Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat, siap "pasang badan" untuk membantu pemerintah dalam upaya menyelamatkan salah satu aset wisata yang seharusnya bisa menghasilkan keuntungan hingga triliunan rupiah.
Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejati NTB Tende di Mataram, Jumat, menjelaskan, jaksa sebagai aparat penegak hukum (APH) tentunya akan bersikap demikian bila mana perusahaan pengelola merasa keberatan dan mengajukan gugatan perihal izin kontrak lahannya dicabut secara sepihak.
"Jadi kalau mereka (perusahaan pengelola lahan wisata) menggugat, kita (Kejati NTB) siap menghadapinya. Kita siap dampingi pemerintah, karena ini tujuannya untuk mencapai pembangunan daerah yang lebih baik," kata Tende.
Aset yang mampu memproduksi uang triliunan itu merupakan sebidang lahan di salah satu kawasan destinasi wisata andalan NTB, yakni Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.
Dengan luas 65 hektare, lahan yang seharusnya menjadi salah satu sumber pendapatan besar untuk NTB tersebut dikelola oleh PT Gili Trawangan Indah (GTI) dengan masa kontrak selama 70 tahun.
Angka triliunan itu pun muncul dari hasil peninjauan dan penilaian ulang perihal objek pajak tanah yang dikeluarkan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2018. Aset yang dikelola PT GTI tersebut ditaksirkan seharga Rp2,3 triliun.
Namun demikian, dari hasil kajian Bidang Datun Kejati NTB perihal objek lahan dibawah kelola PT GTI, banyak ditemukan persoalan yang merugikan pemerintah. Seluruh hasil kajiannya terinidikasi mengarah pada perbuatan melawan hukum.
"Jadi dalam persoalan ini memang harus ada ketegasan pemerintah karena ada beberapa hal yang dilanggar di sini," ujar dia.
Lebih lanjut, hasil kajian yang lahir dari pandangan hukum Bidang Datun Kejati NTB perihal objek lahan dibawah kelola PT GTI, telah disampaikan ke pihak pemerintah.
"Diminta atau pun tidak diminta, kami punya kuasa untuk memberikan pandangan hukum," ucapnya.
Hasil Kajian
Adapun hasil kajian yang tercatat Bidang Datun Kejati NTB, mendasar pada perjanjian kerja sama antara PT GTI dengan Pemprov NTB yang kabarnya sudah berjalan 23 tahun lamanya.
Hal pertama yang menjadi kajian hukumnya dilihat dari luas lahan kelola yang tidak signifikan dengan royalti yang dibayarkan PT GTI pertahunnya, yakni sebesar Rp22.250.000.
"Tidak logis dan tidak wajar dengan luasan segitu (65 hektare), masak pendapatannya hanya sekadar Rp22,5 juta pertahun," ucap Tende.
Belum lagi dilihat dari tumbuhnya ladang bisnis secara masif. Dari atas lahan tersebut, mereka bisa dipastikan tidak ada kaitannya dengan perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT GTI yang berperan sebagai pemegang tunggal sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) lahan seluas 65 hektare.
Dari kajiannya, keuntungan bisnis yang tumbuh liar di atas lahan PT GTI tersebut pertahunnya ditaksir mencapai angka Rp24 miliar. Dengan angka sekian, Tende sangat menyayangkan lahan tersebut tidak di monopoli oleh pemerintah.
"Nilai itu (Rp24 miliar) kan seharusnya bisa jadi APBD," kata dia.
Kemudian, Tende mengulas lebih dalam lagi perihal materi perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT GTI yang katanya akan habis pada tahun 2065 dengan masa kontrak selama 70 tahun.
Dalam aturan kerja sama yang melahirkan sebuah sertifikat HGB, jelasnya, tidak ada masa kontrak yang berlaku selama 70 tahun. Melainkan dalam aturannya itu berlaku untuk kali pertama 30 tahun dan bila pertumbuhan usahanya menguntungkan, HGB dapat diperpanjang sampai 20 tahun.
