Jakarta (ANTARA) - Jenazah Ketua Dewan Pertimbangan Presiden dan mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas yang meninggal dunia di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, pada pukul 07.30 waktu setempat akan dibawa ke Indonesia untuk dimakamkan di Tanah Air.
Direktur Warganegara Indonesia/Badan Hukum Indonesia, Departemen Luar Negeri, Teguh Wardoyo, mengatakan jenazah dipulangkan hari ini juga. Pihak KBRI Singapura sedang dalam proses pengurusan jenazah untuk dipulangkan ke Indonesia.
Saat ini jenazah masih berada di Rumah Sakit Mount Elizabeth dan ditunggui oleh Ibu Alatas dan anak-anaknya.
Menurut Teguh Wardoyo, sesampainya di Indonesia jenazah akan langsung disemayamkan di Gedung Pancasila, Deplu, Jalan Taman Pejambon, Jakarta.
"Tetapi ini masih tentatif, karena kami masih berkoordinasi dengan berbagai pihak," katanya.
Belum ada kepastian mengenai tempat pemakaman almarhum, apakah di Taman Makam Pahlawan Kalibata atau di lokasi permakaman keluarga.
Rencana pemulangan tokoh yang dijuluki "singa tua diplomat Indonesia" itu ke Indonesia saat ini masih dibicarakan dengan pihak kedutaan dan keluarga, termasuk dalam penentuan jadwal penerbangan dan maskapainya apa yang digunakan. Yang sudah pasti, pemulangan jenazah akan didampingi langsung oleh pejabat KBRI di Singapura.
"Kami masih melakukan komunikasi intensif dengan KBRI Singapura," kata Teguh Wardoyo.
Diplomat kawakan
Ali Alatas adalah salah satu diplomat handal dan kawakan Indonesia. Menjabat Menteri Luar Negeri (1987-1999) dalam empat kabinet dan pernah dinominasikan menjadi Sekjen PBB oleh sejumlah negara Asia pada 1996, merupakan bukti kehandalannya mewakili Indonesia di pelbagai meja perundingan dan jalur diplomatik.
Selama dua dasawarsa lebih, Alex (nama panggilannya) memperlihatkan kelas tersendiri sebagai diplomat. Bahkan pada usia senjanya, ia masih mengemban tugas sebagai Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri (2001-2004). Maka tak salah bila ia dijuluki singa tua diplomat Indonesia.
Menurut ensiklopedia tokoh Indonesia, kisah hidup Alatas adalah diplomasi. Padahal pada masa kecil ia bercita-cita menjadi pengacara.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1956, kelahiran Jakarta 4 November 1932 ini, meniti karier sebagai diplomat sejak berusia 22 tahun. Ia mengawali tugas diplomatnya sebagai Sekretaris Kedua di Kedutaan Besar RI Bangkok (1956-1960), sesaat setelah ia menikah.
Sebelumnya, ia sempat berkecimpung dalam dunia jurnalistik sebagai korektor Harian Niewsgierf (1952-1952) dan redaktur Kantor Berita Aneta (1953-1954).
Selepas bertugas di Kedubes RI Bangkok, ia kemudian menjabat Direktur Penerangan dan Hubungan Kebudayaan Departemen Luar Negeri (1965-1966). Lalu ditugaskan menjabat Konselor Kedutaan Besar RI di Washington (1966-1970). Kembali lagi ke tanah air, menjabat Direktur Penerangan Kebudayaan (1970-1972), Sekretaris Direktorat Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1972-1975) dan Staf Ali dan Kepala Sekretaris Pribadi Menteri Luar Negeri (1975-1976).
Kemudian, ia dipercaya mejalankan misi diplomat sebagai Wakil Tetap RI di PBB, Jenewa (1976-1978). Kembali lagi ke tanah air, menjabat Sekretaris Wakil Presiden (1978-1982). Lalu, kemampuan diplomasinya diuji lagi dengan mengemban tugas sebagai Wakil Tetap Indonesia di PBB, New York (1983-1987).
Selepas itu, ia pun dipercaya menjabat Menteri Luar Negeri (1987-1999) dalam empat kabinet masa pemeritahan Soeharto dan Habibie.
Saat menjabat Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ia harus menghadapi berbagai kritikan mengenai masalah Timor Timur. Ia dengan cekatan bisa melayaninya dengan diplomatis.
