Mataram (ANTARA) - Komandan Satuan Polisi Pamong Praja (Dansatpol PP) Kota Mataram Bayu Pancapati menyarankan kepada pembina kecamatan dan kelurahan untuk menarik dana kompensasi yang telah diberikan kepada pedagang minuman keras tradisional karena pedagang tidak konsisten dengan kesepakatan awal.
"Bantuan stimulan yang diberikan kepada pedagang minuman keras tradisional atau tuak saat ini terkesan sia-sia, karena pedagang kembali berjualan tuak," katanya kepada sejumlah wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat.
Pada akhir tahun 2016, Pemerintah Kota Mataram memberikan dana kompensasi kepada sekitar 20 kelompok pedagang tuak, satu kelompok beranggotan sekitar 10-13 orang dengan total bantuan yang dialokasikan pemerintah kota sekitar Rp350 juta.
Kompensasi itu, kata dia, bertujuan agar pedagang memiliki modal untuk beralih pekerjaan dan meninggalkan pekerjaan sebagai pedagang tuak dan bisa berjualan sembako dan kopi.
Namun, kata Bayu, dari hasil evaluasi yang dilakukannya ternyata pedagang tuak masih menjamur dan melakukan aktivitasnya seperti biasa, bahkan usaha mereka semakin berkembang.
"Saat awal-awal, memang benar ada yang beralih berjualan lain, tetapi karena kurang pengawalan dari pembina setempat, akhirnya mereka kembali berjualan tuak," katanya.
Dengan kondisi ini, harus ada tindakan tegas dari aparat kecamatan dan kelurahan untuk menarik kembali dana stimulan yang telah diberikan pemerintah, jangan sampai niat baik pemerintah sebaliknya menjadi tidak tepat sasaran.
"Niat baik pemerintah ingin menghilangkan peredaran tuak, tetapi yang terjadi kesannya pemerintah kota memberikan bantuan pengembangan usaha tuak. Jadi pemerintah bisa berdosa ini," katanya.
Karena itulah, kata dia, sebagai sanksi bagi para pedagang tuak yang tidak konsisten terhadap perjanjian awal, dana batuan sebaiknya ditarik dan dikembalikan ke kas daerah serta digunakan untuk program yang lebih bermanfaat.
Lebih jauh Bayu mengatakan, dalam upaya pengawasan pedagang tuak di Mataram, pihaknya aktif melakukan patroli dan penyitaan bagi pedagang tuak yang berjualan secara demonstratif.
Upaya itu sekaligus sebagai salah satu implementasi dari Perda Kota Mataram Nomor 2 tahun 2015 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol, termasuk minuman keras tradisional.
"Belum lama ini, kami telah memusnahkan lebih dari 800 botol tuak dan 80 dus minuman keras modern tipe A dan B yang tidak berizin. Tetapi, pedagang tuak tidak pernah jera, karena untung mereka lebih besar dibandingkan dengan barang yang disita," katanya.
Bayu mengatakan melihat dampak yang ditimbulkan dari konsumsi minuman keras tersebut Pemerintah Kota Mataram telah menimbulkan banyak permasalahan di kalangan masyarakat.
"Kerap kali minuman keras ini menjadi pemicu konflik yang tidak jarang bahkan melebar menjadi konflik yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, apabila pemerintah kota ingin benar-benar mengatasi masalah tuak, maka harus ada program sinergitas dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang memproduksi tuak.
"Tuak yang dijual di Mataram datang dari Kabupaten Lombok Barat bahkan Lombok Tengah, karena itu untuk menuntaskan masalah ini harus ada kerja sama dan komitmen sama antar kabupaten/kota," katanya. ***2***
"Bantuan stimulan yang diberikan kepada pedagang minuman keras tradisional atau tuak saat ini terkesan sia-sia, karena pedagang kembali berjualan tuak," katanya kepada sejumlah wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat.
Pada akhir tahun 2016, Pemerintah Kota Mataram memberikan dana kompensasi kepada sekitar 20 kelompok pedagang tuak, satu kelompok beranggotan sekitar 10-13 orang dengan total bantuan yang dialokasikan pemerintah kota sekitar Rp350 juta.
Kompensasi itu, kata dia, bertujuan agar pedagang memiliki modal untuk beralih pekerjaan dan meninggalkan pekerjaan sebagai pedagang tuak dan bisa berjualan sembako dan kopi.
Namun, kata Bayu, dari hasil evaluasi yang dilakukannya ternyata pedagang tuak masih menjamur dan melakukan aktivitasnya seperti biasa, bahkan usaha mereka semakin berkembang.
"Saat awal-awal, memang benar ada yang beralih berjualan lain, tetapi karena kurang pengawalan dari pembina setempat, akhirnya mereka kembali berjualan tuak," katanya.
Dengan kondisi ini, harus ada tindakan tegas dari aparat kecamatan dan kelurahan untuk menarik kembali dana stimulan yang telah diberikan pemerintah, jangan sampai niat baik pemerintah sebaliknya menjadi tidak tepat sasaran.
"Niat baik pemerintah ingin menghilangkan peredaran tuak, tetapi yang terjadi kesannya pemerintah kota memberikan bantuan pengembangan usaha tuak. Jadi pemerintah bisa berdosa ini," katanya.
Karena itulah, kata dia, sebagai sanksi bagi para pedagang tuak yang tidak konsisten terhadap perjanjian awal, dana batuan sebaiknya ditarik dan dikembalikan ke kas daerah serta digunakan untuk program yang lebih bermanfaat.
Lebih jauh Bayu mengatakan, dalam upaya pengawasan pedagang tuak di Mataram, pihaknya aktif melakukan patroli dan penyitaan bagi pedagang tuak yang berjualan secara demonstratif.
Upaya itu sekaligus sebagai salah satu implementasi dari Perda Kota Mataram Nomor 2 tahun 2015 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol, termasuk minuman keras tradisional.
"Belum lama ini, kami telah memusnahkan lebih dari 800 botol tuak dan 80 dus minuman keras modern tipe A dan B yang tidak berizin. Tetapi, pedagang tuak tidak pernah jera, karena untung mereka lebih besar dibandingkan dengan barang yang disita," katanya.
Bayu mengatakan melihat dampak yang ditimbulkan dari konsumsi minuman keras tersebut Pemerintah Kota Mataram telah menimbulkan banyak permasalahan di kalangan masyarakat.
"Kerap kali minuman keras ini menjadi pemicu konflik yang tidak jarang bahkan melebar menjadi konflik yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, apabila pemerintah kota ingin benar-benar mengatasi masalah tuak, maka harus ada program sinergitas dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang memproduksi tuak.
"Tuak yang dijual di Mataram datang dari Kabupaten Lombok Barat bahkan Lombok Tengah, karena itu untuk menuntaskan masalah ini harus ada kerja sama dan komitmen sama antar kabupaten/kota," katanya. ***2***