Mataram (ANTARA) - Pembangunan pariwisata di Nusa Tenggara Barat (NTB) tengah berada pada titik krusial. Di satu sisi, pemerintah daerah berupaya memperkuat citra NTB sebagai destinasi unggulan nasional, dengan dorongan investasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. 

Namun di sisi lain, muncul persoalan serius mengenai kepatuhan terhadap regulasi lingkungan dan tata ruang laut. Kasus dugaan reklamasi tanpa izin di Gili Gede, Lombok Barat, menjadi cermin ketegangan antara ambisi ekonomi dan kepastian hukum yang semestinya berjalan beriringan.

Proyek pengembangan resort yang digarap PT Thamarind Dive Resort kini disorot publik setelah Kejaksaan Tinggi NTB memulai penyelidikan. Pengembang disebut melakukan pengurukan lahan seluas sekitar empat are atau 400 meter persegi tanpa izin reklamasi yang sah. 

Pemerintah Provinsi NTB sendiri menegaskan bahwa izin reklamasi tak pernah diterbitkan, melainkan hanya izin lokasi perairan yang masa berlakunya telah berakhir pada 2021. Fakta ini menunjukkan adanya potensi pelanggaran serius dalam tata kelola perizinan kawasan pesisir.

Masalah utama bukan hanya soal administrasi, melainkan lemahnya koordinasi antar-instansi. Izin lokasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan, rekomendasi lingkungan dari Dinas Lingkungan Hidup, hingga kesesuaian ruang laut di tingkat pusat, semestinya saling terhubung dalam satu sistem. 

Ketika salah satu rantai terputus, peluang pelanggaran terbuka lebar. Dampaknya bukan hanya pada lingkungan laut yang rusak, tetapi juga pada hak masyarakat pesisir yang terpinggirkan dan reputasi pemerintah yang tercoreng.

Regulasi reklamasi laut di Indonesia sejatinya sudah tegas. Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 melarang reklamasi di kawasan konservasi dan alur laut. 

Pelanggaran terhadap ketentuan ini bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga moral, karena menyangkut keberlanjutan ekosistem yang menjadi sumber kehidupan banyak warga pesisir.

Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan tidak boleh berdiri di atas fondasi yang rapuh. Kecepatan investasi tidak dapat dijadikan alasan untuk menabrak aturan. 

Gili Gede seharusnya menjadi contoh bahwa pembangunan yang baik adalah pembangunan yang tertib hukum, berpihak pada masyarakat lokal, dan menghormati daya dukung lingkungan.

Pemerintah daerah bersama instansi terkait perlu mengambil langkah korektif segera. Audit menyeluruh terhadap seluruh izin usaha wisata pesisir menjadi kebutuhan mendesak. 

Transparansi juga harus diperkuat melalui sistem digital yang terbuka, agar publik dapat memantau status setiap proyek secara real-time. Hanya dengan keterbukaan seperti itu, kepercayaan publik dan investor dapat dipulihkan.

Lebih dari itu, masyarakat pesisir harus ditempatkan sebagai subjek pembangunan, bukan objek yang hanya menyaksikan. Mereka berhak atas laut yang bersih, ruang hidup yang lestari, dan hasil ekonomi yang adil.

Kasus Gili Gede memberikan pelajaran berharga bahwa pembangunan tanpa kepastian hukum hanya akan menimbulkan keraguan dan konflik. NTB memerlukan arah baru pariwisata yang tidak hanya indah dipromosikan, tetapi juga kokoh di atas prinsip keberlanjutan dan keadilan. 

Hanya dengan itu, wajah pariwisata NTB akan benar-benar menjadi kebanggaan, bukan sekadar janji di atas pasir pesisir Sekotong.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - NTB dan masa depan di balik gudang jagung
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Lombok dan agenda besar di balik penghargaan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Memperkuat akses jalan alternatif di Lombok
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Nurani di balik seragam
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Menjaga harapan honorer di tengah krisis fiskal
 


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025