Mataram, 11/11 (ANTARA) - Kepala Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) R. Joko Prayitno menilai museum negeri provinsi di seluruh Indonesia menjadi korban kebijakan otonomi daerah karena pemerintah daerah tidak begitu mementingkan keberadaan museum.

         "Boleh dikatakan museum dan sektor kebudayaan korban dari kebijakan sistem pemerintahan desentralisasi," katanya usai mengikuti pembukaan kegiatan pameran Pesona Akar Rinjani, di Museum Negeri Provinsi NTB, di Mataram, Rabu.

         Ia menilai sejak berlakunya sistem pemerintah desentralisasi, pemerintah daerah tidak begitu mementingkan keberadaan museum sebagai pusat pelestarian kebudayaan daerah. Hal itu dibuktikan dengan minimnya anggaran yang diberikan untuk pemeliharan gedung dan benda-benda bersejarah yang ada di museum.

         Mestinya, kata dia, di era reformasi ini yang diharapkan membawa perubahan ke arah yang lebih baik terutama perhatian pemerintah terhadap aset budaya yang ada di daerah. Tetapi pada nyatanya bertolak belakang dengan apa yang diharapkan.

         Joko membandingkan dengan pemerintahan sebelum bergulirnya reformasi. Pemerintahan sebelumnya lebih menghargai keberadaan museum di daerah yang dibuktikan dengan membeli lahan dan mendirikan bangunan museum serta memberikan porsi anggaran yang cukup terutama untuk pemeliharaan dan penambahan koleksi benda bersejarah.

         "Seandaiya pemerintahan hari ini adalah 30 tahun yang lalu mungkin kita tidak akan pernah memiliki yang namanya museum negeri provinsi, karena memelihara saja tidak mampu," katanya.

         Ia mengatakan ketidakberpihakan pemerintah khususnya pemerintah daerah terjadi pada seluruh museum negeri provinsi di Indonesia dan salah satunya di NTB.

         Porsi anggaran yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB pada tahun anggaran 2009 hanya sebesar 900 juta, sementara anggaran ideal yang dibutuhkan untuk pemeliharaan dan penambahan koleksi mencapai sekitar tiga miliar rupiah.

         Padahal, kata  dia, keberadaan museum sangat vital, selain sebagai tempat arsip benda-benda bersejarah NTB, juga sebagai investasi untuk membentuk sumber daya manusia di masa yang akan datang karena sebagian besar pengunjung yang memanfaatkan keberadaan museum adalah dari kalangan pelajar dan mahasiswa yang ingin melakukan penelitian.

         "Kalau dihitung secara ekonomi bisa dibilang pemborosan, tetapi kalau kita bicara untuk ilmu pengetahuan ini merupakan sesuatu yang luar biasa bagi perkembangan kecerdasan manusia," ujarnya.

         Keberatan terhadap pengambilalihan museum oleh pemerintah daerah juga pernah dikemukakan Joko Prayitno yang mewakili seluruh kepala museum se-Indonesia pada seminar tentang "Masa Depan Museum di Era Otonomi Daerah" yang digelar di Cipayung Bogor beberapa tahun lalu.

         Ia menjelaskan posisi meseum negeri provinsi terancam tidak diperhatikan jika pemerintah pusat tetap memaksakan pengelolaan museum diberikan kepada pemerintah daerah. Argumen itu mendapat dukungan dari sebagian besar peserta seminar, kecuali sejarawan nasional Anhar Gonggong.

         "Terbukti sekarang kalau seluruh museum negeri provinsi di Indonesia kurang diperhatikan pemerintah daerah, termasuk juga meseum negeri Provinsi Bali yang dulunya surplus anggaran," katanya. (*)

 

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2025