Mataram (ANTARA) - Bentuk perjanjian kontrak kerja antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI) perihal pengelolaan lahan wisata di kawasan Gili Trawangan, dinilai cacat hukum.
Penilaian terhadap perjanjian kontrak kerja itu muncul dari pandangan Johan Rahmatulloh, salah seorang aktivis sosial dari Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB.
"Jadi kalau saya lihat berita-berita di media online dan surat kabar, perjanjiannya ini sudah cacat hukum, izin itu sudah layak dicabut, karena langsung diberikan masa waktu perjanjian HGB selama 70 tahun. Seharusnya kan bertermin, 30 tahun pertama kemudian perpanjang 20 tahun," kata Johan di Mataram, Jumat.
Johan menyampaikan hal tersebut berdasarkan kajian ilmiahnya yang mengacu pada ketentuan Pasal 25 Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Pakai (HGP).
Dengan dasar aturan demikian, jelasnya, jika masa perpanjangan 20 tahun sudah selesai, maka dapat kembali dibangun perjanjian baru, baik antara pihak Pemprov NTB sebagai pemilik lahan dengan pihak investor.
"Jadi kontraknya bisa diperbaharui lagi. Tapi itu pun ada syarat-syaratnya," ujar dia.
Karena itu, Johan menyarankan agar Pemprov NTB segera mengambil langkah cepat, tepat, dan akurat. Tanpa harus melakukan pengkajian ulang terkait isi kontrak kerjanya yang sudah jelas dipandang cacat hukum.
"Tidak perlu pemprov untuk mikir-mikir terlalu panjang negosiasi. Itu sudah jelas secara hukum. Justru bila dibiarkan lama, publik akan bertanya, kenapa kasus ini kok jadi panjang," ucap pria yang telah mengantongi gelar Magister Hukum di Universitas Brawijaya, Malang.
Persoalan aset di kawasan wisata andalan NTB ini kali pertamanya muncul dari hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kontrak kerja antara Pemprov NTB dengan PT GTI.
Berangkat dari temuan tersebut, KPK mendorong Pemprov NTB untuk segera menertibkan aset wisata yang ditaksirkan bisa mendongkrak nilai pendapatan daerah hingga memperoleh angka triliunan rupiah.
Hal itu pun sesuai hasil peninjauan dan penilaian ulang Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2018, yang menaksirkan nilai aset yang tumbuh di kawasan wisata andalan NTB itu mencapai Rp2,3 triliun.
Tidak hanya KPK, Bidang Datun Kejati NTB juga ikut angkat bicara perihal objek lahan PT GTI. Menurut hasil kajian Kejati NTB, banyak ditemukan masalah yang imbasnya akan merugikan daerah. Bahkan dari seluruh kajiannya, muncul indikasi yang mengarah pada perbuatan melawan hukum.
Persoalan pertama yang menjadi kajian hukum Kejati NTB perihal luas lahan kelola yang tidak signifikan dengan royalti pertahun PT GTI, yakni sebesar Rp22.250.000.
Kemudian melihat tumbuhnya ladang bisnis secara masif yang kemudian berkembang cukup pesat di kawasan wisata. Pihak kejaksaan bisa memastikan, seluruh kegiatan usaha yang berada di atas lahan PT GTI itu tidak ada satu pun berstatus legal.
Bahkan terhitung perputaran uang bisnis pertahun di atas lahan HGB milik PT GTI dengan luasan 65 hektare itu ditaksir menyentuh angka Rp24 miliar.
Jaksa juga mengendus PT GTI yang melakukan wanprestasi atau tidak pernah menepati janjinya untuk menyetorkan royalti ke pemerintah. Seharusnya, PT GTI setiap dasawarsa menyetorkan royalti dengan kenaikan harga porsentase sebesar 10 persen.
Bahkan belum lama ini muncul kabar terbaru dari hasil penelusuran Tim Komisi I DPRD NTB yang menemukan fakta bahwa dalam kawasan kelola PT GTI, ada banyak tempat usaha perorangan yang lahannya telah berpetak-petak secara masif.
