Mataram (ANTARA) - Harga tiket pesawat kembali menjadi satu dari sekian persoalan klasik yang tak kunjung memperoleh jawaban tuntas di Indonesia. 

Setiap kali periode liburan atau momen lonjakan wisatawan tiba, keluhan publik muncul seperti gema yang terus berulang. 

Di kawasan timur, terutama Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), masalah ini bahkan memiliki implikasi yang jauh lebih besar. 

Di wilayah-wilayah tersebut, pariwisata bukan sekadar sektor unggulan, melainkan tulang punggung ekonomi daerah.

Ketika harga tiket melonjak, melemahlah pergerakan manusia yang selama ini menjadi penopang ekosistem pariwisata. Hotel meredup tingkat huninya, pelaku perjalanan mengurangi paket promosi, UMKM menurun penjualannya, hingga ekonomi lokal ikut tersendat. 

Kondisi seperti itu bukan hal baru. Selama 2019–2024, laporan kelangkaan tiket murah terus terdengar dari asosiasi perjalanan, pelaku industri, hingga pemerintah daerah. 

Bahkan pascagempa Lombok 2018 dan pascapandemi COVID-19, harga tiket sempat melampaui batas yang dinilai wajar oleh wisatawan.

Di banyak rute, keluhan tersebut sejalan dengan fakta lapangan. Tiket Jakarta-Lombok pernah berada di kisaran dua hingga empat juta rupiah pulang pergi, sementara Bali-Lombok menembus satu juta rupiah sekali jalan. 

Belum lagi penetapan bagasi berbayar yang semakin membebani wisatawan dan mengurangi daya saing destinasi.

Dalam konteks demikian, langkah tiga gubernur Bali, NTB, dan NTT yang sepakat memperjuangkan tiket pesawat terjangkau menjadi momentum penting. 

Kolaborasi ini tidak hanya menggambarkan kesadaran bersama akan urgensi konektivitas, tetapi juga menunjukkan bahwa persoalan ini terlalu besar jika ditangani secara sektoral. 

Wilayah-wilayah tersebut saling terhubung oleh alur pariwisata, sejarah, dan ekonomi. Tanpa konektivitas yang efisien, upaya membangun kawasan sebagai poros wisata timur tidak akan berjalan optimal.

Konektivitas udara memang memegang peran strategis. Di NTB, setiap kenaikan harga tiket langsung terasa pada tingkat kunjungan wisatawan, penjualan paket perjalanan, hingga penyerapan tenaga kerja di sektor turunan. 

Di NTT, keterbatasan moda transportasi antarpulau membuat masyarakat sepenuhnya bergantung pada pesawat. 

Bahkan bagi Bali yang menjadi hub utama pariwisata Indonesia, tingginya tarif rute ke provinsi tetangga justru membuat wisatawan enggan melanjutkan perjalanan ke Lombok atau Labuan Bajo.

Selain berdampak pada pariwisata, tiket pesawat mahal juga memengaruhi stabilitas ekonomi. Pada 2015, BPS mencatat angkutan udara menjadi salah satu penyumbang inflasi di NTB. 

Artinya, isu ini bukan sekadar kepentingan wisata, namun berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat dan daya beli rumah tangga.

Karena itu, kesepakatan tiga provinsi harus diterjemahkan ke dalam strategi nyata. Sinkronisasi kebutuhan rute dan frekuensi penerbangan diperlukan untuk membuka dialog konstruktif dengan maskapai. 

Evaluasi komponen biaya seperti avtur, pajak bandara, dan layanan penunjang juga dapat menjadi ruang intervensi pemerintah pusat. 

Selain itu, promosi paket lintas provinsi, relaksasi biaya pada periode tertentu, hingga penguatan konektivitas laut dan darat perlu ditempatkan dalam kerangka solusi jangka menengah dan panjang.

Pada akhirnya, perjuangan menghadirkan tiket terjangkau bukan hanya soal membuat liburan lebih murah bagi wisatawan. 

Ini tentang bagaimana masyarakat timur Indonesia memperoleh akses yang wajar terhadap mobilitas, tentang bagaimana UMKM dapat bertahan dan tumbuh, dan tentang bagaimana pariwisata dapat terus menjadi motor penggerak pembangunan. 

Jika kolaborasi regional ini diikuti dukungan pusat dan komitmen maskapai, maka jalan menuju konektivitas murah di Timur Nusantara bukan sekadar harapan, melainkan agenda yang dapat diwujudkan.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Sekolah rakyat dan ikhtiar memutus rantai kemiskinan NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Membaca ulang arah kereta gantung Rinjani
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menguatkan tata kelola Rinjani-Tambora
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Irigasi NTB dan jalan panjang kedaulatan pangan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Jalan dan jembatan sebagai penopang kemajuan NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB- Menambal luka gizi di Bumi Gora
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mataram menanam integritas sejak dini
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Kendaraan listrik, Jalan hijau baru NTB


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025