Mataram (ANTARA) - Pembalakan liar di Pulau Sumbawa, khususnya di wilayah Sumbawa, Bima, dan Dompu, telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Kerusakan hutan yang terus berlangsung tidak lagi dapat dipandang sebagai peristiwa insidental, melainkan sebagai persoalan struktural yang berkelindan dengan tekanan ekonomi, lemahnya pengawasan, serta tata kelola kehutanan yang belum efektif.
Penyusutan tutupan hutan di kawasan perbukitan Pulau Sumbawa berdampak langsung pada meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi. Lereng yang kehilangan vegetasi tidak mampu menahan air hujan, memicu erosi, longsor, dan banjir bandang.
Dampak ini bukan sekadar persoalan lingkungan, tetapi telah menyentuh aspek keselamatan warga, keberlanjutan pertanian, serta stabilitas infrastruktur daerah.
Surat resmi Bupati Bima kepada Gubernur NTB yang menyoroti kondisi hutan yang kian gundul menjadi penanda penting bahwa kerusakan telah melampaui ambang toleransi daerah.
Desakan tersebut mencerminkan kegelisahan pemerintah kabupaten yang berada di garis depan dampak ekologis, sementara kewenangan pengelolaan hutan berada di tingkat provinsi. Ketimpangan antara kewenangan dan beban risiko inilah yang memperlemah respons kolektif terhadap pembalakan liar.
Fakta penindakan menunjukkan bahwa aktivitas ilegal berlangsung secara sistematis.
Pengamanan ratusan balok kayu dan temuan rekaman video penebangan di kawasan hutan menegaskan bahwa praktik ini memanfaatkan celah pengawasan dan keterbatasan sumber daya aparat kehutanan.
Ketika hutan kehilangan penjaga yang efektif, kepentingan jangka pendek dengan mudah mengalahkan kepentingan ekologis jangka panjang.
Dorongan ekonomi menjadi faktor utama yang tidak bisa diabaikan. Ekspansi lahan jagung, perambahan untuk pertanian, serta tingginya nilai jual kayu menjadikan hutan sebagai sasaran empuk.
Di wilayah dengan pilihan mata pencaharian terbatas, larangan semata sering kali tidak cukup kuat menahan tekanan kebutuhan hidup. Dalam situasi seperti ini, pembiaran yang berlangsung lama hanya akan mempercepat degradasi lingkungan.
Data menunjukkan luas lahan kritis di NTB memang mengalami penurunan, namun belum sebanding dengan laju bencana yang terjadi di Pulau Sumbawa.
Banjir dan longsor yang melanda Bima dan Dompu pada musim hujan 2024 hingga 2025 menjadi bukti bahwa pemulihan ekosistem belum mampu mengimbangi kerusakan.
Biaya pemulihan pascabencana yang ditanggung negara jauh lebih besar dibandingkan investasi untuk menjaga hutan tetap utuh.
Upaya daerah seperti pembentukan satuan tugas hutan, penindakan pengangkutan kayu ilegal, dan program reboisasi berbasis tanaman produktif patut diapresiasi.
Namun langkah-langkah ini masih bersifat parsial dan sangat bergantung pada keberanian kepala daerah masing-masing. Tanpa orkestrasi yang kuat di tingkat provinsi, inisiatif tersebut berisiko terputus dan kehilangan kesinambungan.
Penanganan pembalakan liar di NTB membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh. Penegakan hukum harus berjalan seiring dengan penyediaan alternatif ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar hutan.
Skema agroforestri, penanaman tanaman keras bernilai ekonomi, serta penguatan perhutanan sosial dapat menjadi jalan tengah antara pelestarian dan kesejahteraan.
Di atas semua itu, ketegasan pemerintah provinsi menjadi kunci. Pembenahan tata kelola, penguatan pengawasan berbasis teknologi, dan keberpihakan yang jelas pada daya dukung lingkungan adalah prasyarat menjaga masa depan NTB.
Pembalakan liar bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan cermin pilihan pembangunan. Menjaga hutan berarti menjaga air, tanah, pangan, dan keselamatan manusia. Sebuah tanggung jawab yang tidak bisa lagi ditunda.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - HUT NTB: Menata arah di usia 67
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Desa berdaya, harapan baru pengentasan kemiskinan di NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mengurai simpul sampah perkotaan NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menjaga ingatan Bumi Gora
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menguatkan Lombok Sumbawa di peta budaya
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Koruptor: Orang berilmu yang serakah
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mandalika di bawah ancaman tambang liar
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Korupsi PPJ dan krisis tata kelola di Lombok Tengah
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Bara yang meletup di lintas Bima-Sumbawa