Apalagi saat pecah insiden Santa Cruz yang menewaskan puluhan orang pada 12 November 1991, ia cekatan untuk meredam kemarahan dunia. "Diplomasi itu seperti bermain kartu. Jangan tunjukkan semua kartu kepada orang lain. Dan jatuhkan kartu itu satu per satu," katanya.
Namun semua perjuangannya menjadi sia-sia, manakala Presiden BJ Habibie memberikan refrendum dengan opsi merdeka atau otonomi, tanpa berkonsultasi dengannya. Suatu opsi yang amat naif. Ia tidak setuju atas solusi jajak pendapat yang dicetuskan Habibie itu. Sebab sebagai seorang diplomat, ia tetap berkeyakinan pada solusi diplomasi betapapun sulitnya sebuah situasi.
Maka tak heran, matanya berkaca-kaca beberapa saat setelah referendum. Timtim lepas dari pangkuan ibu pertiwi dan yang lebih memilukan, Timor Loro Sae itu rusuh dan hangus dilalap api. Karena keputusan presiden yang sulit dimengertinya, ia harus rela mengakhiri karir diplomatnya dengan air mata.
Namun semua orang tahu, bahwa kekalahan di Timor Timur itu bukan kesalahannya. Tetapi kesalahan `bosnya' yang di luar batas kewenangannya. Presiden Habibie memang akhirnya menuai badai. Pertanggungjawabannya ditolak MPR , akibat "kecerobohan" itu.
Maka, nama besar Alex sebagai diplomat yang prestisius tetap terukir tinta emas dalam lembar-lembar perjalanan karirnya.
Sehingga, ketika Alwi Shihab diangkat menjabat Menlu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Alatas dipercaya sebagai penasehat. Kemudian, setelah Gus Dur jatuh dan digantikan Megawati Sukarnoputri, Alex diangkat menjabat Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri.
Sebagai penasehat presiden ia antara lain telah menjalankan misi diplomat ke berbagai negara, termasuk ke Swedia, mengenai Hasan Tiro.
Namun, aktivitasnya sebagai penasehat presiden tidak lagi sesibuk ketika ia menjabat Menlu. Sehingga, ia berkesempatan mengisi waktu dengan mewujudkan impiannya menjadi pengacara, sebagai salah satu penasihat hukum di Biro Pengacara Makarim & Taira`s.
Dan untuk mengisi waktu ia pun menikmati hidup dengan keluarga di rumah kediamannya di Kemang Timur, Jakarta Selatan. (*)
Direktur Warganegara Indonesia/Badan Hukum Indonesia, Departemen Luar Negeri, Teguh Wardoyo, mengatakan jenazah dipulangkan hari ini juga. Pihak KBRI Singapura sedang dalam proses pengurusan jenazah untuk dipulangkan ke Indonesia.
Saat ini jenazah masih berada di Rumah Sakit Mount Elizabeth dan ditunggui oleh Ibu Alatas dan anak-anaknya.
Menurut Teguh Wardoyo, sesampainya di Indonesia jenazah akan langsung disemayamkan di Gedung Pancasila, Deplu, Jalan Taman Pejambon, Jakarta.
"Tetapi ini masih tentatif, karena kami masih berkoordinasi dengan berbagai pihak," katanya.
Belum ada kepastian mengenai tempat pemakaman almarhum, apakah di Taman Makam Pahlawan Kalibata atau di lokasi permakaman keluarga.
Rencana pemulangan tokoh yang dijuluki "singa tua diplomat Indonesia" itu ke Indonesia saat ini masih dibicarakan dengan pihak kedutaan dan keluarga, termasuk dalam penentuan jadwal penerbangan dan maskapainya apa yang digunakan. Yang sudah pasti, pemulangan jenazah akan didampingi langsung oleh pejabat KBRI di Singapura.
"Kami masih melakukan komunikasi intensif dengan KBRI Singapura," kata Teguh Wardoyo.
Diplomat kawakan
Ali Alatas adalah salah satu diplomat handal dan kawakan Indonesia. Menjabat Menteri Luar Negeri (1987-1999) dalam empat kabinet dan pernah dinominasikan menjadi Sekjen PBB oleh sejumlah negara Asia pada 1996, merupakan bukti kehandalannya mewakili Indonesia di pelbagai meja perundingan dan jalur diplomatik.
Selama dua dasawarsa lebih, Alex (nama panggilannya) memperlihatkan kelas tersendiri sebagai diplomat. Bahkan pada usia senjanya, ia masih mengemban tugas sebagai Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri (2001-2004). Maka tak salah bila ia dijuluki singa tua diplomat Indonesia.
