Dompu (ANTARA) - Sidang praperadilan anggota DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) dari Partai Golkar, Efan Limantika, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Dompu, Kamis (9/10), dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram) yang dihadirkan pihak pemohon.
Sidang yang dipimpin hakim tunggal, I Made Agni Prabawa Suryadi dengan panitera pengganti, Rosdiana itu berlangsung sekitar lima jam. Dari pihak termohon, hadir dua orang perwakilan Direktorat Pembinaan Hukum atau Bidang Hukum (Bidkum) Polda NTB, mewakili Satreskrim Polres Dompu.
Dalam persidangan tersebut, pemohon menghadirkan akademisi Unram, Taufan Abadi, SH, MH, sebagai ahli hukum. Dalam keterangannya, ahli menjelaskan bahwa praperadilan merupakan mekanisme kontrol terhadap tindakan aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
Ia juga menekankan, pentingnya penertiban administrasi hukum, seperti penerbitan Surat Perintah Penyidikan (SPPD) dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), agar sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Selama sidang, hakim dan pihak termohon mengajukan sejumlah pertanyaan kepada ahli terkait kedudukan hukum (legal standing) pemohon dalam mengajukan praperadilan, serta batasan kewenangan hakim dalam menguji keabsahan proses penyidikan.
Kuasa hukum Efan Limantika, Apryadin SH, menyampaikan bahwa permohonan praperadilan diajukan karena penyidik dinilai tidak menjalankan prosedur hukum secara benar ketika menaikkan perkara ke tahap penyidikan.
"Sejak laporan dibuat, klien kami tidak pernah dipanggil secara patut untuk memberikan keterangan," ujarnya seusai persidangan.
Selain menyoal prosedur penyelidikan, lanjut Apriyadi, pihaknya juga menggugat aspek administratif penyidikan. Ia menilai penyidik tidak pernah mengirimkan SPDP kepada kliennya sebagai pihak terlapor.
"Penyidik tidak pernah mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada klien kami," tegasnya.
Padahal, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 130/PUU-XIII/2015 dan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, SPDP wajib dikirimkan tidak hanya kepada jaksa, tetapi juga kepada pelapor dan terlapor paling lambat tujuh hari setelah penyidikan dimulai.
"Tidak adanya SPDP yang diterima oleh klien kami jelas melanggar hak hukum terlapor dan menyalahi prinsip keterbukaan proses hukum," kata Apryadin.
Sidang sempat ditunda beberapa kali, karena pihak termohon meminta ijin menyiapkan kelengkapan alat bukti dan materi sidang.
Hingga berita ini, dinaikkan sidang masih berlanjut dengan keterangan dua orang saksi meringankan yang kembali diajukan pemohon.
Diketahui, praperadilan ini berawal dari laporan dugaan pemalsuan dokumen dan penggelapan hak atas lahan. Berdasarkan laporan polisi Nomor LP/B/37/II/2025/SPKT/Polres Dompu/Polda NTB tertanggal 12 Februari 2025, Efan ditetapkan sebagai terlapor, namun hingga kini belum ditetapkan sebagai tersangka.
Ia kemudian, mengajukan permohonan praperadilan dengan Nomor Perkara 7/ Dpu pada 23 September 2025.