"Tidak ada kontrak sampai 70 tahun, jelas dalam aturan HGB (Hak Guna Bangunan) itu maksimalnya 30 tahun, itu pun setiap lima tahun harus evaluasi," ujarnya.
Kemudian dalam perjanjian kontrak kerja samanya, PT GTI tidak menepati janjinya untuk membayar royalti yang seharusnya setiap 10 tahun ada kenaikan sebesar 10 persen.
"Itu tidak dipenuhi, berarti di sini PT GTI sudah lalai," kata Tende.
Bahkan warga yang sebelumnya bermukim dalam kawasan PT GTI dengan pegangan hukum berupa surat Hak Pengelolaan Atas Tanah-nya (HPL), digusur secara paksa. Hal itu dilakukan setelah PT GTI mengantongi sertifikat HGB.
"Penggusuran dan pengosongan terhadap masyarakat pemilik HPL itu ada sekitar 720 KK," ujarnya.
Karenanya, berangkat dari hasil kajian ini, kejaksaan menyarankan pemerintah mengambil tindakan tegas dengan memutus kontrak PT GTI dan memberikan kesempatan kepada pihak swasta lainnya untuk mengelola lahan tersebut menjadi lebih produktif.
"Jadi karena tidak ada asas manfaat lagi, hasilnya masuk ke keuangan daerah sedikit sekali, kemudian PT GTI telah lalai dengan perjanjian kontraknya, jadi sesuai dengan hukum perdatanya, pemutusan kontrak secara sepihak oleh pemprov itu boleh saja," tegas Tende.
Namun demikian, Tende mengatakan bahwa pihaknya sebagai aparat penegak hukum hanya bisa sebatas memberikan pandangan hukum saja. Selebihnya, keputusan ada di tangan pimpinan daerah, yakni Gubernur NTB Dr Zulkieflimansyah.
"Soal dipakai atau tidak (pandangan hukumnya), itu jadi urusan gubernur, yang cabut gubernur, yang laksanakan pastinya gubernur, tentu harus ada pertimbangan yang matang, dan kita hanya sebatas memberikan pandangan hukum saja," ujar dia.
Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejati NTB Tende di Mataram, Jumat, menjelaskan, jaksa sebagai aparat penegak hukum (APH) tentunya akan bersikap demikian bila mana perusahaan pengelola merasa keberatan dan mengajukan gugatan perihal izin kontrak lahannya dicabut secara sepihak.
"Jadi kalau mereka (perusahaan pengelola lahan wisata) menggugat, kita (Kejati NTB) siap menghadapinya. Kita siap dampingi pemerintah, karena ini tujuannya untuk mencapai pembangunan daerah yang lebih baik," kata Tende.
Aset yang mampu memproduksi uang triliunan itu merupakan sebidang lahan di salah satu kawasan destinasi wisata andalan NTB, yakni Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.
Dengan luas 65 hektare, lahan yang seharusnya menjadi salah satu sumber pendapatan besar untuk NTB tersebut dikelola oleh PT Gili Trawangan Indah (GTI) dengan masa kontrak selama 70 tahun.
Angka triliunan itu pun muncul dari hasil peninjauan dan penilaian ulang perihal objek pajak tanah yang dikeluarkan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2018. Aset yang dikelola PT GTI tersebut ditaksirkan seharga Rp2,3 triliun.
Namun demikian, dari hasil kajian Bidang Datun Kejati NTB perihal objek lahan dibawah kelola PT GTI, banyak ditemukan persoalan yang merugikan pemerintah. Seluruh hasil kajiannya terinidikasi mengarah pada perbuatan melawan hukum.
"Jadi dalam persoalan ini memang harus ada ketegasan pemerintah karena ada beberapa hal yang dilanggar di sini," ujar dia.
Lebih lanjut, hasil kajian yang lahir dari pandangan hukum Bidang Datun Kejati NTB perihal objek lahan dibawah kelola PT GTI, telah disampaikan ke pihak pemerintah.
"Diminta atau pun tidak diminta, kami punya kuasa untuk memberikan pandangan hukum," ucapnya.
