Makassar (ANTARA) - Sebanyak 61 dari ratusan pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, kata Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana.

"Ada sekitar 61 yang mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, karena itu kita mendorong agar pemerintah merevisi KUHP yang ada selama ini," katanya pada workshop tentang Kode Etik Jurnalistik di Makassar (17/2).

Menurut dia, produk hukum Belanda tersebut, khususnya pasal 134 -136, dinilai dapat mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Apalagi, di KUHP itu terdapat pasal tentang ancaman penghinaan terhadap agama, lagu kebangsaan, dan penguasa.

Selain itu, Undang-Undang ITE yang belum ada penjabaran dengan peraturan di tingkat bawahnya juga memasukkan masalah pencemaran nama baik, padahal keberadaan produk hukum itu diperuntukkan transaksi barang elektronik.

"Namun, semua itu diarahkan untuk menjerat media `online` dan isi multi media sebagai upaya pemerintah dalam menyensor atau menekan," katanya.

Mengenai isi multi media itu, ia mengatakan penilaian isi multi media seharusnya diberikan kepada publik dan pemerintah tidak perlu mengontrol lansung.

Kejanggalan lainnya dari UU ITE itu, karena Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) yang lebih mendominasi keberadaan produk hukum itu.

Padahal, terkait transaksi elektronik sebenarnya merupakan tugas dan wewenang Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag).

Berkaitan dengan itu, Hendrayana mengatakan pihaknya bersama Dewan Pers turut mendorong revisi KUHP agar 61 pasal yang dapat mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi tidak ada lagi.

"Bukan berarti ingin mengarahkan agar pelaku pers kebal hukum, namun hal itu justru untuk menegakkan pilar demokrasi, yakni pers sebagai kekuatan keempat," ujarnya.

Ia mengatakan keberadaan Undang-Undang Pers dinilai sudah dapat mewakili jika terjadi sengketa pers.

Hal tersebut dibenarkan mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadjah pada kesempatan yang sama.

Di negara maju, tidak ada lagi ketentuan hukum pidana yang dapat menjerat pers, namun sudah diubah ketentuannya menjadi hukum perdata dengan memberikan sanksi ganti rugi yang proporsional kepada penanggung jawab media atau pihak yang bersalah.

"Dalam enam tahun terakhir, sedikitnya sudah ada 36 negara yang sudah menghapuskan sanksi hukum pidana kepada pers, di antaranya Amerika, Australia, Jepang dan sejumlah negara di Afrika, Eropa, Timur Tengah dan Asia," katanya. (*)


Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024