Presiden Prabowo Subianto dalam meningkatkan kesejahteraan petani di seluruh wilayah Indonesia.

"Kebijakan menaikkan HPP gabah ini menjadi bentuk nyata keberpihakan Presiden kepada petani," ucap Mentan.

Wakil Menteri Pertanian Sudaryono menyatakan kebijakan HPP baru ini selaras dengan prioritas swasembada pangan yang menekankan kecukupan stok nasional dan kesejahteraan petani.

HPP gabah yang ditetapkan juga diiringi dengan penghapusan rafaksi harga, sehingga petani dapat memperoleh harga penuh sesuai kualitas hasil panennya.

Dasar kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 14 Tahun 2025 yang mengubah ketentuan sebelumnya pada Keputusan Nomor 2 Tahun 2025. Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyampaikan penyesuaian ini bertujuan menjaga semangat petani dalam berproduksi serta memperkuat ketahanan pangan nasional.

Baca juga: BPS: Masyarakat miskin perdesaan di NTB turun 18.970 orang pada Maret 2025

Panen raya tahun ini dianggap sebagai momentum strategis untuk mengoptimalkan penyerapan gabah dan beras oleh Perum Bulog dari hasil produksi dalam negeri. Kebijakan ini memberi keleluasaan bagi Bulog menyerap gabah sesuai HPP, sehingga petani memiliki kepastian pasar pada saat puncak panen.

Penyesuaian HPP mulai berlaku 15 Januari 2025, memberi waktu bagi Bulog untuk menyiapkan mekanisme penyerapan sesuai kebutuhan. Kenaikan HPP dari Rp6.000 menjadi Rp6.500 per kilogram.

Di pertengahan tahun 2025, gudang-gudang Bulog menyimpan 4,2 juta ton beras, rekor tertinggi sejak kemerdekaan yang menjadi kebanggaan dalam perjalanan pangan nasional.

Baca juga: Stok beras NTB aman hingga musim panen padi tahun depan

Direktur Utama Perum Bulog Ahmad Rizal Ramdhani menyatakan capaian itu menjamin masyarakat tak perlu cemas akan ketersediaan beras di pasaran.

Momentum panen raya Agustus 2025 diperkirakan akan menambah stok nasional hingga 1 juta ton, memperkuat langkah menuju ketahanan pangan yang lebih kokoh. Tim Jemput Gabah diterjunkan untuk menyerap gabah petani dengan kualitas apa pun  dengan harga Rp6.500 per kg.

Rekor itu disebut sebagai tonggak sejarah dalam misi besar swasembada pangan, menandai sinergi kerja petani, pemerintah, dan Bulog dalam menjaga ketersediaan beras. Penetapan HPP gabah Rp6.500/kg adalah harapan baru memutus jerat tengkulak, menjaga stok beras, dan menguatkan langkah bangsa menuju swasembada pangan yang berkelanjutan.


 


Pewarta : Muhammad Harianto
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2025