Hasil Kajian
Adapun hasil kajian yang tercatat Bidang Datun Kejati NTB, mendasar pada perjanjian kerja sama antara PT GTI dengan Pemprov NTB yang kabarnya sudah berjalan 23 tahun lamanya.
Hal pertama yang menjadi kajian hukumnya dilihat dari luas lahan kelola yang tidak signifikan dengan royalti yang dibayarkan PT GTI pertahunnya, yakni sebesar Rp22.250.000.
"Tidak logis dan tidak wajar dengan luasan segitu (65 hektare), masak pendapatannya hanya sekadar Rp22,5 juta pertahun," ucap Tende.
Belum lagi dilihat dari tumbuhnya ladang bisnis secara masif. Dari atas lahan tersebut, mereka bisa dipastikan tidak ada kaitannya dengan perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT GTI yang berperan sebagai pemegang tunggal sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) lahan seluas 65 hektare.
Dari kajiannya, keuntungan bisnis yang tumbuh liar di atas lahan PT GTI tersebut pertahunnya ditaksir mencapai angka Rp24 miliar. Dengan angka sekian, Tende sangat menyayangkan lahan tersebut tidak di monopoli oleh pemerintah.
"Nilai itu (Rp24 miliar) kan seharusnya bisa jadi APBD," kata dia.
Kemudian, Tende mengulas lebih dalam lagi perihal materi perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT GTI yang katanya akan habis pada tahun 2065 dengan masa kontrak selama 70 tahun.
Dalam aturan kerja sama yang melahirkan sebuah sertifikat HGB, jelasnya, tidak ada masa kontrak yang berlaku selama 70 tahun. Melainkan dalam aturannya itu berlaku untuk kali pertama 30 tahun dan bila pertumbuhan usahanya menguntungkan, HGB dapat diperpanjang sampai 20 tahun.
"Tidak ada kontrak sampai 70 tahun, jelas dalam aturan HGB (Hak Guna Bangunan) itu maksimalnya 30 tahun, itu pun setiap lima tahun harus evaluasi," ujarnya.
Kemudian dalam perjanjian kontrak kerja samanya, PT GTI tidak menepati janjinya untuk membayar royalti yang seharusnya setiap 10 tahun ada kenaikan sebesar 10 persen.
"Itu tidak dipenuhi, berarti di sini PT GTI sudah lalai," kata Tende.
Bahkan warga yang sebelumnya bermukim dalam kawasan PT GTI dengan pegangan hukum berupa surat Hak Pengelolaan Atas Tanah-nya (HPL), digusur secara paksa. Hal itu dilakukan setelah PT GTI mengantongi sertifikat HGB.
"Penggusuran dan pengosongan terhadap masyarakat pemilik HPL itu ada sekitar 720 KK," ujarnya.
Karenanya, berangkat dari hasil kajian ini, kejaksaan menyarankan pemerintah mengambil tindakan tegas dengan memutus kontrak PT GTI dan memberikan kesempatan kepada pihak swasta lainnya untuk mengelola lahan tersebut menjadi lebih produktif.
"Jadi karena tidak ada asas manfaat lagi, hasilnya masuk ke keuangan daerah sedikit sekali, kemudian PT GTI telah lalai dengan perjanjian kontraknya, jadi sesuai dengan hukum perdatanya, pemutusan kontrak secara sepihak oleh pemprov itu boleh saja," tegas Tende.
Namun demikian, Tende mengatakan bahwa pihaknya sebagai aparat penegak hukum hanya bisa sebatas memberikan pandangan hukum saja. Selebihnya, keputusan ada di tangan pimpinan daerah, yakni Gubernur NTB Dr Zulkieflimansyah.
"Soal dipakai atau tidak (pandangan hukumnya), itu jadi urusan gubernur, yang cabut gubernur, yang laksanakan pastinya gubernur, tentu harus ada pertimbangan yang matang, dan kita hanya sebatas memberikan pandangan hukum saja," ujar dia.