Mataram (ANTARA) - Gunung Rinjani kerap kita kenal lewat angka dan gambar berupa ketinggian, jalur pendakian, estimasi waktu tempuh, panorama yang instagramable. Semua itu hadir sebagai destinasi, seolah-olah gunung hanyalah objek yang bisa diukur, ditaklukkan, dan diunggah ke linimasa sosial media.

Padahal, bagi mereka yang hidup dan bekerja di seputar hutan dan kaki gunung, Rinjani adalah ruang hidup. Ia bukan sekadar bentang alam, melainkan ruang yang menuntut adab, kehati-hatian, dan penghormatan. Di sana berlaku etika tak tertulis yang diwariskan dari mulut ke mulut, dari pengalaman ke pengalaman.

Cerita-cerita yang beredar di kalangan petugas lapangan, mulai dari polisi bhabinkamtibmas, polisi hutan, hingga warga lokal itu bukan sekadar kisah mistis untuk menakut-nakuti. 

Cerita-cerita itu bekerja sebagai pengetahuan kultural, sebagai cara lain untuk mengingatkan bahwa alam memiliki aturan sendiri, dan manusia bukan pusat semesta. 

Dalam ungkapan lisan masyarakat Sasak dikenal pepatah, “Alam lek gumi, gumi lek alam” artinya alam menyatu dengan bumi, dan manusia hanyalah bagian kecil di dalamnya.

Gunung sebagai Ruang Etis

Ahmad Muadi, Bhabinkamtibmas Aik Berik, menyebut Rinjani sebagai kawasan yang disakralkan secara spiritual. Ia mengungkapkan itu pada Rabu (24/12/2025), saat saya berkunjung ke Aik Berik, desa tempat ia bertugas. 

Pengalamannya sejak 2005 menangani pendaki tersesat termasuk wisatawan asing yang hanya berbekal Google Maps menunjukkan satu hal penting: teknologi kerap menumbuhkan rasa percaya diri berlebihan, sementara gunung justru menuntut kerendahan hati.

Larangan mangku agar tidak turun ke Segara Anak pada malam hari yang pernah ia abaikan berujung pengalaman traumatik. Kakinya seolah ditarik lumpur berpasir, tubuhnya nyaris tenggelam, dan keselamatan justru datang dari orang yang sejak awal mengingatkan.

Peristiwa itu menjadi pengetahuan tubuh, sebuah pelajaran yang tidak tercatat dalam peta digital, tetapi tertanam kuat dalam ingatan.

Dalam kerangka etnomitologi, kisah semacam ini tidak diletakkan pada soal benar atau salah secara ilmiah.

Etnomitologi berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menjaga perilaku manusia di ruang ekologis yang rapuh. Mitos bekerja sebagai rem, sebagai alarm kultural yang berbunyi ketika manusia mulai melampaui batas.

Pengalaman Gede Permana, Polisi Hutan TNGR, memperkuat hal tersebut. Suara yang terdengar dekat padahal jaraknya jauh, kawasan yang terasa “ramai” pada waktu tertentu, hingga peristiwa kesurupan di Segara Anak.

Semuanya itu membentuk satu pesan yang sama bahwa hutan bukan ruang kosong. Ia dihuni, baik oleh makhluk hidup yang kasat mata maupun oleh sistem ekologis yang mudah terganggu oleh kelalaian manusia.

Warga lokal mempercayai Rinjani sebagai ruang berpenghuni. Kepercayaan itu sejalan dengan pandangan ekologis bahwa hutan, mata air, dan gunung adalah sistem hidup yang saling terhubung. 

Di sini, ungkapan lokal “Tao jari diri, tao jari gumi” yang artinya mengenal diri juga berarti mengenal bumi menjadi penanda etika relasi manusia dengan alam sekitarnya.

Mitos sebagai pengetahuan ekologis

Di titik inilah etnomitologi bekerja sebagai pengetahuan ekologis. Ia mengatur larangan, membentuk rasa takut yang produktif, dan menanamkan kesadaran bahwa alam tidak bisa diperlakukan sembarangan.

