Surabaya (ANTARA) - Berisiknya linimasa beberapa bulan terakhir memperlihatkan satu hal yang sebenarnya tak baru: kita selalu gagap ketika negara mencoba mengatur ruang digital. PP No. 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak, yang kemudian populer dengan sebutan PP Tunas, hadir dengan niat yang relatif jelas, yakni memberi perlindungan yang lebih kuat kepada anak dari paparan konten digital yang berisiko. Namun, seperti lazimnya kebijakan yang menyentuh wilayah privat sekaligus publik, PP ini langsung memantik perdebatan: antara perlindungan dan pembatasan, antara kepedulian dan kekhawatiran akan kontrol berlebihan.

Sebagian kritik menyebut PP Tunas sebagai bentuk “negara ikut campur” dalam pola asuh keluarga. Ada pula yang mencurigainya sebagai pintu masuk sensor digital. Tetapi di sisi lain, tak sedikit orang tua dan pendidik lega, yang merasa akhirnya negara tidak sekadar menjadi penonton ketika anak-anak tumbuh di tengah banjir algoritma, iklan terselubung, dan konten yang sering kali lebih cepat dewasa dibanding kesiapan psikologis penggunanya.

Media Digital sebagai Lingkungan Sosial Baru

Dalam perspektif sosial, perdebatan ini sesungguhnya mencerminkan perubahan lanskap kehidupan sehari-hari. Anak-anak hari ini tidak lagi hanya belajar dari keluarga, sekolah, dan lingkungan fisik. Gawai dan platform digital telah menjadi “ruang sosial baru” tempat nilai, bahasa, dan identitas dibentuk. Media bukan lagi sekadar alat saluran pesan, melainkan lingkungan tempat manusia hidup. Di titik inilah gagasan Marshall McLuhan menjadi relevan untuk dibaca ulang. 

Pemikiran McLuhan pada awal 1960an, terutama melalui idenya the medium is the message (1964) memberi kerangka penting untuk membaca situasi hari ini. Ia pernah menekankan bahwa medium bukan sekadar pembawa pesan, melainkan turut membentuk cara berpikir dan berperilaku manusia. Cara media bekerja diyakini lebih menentukan dampaknya dibandingkan isi pesan itu sendiri. Jika medium digital membentuk cara anak berpikir, berinteraksi, dan menilai diri, maka persoalan perlindungan tidak bisa direduksi hanya pada soal konten “baik” atau “buruk”. Untuk itu pula, jika ruang digital hari ini menjadi “guru” yang senyap bagi anak-anak, maka pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab atas kurikulum tak tertulis itu, kini menjadi sah untuk diajukan.

PP Tunas tampaknya lahir dari kegelisahan tersebut. Dalam kaitan ini, tampak sebagai respons negara terhadap perubahan lingkungan sosial baru itu. Dengan melihat bahwa ekosistem digital tidak sepenuhnya netral apalagi “baik” untuk anak. Algoritma disadari seolah dirancang untuk memaksimalkan atensi, bukan keselamatan, bahkan tak sedikit jauh dari kata mendidik ataupun melindungi. Konten agresif, sensasional dan penuh manipulasi emosi seringkali lebih mudah viral dibandingkan konten edukatif. Dalam situasi seperti ini, anak-anak berada pada posisi yang rentan karena mereka belum memiliki kapasitas kritis yang matang untuk memilah mana yang patut ditiru dan mana yang seharusnya dihindari.

Namun, perlindungan melalui regulasi selalu berisiko menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi pagar pengaman. Di sisi lain, ia berpotensi menjadi tembok pembatas. Di sinilah perspektif komunikasi publik menjadi penting. Kebijakan yang baik tidak cukup hanya benar secara normatif, tetapi juga harus dipahami dan diterima secara sosial. Tanpa komunikasi yang jernih, PP Tunas mudah dipersepsikan sebagai larangan semata, bukan sebagai upaya kolektif menjaga tumbuh kembang anak.

Negara, Orang Tua dan Ruang Dialog Publik

Pemikiran Jurgen Habermas tentang ruang publik, dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), dapat membantu untuk mencermati persoalan ini. Habermas menekankan pentingnya dialog rasional antara negara dan warga dalam ruang publik yang inklusif. Regulasi yang menyentuh kehidupan sehari-hari terlebih yang berkaitan dengan anak dan keluarga seharusnya tidak berhenti pada teks hukum. Ia perlu “diterjemahkan” ke dalam bahasa yang akrab, dibuka ruang diskusinya, dan memberi kesempatan bagi warga untuk merasa terlibat, bukan sekadar diatur.

Masalahnya, sosialisasi kebijakan di era digital sering kalah cepat dengan arus disinformasi. Potongan pasal disebar tanpa konteks, tafsir liar beredar tanpa klarifikasi, dan kecurigaan tumbuh subur. Dalam kondisi seperti ini, PP Tunas seolah berdiri sendirian menghadapi badai opini. Padahal, isu perlindungan anak seharusnya menjadi agenda bersama, bukan arena saling curiga.

Literasi Digital: Pagar Tak Kasat Mata

Ada satu hal penting yang kerap luput dalam perdebatan: regulasi tidak pernah bisa menggantikan peran keluarga dan komunitas. PP Tunas, seketat apa pun, tidak akan efektif jika orang tua melepaskan tanggung jawab literasi digital. Negara bisa menetapkan batas, platform bisa menyesuaikan sistem, tetapi nilai-nilai dasar tetap dibentuk melalui relasi sehari-hari. Anak belajar bukan hanya dari apa yang dilarang, tetapi dari apa yang dicontohkan.

Karena itu, membaca PP Tunas semestinya tidak dilakukan dengan kacamata hitam-putih. Ia bukan penyelamat tunggal, tetapi juga bukan ancaman absolut. Ia adalah sinyal bahwa negara mulai menyadari kompleksitas dunia digital yang dihadapi generasi muda. Tugas kita sebagai masyarakat adalah memastikan sinyal itu diterjemahkan menjadi kebijakan yang proporsional, transparan, dan adaptif.

Ke depan, tantangan terbesar bukan hanya pada implementasi teknis, melainkan pada pembangunan kepercayaan. Negara perlu menunjukkan bahwa regulasi ini bertujuan melindungi, bukan mengawasi. Publik perlu membuka diri bahwa perlindungan anak di era digital memang menuntut pendekatan baru. Di antara keduanya, dialog harus terus dirawat.
Pada akhirnya, PP Tunas mengingatkan kita pada satu kenyataan sederhana namun sering diabaikan: anak-anak tumbuh lebih cepat daripada regulasi. Jika negara, keluarga, dan masyarakat tidak bergerak bersama, maka ruang digital akan terus menjadi wilayah tanpa penuntun. Dalam konteks itulah, PP Tunas seharusnya dibaca bukan sebagai akhir perdebatan, melainkan sebagai awal percakapan yang lebih dewasa tentang masa depan anak-anak kita di dunia yang semakin terdigitalisasi.

*) Penulis adalah Mahasiswa S3 Ilmu Sosial Unair, Dosen Ilmu Komunikasi FISIB UTM


Pewarta : Imam Sofyan *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025