Mataram (ANTARA) - Gelombang pengajuan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) oleh sejumlah koperasi di Nusa Tenggara barat (NTB) bukan sekadar prosedur administratif.
Ia adalah penanda arah baru bagaimana daerah ini mengelola sumber daya alam yang selama puluhan tahun lebih banyak dikeruk secara ilegal, merusak lingkungan, dan menumbuhkan lingkaran setan korupsi.
Legalitas yang sedang ditempuh lewat jalur koperasi diharapkan mampu menjadi jawaban atas dua tantangan besar: memberikan kepastian hukum bagi rakyat kecil yang menggantungkan hidup dari tambang, sekaligus mengakhiri praktik liar yang merugikan negara dan menghancurkan ekologi.
Namun legalitas sejati tidak boleh direduksi sebatas stempel izin. Pengalaman panjang tambang emas ilegal di Sekotong dan Dompu mengajarkan, bahwa izin tanpa pengawasan hanya akan melahirkan masalah baru.
Alih-alih menjadi jalan keluar, legalisasi bisa berubah menjadi legitimasi bagi praktik tambang kotor, yang di belakangnya justru bercokol mafia, pemodal gelap, hingga oknum aparat yang bermain mata. Peringatan Presiden Prabowo tentang keterlibatan aparat dalam melindungi tambang ilegal mestinya menjadi alarm keras bagi daerah.
Di sisi lain, ribuan warga lingkar tambang menaruh harapan besar pada koperasi sebagai jalan keluar. Mereka ingin terbebas dari stigma kriminalisasi dan bisa bekerja dengan aman di tanah kelahirannya sendiri.
Tetapi harapan itu membawa konsekuensi: koperasi harus benar-benar dikelola dengan prinsip kebersamaan, akuntabilitas, dan ramah lingkungan. Tidak boleh ada lagi praktik penggunaan merkuri yang mencemari sungai, penebangan liar yang menghancurkan hutan, atau penelantaran lubang tambang tanpa reklamasi.
Pemerintah daerah pun tidak boleh memandang IPR sebatas peluang untuk menaikkan pendapatan asli daerah. Jauh lebih penting dari itu adalah menutup rapat kebocoran penerimaan, menindak tegas tambang ilegal, serta memastikan manfaat tambang benar-benar sampai ke rakyat kecil, bukan tersedot ke kantong segelintir elite atau investor asing.
NTB punya kesempatan untuk menjadi contoh nasional: bahwa tambang rakyat bisa dikelola secara legal, transparan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Tetapi kesempatan itu hanya akan terwujud bila tiga hal berjalan beriringan yakni ketegasan penegakan hukum, komitmen koperasi pada tata kelola yang bersih, dan keberanian pemerintah daerah menjaga kelestarian lingkungan sebagai warisan generasi mendatang.
Legalitas pada akhirnya bukan sekadar selembar izin di atas kertas. Ia harus bermakna keadilan bagi rakyat, keseimbangan bagi alam, serta integritas bagi negara.
Bila para pemimpin di NTB gagal menjaganya, maka izin hanya akan menjadi pintu baru bagi praktik lama: korupsi yang dibungkus legalitas. Tetapi jika amanah ini dipegang dengan jujur, tambang rakyat dapat menjelma menjadi bukti bahwa pembangunan tak harus merusak, dan kekayaan alam benar-benar bisa menjadi berkah bersama.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Dana pokir, integritas dewan dan pelajaran dari gedung yang terbakar
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Temu Bisnis 2025, NTB mantapkan diri jadi rumah investasi
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Spirit Maulid di tengah bara sosial
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Gudang penyimpan, harapan baru untuk petani bawang merah NTB
Baca juga: Tajuk: NTB, Wajah Ramah Indonesia untuk wisata dunia
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Merawat bangsa dengan damai, Mencari solusi bersama
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Membaca makna dibalik api DPRD NTB