Menurut ensiklopedia tokoh Indonesia, kisah hidup Alatas adalah diplomasi. Padahal pada masa kecil ia bercita-cita menjadi pengacara.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1956, kelahiran Jakarta 4 November 1932 ini, meniti karier sebagai diplomat sejak berusia 22 tahun. Ia mengawali tugas diplomatnya sebagai Sekretaris Kedua di Kedutaan Besar RI Bangkok (1956-1960), sesaat setelah ia menikah.
Sebelumnya, ia sempat berkecimpung dalam dunia jurnalistik sebagai korektor Harian Niewsgierf (1952-1952) dan redaktur Kantor Berita Aneta (1953-1954).
Selepas bertugas di Kedubes RI Bangkok, ia kemudian menjabat Direktur Penerangan dan Hubungan Kebudayaan Departemen Luar Negeri (1965-1966). Lalu ditugaskan menjabat Konselor Kedutaan Besar RI di Washington (1966-1970). Kembali lagi ke tanah air, menjabat Direktur Penerangan Kebudayaan (1970-1972), Sekretaris Direktorat Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1972-1975) dan Staf Ali dan Kepala Sekretaris Pribadi Menteri Luar Negeri (1975-1976).
Kemudian, ia dipercaya mejalankan misi diplomat sebagai Wakil Tetap RI di PBB, Jenewa (1976-1978). Kembali lagi ke tanah air, menjabat Sekretaris Wakil Presiden (1978-1982). Lalu, kemampuan diplomasinya diuji lagi dengan mengemban tugas sebagai Wakil Tetap Indonesia di PBB, New York (1983-1987).
Selepas itu, ia pun dipercaya menjabat Menteri Luar Negeri (1987-1999) dalam empat kabinet masa pemeritahan Soeharto dan Habibie.
Saat menjabat Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ia harus menghadapi berbagai kritikan mengenai masalah Timor Timur. Ia dengan cekatan bisa melayaninya dengan diplomatis.
Apalagi saat pecah insiden Santa Cruz yang menewaskan puluhan orang pada 12 November 1991, ia cekatan untuk meredam kemarahan dunia. "Diplomasi itu seperti bermain kartu. Jangan tunjukkan semua kartu kepada orang lain. Dan jatuhkan kartu itu satu per satu," katanya.
Namun semua perjuangannya menjadi sia-sia, manakala Presiden BJ Habibie memberikan refrendum dengan opsi merdeka atau otonomi, tanpa berkonsultasi dengannya. Suatu opsi yang amat naif. Ia tidak setuju atas solusi jajak pendapat yang dicetuskan Habibie itu. Sebab sebagai seorang diplomat, ia tetap berkeyakinan pada solusi diplomasi betapapun sulitnya sebuah situasi.
Maka tak heran, matanya berkaca-kaca beberapa saat setelah referendum. Timtim lepas dari pangkuan ibu pertiwi dan yang lebih memilukan, Timor Loro Sae itu rusuh dan hangus dilalap api. Karena keputusan presiden yang sulit dimengertinya, ia harus rela mengakhiri karir diplomatnya dengan air mata.
Namun semua orang tahu, bahwa kekalahan di Timor Timur itu bukan kesalahannya. Tetapi kesalahan `bosnya' yang di luar batas kewenangannya. Presiden Habibie memang akhirnya menuai badai. Pertanggungjawabannya ditolak MPR , akibat "kecerobohan" itu.
Maka, nama besar Alex sebagai diplomat yang prestisius tetap terukir tinta emas dalam lembar-lembar perjalanan karirnya.
Sehingga, ketika Alwi Shihab diangkat menjabat Menlu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Alatas dipercaya sebagai penasehat. Kemudian, setelah Gus Dur jatuh dan digantikan Megawati Sukarnoputri, Alex diangkat menjabat Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri.
Sebagai penasehat presiden ia antara lain telah menjalankan misi diplomat ke berbagai negara, termasuk ke Swedia, mengenai Hasan Tiro.
Namun, aktivitasnya sebagai penasehat presiden tidak lagi sesibuk ketika ia menjabat Menlu. Sehingga, ia berkesempatan mengisi waktu dengan mewujudkan impiannya menjadi pengacara, sebagai salah satu penasihat hukum di Biro Pengacara Makarim & Taira`s.
Dan untuk mengisi waktu ia pun menikmati hidup dengan keluarga di rumah kediamannya di Kemang Timur, Jakarta Selatan. (*)