Jakarta (ANTARA) - Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Abdillah Ahsan mengatakan bahwa peningkatan jumlah perokok membatasi upaya peningkatan gizi pada anak.
"70 persen laki-laki usia kerja yang berusia 25 hingga 45 tahun itu merokok," kata Abdillah dalam paparannya tentang cukai rokok di Kementerian Kesehatan RI di Jakarta, Selasa.
Data tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa uang yang dihasilkan oleh para perokok yang sudah berkeluarga dan berusia antara 25 hingga 45 tahun digunakan untuk membeli rokok.
Walaupun tidak dikelompokkan berdasarkan kelas ekonomi, para perokok tersebut, katanya, menggunakan uang hasil kerja mereka untuk membeli rokok sehingga dana untuk membeli makanan bergizi seperti telor dan susu untuk anak-anak menjadi setidaknya berkurang.
Hal tersebut tentu saja mengurangi upaya peningkatan gizi pada anak, tambahnya.
Selain menunjukkan persentase perokok pada usia kerja, Abdillah juga menyebutkan bahwa prevalensi perokok pada usia 10-18 tahun meningkat dari tujuh persen pada 2013 menjadi sembilan persen pada 2019.
Sementara itu, ia juga menunjukkan bahwa prevalensi perokok perempuan mencatatkan peningkatan paling tinggi, dari dua persen menjadi empat persen.
Hal tersebut, kata dia, tentu menjadi kekhawatiran banyak pihak. Karena itu, dia mengapresiasi upaya pemerintah untuk menaikkan cukai hasil tembakau sebesar 23 persen dan harga jual eceran rokok sebesar 35 persen pada 2020.
Kenaikan tersebut diharapkan dapat menurunkan konsumsi rokok.
Jadi kami mengapresiasi langkah ini. Bahwa 35 persen kenaikan harga jual itu merupakan kenaikan signifikan," tuturnya.
"70 persen laki-laki usia kerja yang berusia 25 hingga 45 tahun itu merokok," kata Abdillah dalam paparannya tentang cukai rokok di Kementerian Kesehatan RI di Jakarta, Selasa.
Data tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa uang yang dihasilkan oleh para perokok yang sudah berkeluarga dan berusia antara 25 hingga 45 tahun digunakan untuk membeli rokok.
Walaupun tidak dikelompokkan berdasarkan kelas ekonomi, para perokok tersebut, katanya, menggunakan uang hasil kerja mereka untuk membeli rokok sehingga dana untuk membeli makanan bergizi seperti telor dan susu untuk anak-anak menjadi setidaknya berkurang.
Hal tersebut tentu saja mengurangi upaya peningkatan gizi pada anak, tambahnya.
Selain menunjukkan persentase perokok pada usia kerja, Abdillah juga menyebutkan bahwa prevalensi perokok pada usia 10-18 tahun meningkat dari tujuh persen pada 2013 menjadi sembilan persen pada 2019.
Sementara itu, ia juga menunjukkan bahwa prevalensi perokok perempuan mencatatkan peningkatan paling tinggi, dari dua persen menjadi empat persen.
Hal tersebut, kata dia, tentu menjadi kekhawatiran banyak pihak. Karena itu, dia mengapresiasi upaya pemerintah untuk menaikkan cukai hasil tembakau sebesar 23 persen dan harga jual eceran rokok sebesar 35 persen pada 2020.
Kenaikan tersebut diharapkan dapat menurunkan konsumsi rokok.
Jadi kami mengapresiasi langkah ini. Bahwa 35 persen kenaikan harga jual itu merupakan kenaikan signifikan," tuturnya.