Mitos tentang makhluk penjaga hutan, suara musik gaib, atau kisah “kingkong” yang mengejar warga di Gawah Re, pada dasarnya adalah bahasa simbolik untuk mengatakan bahwa ada batas yang tidak boleh dilanggar.

Kesadaran serupa tampak dalam ritus Ngasuh Gunung yang dilakukan komunitas adat di Desa Sajang, Sembalun, beberapa bulan lalu. 

Ritus itu bukan seremoni kosong, melainkan pernyataan etis bahwa gunung harus “diasuh” dirawat, dijaga, dan diperlakukan seperti makhluk hidup yang memberi, sekaligus bisa murka jika diabaikan. Gunung tidak ditaklukkan, melainkan dirawat relasinya.

Hal yang sama hidup dalam kepercayaan masyarakat adat Bebekeq di Gangga, Lombok Utara. Keyakinan tentang ruang-ruang tertentu yang tak boleh dirusak, pohon yang tak bisa ditebang sembarangan, serta air yang harus diperlakukan dengan hormat.

Ritus itu sejatinya adalah sistem pengelolaan lingkungan berbasis budaya lokal. Di sana, mitos bekerja sebagai pagar ekologis yang menjaga keseimbangan.

Dalam konteks Rinjani, cerita-cerita lapangan dari Ahmad dan Gede adalah bagian dari pagar itu. Ia mengingatkan para pendaki agar tidak berkata sembarangan, tidak bercanda kelewat batas, dan tidak meremehkan larangan lokal. Bukan karena gunung itu “angker”, melainkan karena ekosistemnya rentan dan mudah rusak.

Di tengah krisis ekologis dan ledakan wisata alam, etnomitologi kerap disisihkan sebagai takhayul. Padahal, justru di sanalah tersimpan kearifan tentang batas, adab, dan relasi. 

Rinjani, dengan segala kisahnya, seakan berbisik pelan: manusia boleh datang, menikmati, dan belajar asalkan tahu diri. Gunung tidak menuntut dipuja. Ia hanya meminta dihormati.

Mitos di sini bukan “cerita bohong”. Mitos adalah narasi simbolik yang dipercaya, diwariskan, dan dipakai untuk menjelaskan dunia: asal-usul alam, manusia, leluhur, bencana, penyakit, hingga tata moral. 

Bayangkan mitos sebagai perangkat lunak budaya. Ia tidak terlihat, tetapi mengatur cara orang memahami gunung, mata air, hutan, laut, dan relasi manusia dengan yang gaib.

Dalam konteks Nusantara, termasuk Lombok, etnomitologi membantu membaca kisah tentang leluhur, penunggu alam, atau asal-usul desa bukan sebagai dongeng eksotis, melainkan sebagai arsip pengetahuan lokal tentang ekologi, etika hidup, dan ingatan kolektif. 

Rinjani tidak dipandang sekadar gunung, melainkan entitas hidup yang memiliki jiwa dan kehendak. Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, dalam sambutannya saat menghadiri ritual Ngayu-ayu di Sembalun pada 17 Juli 2025, menegaskan bahwa menjaga alam adalah tanggung jawab bersama. 

Gubernur yang dikenal dengan tagline pembangunan NTB Makmur dan Mendunia ini menyebut pemimpin berkewajiban memelihara langit, udara, gunung, sungai, laut, dan hutan. Upacara adat seperti Ngayu-ayu menjadi bagian dari ikhtiar menjaga keseimbangan tersebut.

Nah, di situlah mitos menjadi relevan bagi isu-isu kontemporer tentang pelestarian budaya, krisis lingkungan, dan identitas komunitas. 

Mitos bukanlah sisa kepercayaan atau cerita masa lalu, melainkan pengetahuan hidup yang masih bekerja, itu pun selama manusia bersedia mendengar cara alam untuk menegur.

*) Penulis adalah Etnografer di kolektif Nusa Artivisme.


Pewarta : Harianto Bahagia *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025