Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan kelompok teror memanfaatkan fitur komunikasi dalam game online atau gim daring, seperti voice chat untuk membangun kedekatan emosional dan rasa kebersamaan.

Saat memberikan sambutan secara daring dalam Dialog Kebangsaan Bersama Satuan Pendidikan di Surabaya, Jawa Timur, Kamis, Kepala BNPT Eddy Hartono mengatakan tahapan tersebut dikenal sebagai digital grooming, yakni proses membangun kepercayaan, atensi, dan ikatan psikologis dengan korban.

"Setelah ada kedekatan, anak-anak ini perlahan diajak keluar dari ruang gim ke grup tertutup seperti Telegram atau WhatsApp. Di sanalah terjadi normalisasi perilaku dan doktrinasi, termasuk narasi bahwa demokrasi itu haram dan pemerintah adalah thaghut," kata Eddy, seperti dikonfirmasi di Jakarta.

Eddy menegaskan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan ruang bagi aparat untuk bertindak secara preventif.

Dengan pendekatan preemptive justice, kata dia, aparat penegak hukum dapat menindak sejak tahap persiapan tanpa harus menunggu terjadinya aksi teror. Ia juga menyampaikan Indonesia telah berhasil menjaga situasi kondusif, dengan tidak adanya aksi terorisme dalam 3 tahun terakhir.

Baca juga: Kelompok teror sesuaikan strategi dengan perkembangan zaman

Meski demikian, dikatakan bahwa upaya pencegahan dini, khususnya terhadap anak-anak, harus terus diperkuat. BNPT, lanjut Eddy, mengembangkan pendekatan mikro-ekologi anak dalam pencegahan ekstremisme, yang mencakup lingkungan keluarga, sekolah, pergaulan, hingga interaksi digital.

Faktor psikologis seperti keluarga tidak harmonis dan pengalaman perundungan (bullying) disebut menjadi pemicu utama kerentanan anak terhadap paparan radikalisme. Ke depan, BNPT mendorong pembentukan forum komunikasi di sekolah yang melibatkan guru, siswa, dan orang tua agar potensi masalah dapat terdeteksi dan ditangani sejak dini.

Baca juga: Ada upaya menyusupkan paham radikal lewat game online

Selain itu, BNPT tengah menyusun Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.

"Pencegahan terorisme adalah kewajiban negara. Ini bukan pilihan, tapi keharusan," ucap dia menegaskan.

Dia berharap seluruh peserta dialog dapat menjadi duta pencegahan radikalisme di lingkungan masing-masing, sehingga proses belajar mengajar di sekolah tetap aman, damai, dan bebas dari pengaruh ideologi kekerasan.

Selain itu, dia menilai peran guru sangat besar dalam menghadapi radikalisme digital yang menyasar peserta didik.

Adapun kegiatan Dialog Kebangsaan tersebut diikuti kepala sekolah, guru agama, guru PPKn, guru bimbingan konseling, serta perwakilan satuan pendidikan dari 17 provinsi, baik secara luring dengan sekitar 300 peserta maupun daring dengan kurang lebih 1.000 peserta.


 


Pewarta : Agatha Olivia Victoria
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2025