Mataram (ANTARA) - DPRD Nusa Tenggara Barat, menegaskan akan mengawal perjuangan masyarakat setempat dalam mendapatkan hak atas pengelolaan lahan hutan tanaman industri (HTI) dari perusahaan yang beroperasi di wilayah itu sesuai ketentuan pemerintah.

Ketua Komisi II DPRD NTB, Lalu Pelita Putra, mengatakan apa yang menjadi masukan elemen masyarakat akan dibahas bersama pemerintah terkait masyarakat yang meminta mencabut izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanam Industri (IUPHHK-HTI) yang dikuasai PT. Sadhana Arif Nusa (SAN) pada lahan seluas 700 hektar di wilayah Kecamatan Praya Barat Daya dan Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah.

"Apa yang jadi masukan akan kami padukan, baik data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perusahaan, termasuk masyarakat yang berada di kawasan itu. Apa yang jadi rekomendasi akan kami teruskan ke pimpinan DPRD," ujarnya usai menerima kehadiran masyarakat Praya Barat Daya dan Praya Barat di DPRD NTB di Mataram, Kamis.

Terkait keinginan masyarakat untuk mencabut izin HTI dari PT SAN, ia menyatakan pihaknya akan melakukan kajian terlebih dahulu bersama instansi terkait dalam hal ini pemerintah.

"Kami miris juga, sebelum kami masuk di DPRD, di dalam kawasan itu pernah kami kelola 100 hektare di bawah kelompok tani Wahana Lestari 1. Soal (pencabutan izin) akan menjadi catatan dewan bagaimana pelaksanaan konsesi yang diberikan ke perusahaan," ujarnya didampingi Anggota DPRD NTB Megawati Lestari.

Pelita tidak menampik ada banyak persoalan di lahan tersebut, namun meski demikian pihaknya juga harus objektif melihat dari data-data yang ada, termasuk kondisi di lapangan (masyarakat). Terlebih lagi, ada dugaan bahwa Nomor Induk Berusaha (NIB) yang dimiliki perusahaan adalah palsu.

"Insya Allah akan kami rapatkan dan kaji secara baik dan profesional. Kalau pun kemudian hasilnya jauh dari yang diharapkan dari perusahaan akan jadi catatan (dewan)," terang anggota DPRD NTB Dapil Kabupaten Lombok Tengah ini.

Anggota DPRD Dari Dapil Lombok Tengah Megawati Lestari mengatakan akan menampung semua keluhan masyarakat. Dia juga akan mengecek seluruh dokumen PT SAN yang sudah bertahun-tahun mengelola kawasan hutan produksi di daerahnya.

"Kami bersama masyarakat intinya. Apa pun itu kami akan lakukan demi masyarakat," katanya.

Baca juga: Lombok Timur dukung swasembada garam nasional

Kepala Bidang Planologi dan Produksi Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB Burhan Bono mengaku akan mengkaji semua tuntutan masyarakat.

Adanya dugaan pemerintah NTB tidak pernah mengevaluasi usaha PT SAN di Lombok Tengah pun dibantah oleh Burhan. Ia mengatakan pemerintah tetap melakukan evaluasi berkala tiap 5 tahun.

"Kita kan tetap evaluasi nanti. Izinnya kan tahun 2011 kan evaluasi-nya per lima tahun. Kalau yang izin tahun 2021 ke atas rutin kita evaluasi," ungkap Burhan.

Baca juga: Wagub: Penanggulangan bencana di NTB harus inklusif dan berkeadilan

Burhan mengaku berdasarkan dokumen IUPHHK-HTI yang diterbitkan 2011 atau sekarang dikenal dengan Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan (PBPHH), PT SAN mengelola hutan seluas 4.100 hektar di Lombok Timur, Lombok Utara dan Lombok Tengah.

Khusus di Lombok Tengah, PT SAN diberikan mengelola hutan seluas 700 hektar di empat desa. Sejak tahun 2011, perusahaan yang menyuplai kayu untuk kebutuhan open tembakau itu masih dilakukan hingga tahun 2025.

Kendati demikian, jika ditemukan pelanggaran dugaan penjiplakan dokumen lama ke dokumen baru sesuai apa yang disampaikan oleh masyarakat akan menjadi catatan untuk dilaporkan ke kementerian.

"Kalau ada pelanggaran? Kan tergantung pelanggaran-nya, bisa sampai ke pencabutan izin. Artinya ke depan diskusikan dengan DPRD dan kami siap menampung seluruh persoalan dan akan sampaikan ke pak menteri," tandas Burhan.

Perwakilan warga, Ahmad Halim mengatakan IUPHHK-HTI milik PT SAN diduga bermasalah lantaran NIB perusahaan yang menggarap lahan seluas 700 hektar di Desa Mangkung, Kabul, Montong Sapah dan Pelambik tidak pernah diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sejak tahun 2021.

"Jadi ada dua NIB yang kami pegang milik perusahaan. Pertama tahun 2011 di sana tidak tertera wilayah Lombok Tengah. Nah sekarang NIB yang baru 2021 itu wilayah kami dicaplok padahal NIB yang dikeluarkan tidak ada," kata Halim.

Halim menjelaskan IUPHHK-HTI milik PT SAN tidak pernah dilakukan evaluasi oleh pemerintah NTB. Bahkan, kejanggalan penerbitan NIB yang diterbitkan di Jakarta tahun 2011 dan tahun 2021 tidak ada perbedaan sama sekali.

"Jadi, ada tiga NIB yang dipegang. Pertama tahun 2011 itu wilayah kami belum masuk ke dalam kawasan HTI. Kedua diterbitkan 2021 itu daerah kami dicaplok. Dan pada Desember 2025 sama NIB yang sama diterbitkan tapi kami curiga itu dijiplak karena tidak ada orang yang menandatangani NIB itu," ujarnya.

Anehnya, dalam dokumen NIB yang dipegang oleh perusahaan HTI ini tidak dicantumkan. Seharusnya izin mengelola hutan ditandatangani oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.


Pewarta : Nur Imansyah
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2025