Mataram (ANTARA) - Kasus kematian Brigadir Muhammad Nurhadi di Gili Trawangan bukan sekadar perkara pidana. Ia adalah cermin moral di balik seragam kepolisian. Tragedi yang terjadi medio April 2025 itu mengguncang karena bukan warga sipil yang menjadi pelaku, melainkan sesama aparat, yakni dua perwira polisi dan seorang perempuan yang diduga menghalangi penyidikan.
Kasus ini menohok nurani publik. Di tengah upaya Polri membangun kepercayaan pasca berbagai kasus pelanggaran etik, peristiwa ini menunjukkan bahwa integritas tidak bisa dijaga hanya dengan peraturan. Ia harus hidup dalam hati dan perilaku setiap anggota.
Sidang perdana dua perwira tersebut akan digelar di Pengadilan Negeri Mataram pada 27 Oktober 2025. Publik menanti bukan hanya vonis, tetapi juga kesungguhan lembaga dalam menegakkan nilai yang lebih mendasar, yakni moralitas aparat penegak hukum. Kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum bukan dibangun dari pidato atau slogan, melainkan dari keberanian untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Reformasi Polri sejatinya telah berjalan. Kurikulum diperbarui, pengawasan internal diperkuat, hingga etika digital diberlakukan. Namun, sebagaimana tampak dari kasus Nurhadi, reformasi struktural belum sepenuhnya menyentuh dimensi kultural. Etika bukan hanya teori dalam kelas, tetapi cermin perilaku di lapangan, bagaimana aparat memperlakukan warga, rekan kerja, bahkan kewenangan yang dimilikinya.
Keadilan yang sejati tidak berhenti pada kepatuhan administratif. Ia baru mulai ketika lembaga berani bercermin dan memperbaiki diri. Kepolisian perlu menegakkan pengawasan yang independen dan transparan, membuka diri terhadap partisipasi publik, serta menunjukkan bahwa setiap pelanggaran sekecil apa pun akan disikapi dengan tegas.
Masyarakat tidak menuntut polisi sempurna. Yang diharapkan adalah polisi yang jujur dan berani memperbaiki kesalahan. Transparansi bukan kelemahan, tetapi kekuatan moral yang menjadi fondasi utama lembaga penegak hukum modern.
Sebagaimana diingatkan almarhum Sosiolog Hukum Satjipto Rahardjo, “Hukum tidak bisa tegak oleh teks, tetapi oleh manusia yang berjiwa hukum.” Dalam kalimat itu terkandung pesan penting: hukum tanpa nurani akan kehilangan legitimasi, dan penegak hukum tanpa moral akan kehilangan kepercayaan.
Kasus Nurhadi seharusnya menjadi momentum reflektif untuk meneguhkan kembali nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya--bahwa kekuasaan harus tunduk pada nurani. Profesionalisme tanpa moral hanya akan menjadi topeng di balik kewenangan.
Polri memiliki banyak anggota berintegritas, bekerja dalam senyap menjaga keamanan masyarakat. Namun, segelintir oknum bisa merusak citra yang dibangun selama puluhan tahun. Karena itu, reformasi moral harus menjadi prioritas, bukan pelengkap.
Keadilan memang ditegakkan lewat hukum, tetapi nurani hanya bisa disembuhkan lewat kesadaran. Jika tragedi Gili Trawangan menjadi titik balik untuk memperbaiki kultur, maka kematian Brigadir Nurhadi tidak akan sia-sia. Ia menjadi pengingat bahwa di balik setiap seragam, ada tanggung jawab moral yang jauh lebih berat daripada sekadar menegakkan hukum melainkan menjaga kemanusiaan.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Menjaga harapan honorer di tengah krisis fiskal
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Dari Lirboyo, kita belajar arti kebijaksanaan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - NTB di persimpangan fiskal: Saatnya mandiri dari dana pusat
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - MotoGP Mandalika: Pesta Dunia, PR bersama
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - BTT NTB: Dana darurat atau kotak hitam?