Mataram (ANTARA) - Setiap musim panen, hamparan jagung di Sumbawa dan Dompu berubah menjadi lautan emas yang menandai kemakmuran dari tanah kering Nusa Tenggara Barat.  Namun di balik warna kuning keemasan itu, tersimpan ironi yang menahun, yakni hasil panen berlimpah, tetapi nilai ekonomi tak sebanding karena lemahnya pengelolaan pascapanen.

Inilah celah yang kini berusaha dijembatani lewat rencana investasi pembangunan gudang modern oleh investor asal Turki--sebuah langkah yang bukan sekadar membangun fasilitas, tetapi juga membangun harapan akan kemandirian pangan dan masa depan pertanian NTB.

Potensi NTB memang tak diragukan. Sumbawa dan Dompu dikenal sebagai lumbung jagung nasional, sementara Lombok menghasilkan gabah melimpah yang menopang stok pangan daerah. Posisi geografis yang strategis, lahan luas, dan iklim tropis menjadikan provinsi ini magnet alami bagi investasi pertanian. Namun, sebagaimana sering terjadi, potensi besar hanya akan bermakna jika diiringi dengan kesiapan yang matang.

Pembangunan gudang pertanian modern berkapasitas hingga ratusan ribu ton per unit bukan hanya tentang tempat penyimpanan. Fasilitas seperti ini berfungsi sebagai pusat pengeringan, pengujian kadar air, hingga pengolahan awal sebelum distribusi.

Keberadaan gudang semacam ini berarti rantai pascapanen yang lebih efisien, harga jual yang lebih stabil, dan posisi tawar petani yang lebih kuat. Dalam arti luas, ini adalah bentuk konkret dari upaya membangun ketahanan pangan berbasis nilai tambah.

Namun, jalan menuju cita-cita itu tidak sederhana. Tantangan utama terletak pada penataan lahan dan infrastruktur pendukung. Menentukan lokasi yang tepat memerlukan perhitungan matang, mencakup akses jalan yang memadai, jaringan listrik yang stabil, hingga kesiapan logistik di daerah. Tanpa dukungan itu semua, gudang besar berisiko hanya menjadi monumen kebijakan tanpa fungsi nyata.

Pemerintah provinsi dan kabupaten perlu bertindak cepat dan strategis. Persiapan lahan harus disertai dengan penyusunan regulasi yang jelas, insentif yang menarik, dan skema kemitraan yang adil. Investasi tidak boleh berhenti di meja kontrak atau papan nama proyek. Petani, pelaku UMKM, hingga koperasi lokal harus menjadi bagian dari rantai nilai yang dibangun. Dengan kemitraan yang inklusif, gudang modern dapat menjelma menjadi pusat pemberdayaan, bukan sekadar simbol industrialisasi.

Aspek tata kelola dan standar mutu juga menjadi kunci. Pengalaman masa lalu, ketika sejumlah gudang di Dompu tidak berfungsi optimal karena lemahnya pengelolaan, harus dijadikan pelajaran. Setiap investasi besar menuntut pengawasan publik dan akuntabilitas agar manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat luas.

Pada akhirnya, pembangunan gudang jagung dan gabah di NTB bukan sekadar urusan infrastruktur pertanian, tetapi refleksi tentang bagaimana daerah ini mengelola peluang global untuk kemajuan lokal. Jika dikelola dengan strategi, transparansi, dan partisipasi, NTB dapat menjadi model modernisasi pertanian di Indonesia bagian timur. Namun jika abai terhadap kesiapan dan keberlanjutan, peluang emas ini bisa lenyap seperti butiran jagung yang terbuang di ladang.

Kini, saat mentari mulai tinggi di atas ladang Sumbawa, muncul pertanyaan sederhana namun mendasar. Apakah NTB akan membiarkan hasil buminya kembali kehilangan nilai, atau justru menjadikannya fondasi baru bagi kesejahteraan yang berkelanjutan?

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Lombok dan agenda besar di balik penghargaan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Memperkuat akses jalan alternatif di Lombok
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Nurani di balik seragam
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Menjaga harapan honorer di tengah krisis fiskal
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Dari Lirboyo, kita belajar arti kebijaksanaan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - NTB di persimpangan fiskal: Saatnya mandiri dari dana pusat


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025