Jika kemudian pemerintah masih acuh dan tutup mata dengan peluang pendapatan bernilai triliunan ini, DPRD NTB akan mengambil tindakan tegas dengan memanfaatkan hak konstitusional sebagai anggota DPR.
Bentuk dukungan penyelamatan aset daerah ini juga banyak berdatangan dari luar NTB, tidak hanya secara personal, salah satu diantaranya juga hadir dari Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman.
Dalam pernyataannya, Boyamin kepada Antara menegaskan, MAKI Akan selalu siap mengawal kasus ini hingga tuntas serta mendukung aparat penegak hukum membongkar kedok mafia yang bersembunyi dibalik persoalan aset bernilai triliunan tersebut.
Penilaian terhadap perjanjian kontrak kerja itu muncul dari pandangan Johan Rahmatulloh, salah seorang aktivis sosial dari Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB.
"Jadi kalau saya lihat berita-berita di media online dan surat kabar, perjanjiannya ini sudah cacat hukum, izin itu sudah layak dicabut, karena langsung diberikan masa waktu perjanjian HGB selama 70 tahun. Seharusnya kan bertermin, 30 tahun pertama kemudian perpanjang 20 tahun," kata Johan di Mataram, Jumat.
Johan menyampaikan hal tersebut berdasarkan kajian ilmiahnya yang mengacu pada ketentuan Pasal 25 Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Pakai (HGP).
Dengan dasar aturan demikian, jelasnya, jika masa perpanjangan 20 tahun sudah selesai, maka dapat kembali dibangun perjanjian baru, baik antara pihak Pemprov NTB sebagai pemilik lahan dengan pihak investor.
"Jadi kontraknya bisa diperbaharui lagi. Tapi itu pun ada syarat-syaratnya," ujar dia.
Karena itu, Johan menyarankan agar Pemprov NTB segera mengambil langkah cepat, tepat, dan akurat. Tanpa harus melakukan pengkajian ulang terkait isi kontrak kerjanya yang sudah jelas dipandang cacat hukum.
"Tidak perlu pemprov untuk mikir-mikir terlalu panjang negosiasi. Itu sudah jelas secara hukum. Justru bila dibiarkan lama, publik akan bertanya, kenapa kasus ini kok jadi panjang," ucap pria yang telah mengantongi gelar Magister Hukum di Universitas Brawijaya, Malang.
Persoalan aset di kawasan wisata andalan NTB ini kali pertamanya muncul dari hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kontrak kerja antara Pemprov NTB dengan PT GTI.
Berangkat dari temuan tersebut, KPK mendorong Pemprov NTB untuk segera menertibkan aset wisata yang ditaksirkan bisa mendongkrak nilai pendapatan daerah hingga memperoleh angka triliunan rupiah.
Hal itu pun sesuai hasil peninjauan dan penilaian ulang Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2018, yang menaksirkan nilai aset yang tumbuh di kawasan wisata andalan NTB itu mencapai Rp2,3 triliun.
Tidak hanya KPK, Bidang Datun Kejati NTB juga ikut angkat bicara perihal objek lahan PT GTI. Menurut hasil kajian Kejati NTB, banyak ditemukan masalah yang imbasnya akan merugikan daerah. Bahkan dari seluruh kajiannya, muncul indikasi yang mengarah pada perbuatan melawan hukum.
Persoalan pertama yang menjadi kajian hukum Kejati NTB perihal luas lahan kelola yang tidak signifikan dengan royalti pertahun PT GTI, yakni sebesar Rp22.250.000.
Kemudian melihat tumbuhnya ladang bisnis secara masif yang kemudian berkembang cukup pesat di kawasan wisata. Pihak kejaksaan bisa memastikan, seluruh kegiatan usaha yang berada di atas lahan PT GTI itu tidak ada satu pun berstatus legal.
Bahkan terhitung perputaran uang bisnis pertahun di atas lahan HGB milik PT GTI dengan luasan 65 hektare itu ditaksir menyentuh angka Rp24 miliar.
Jaksa juga mengendus PT GTI yang melakukan wanprestasi atau tidak pernah menepati janjinya untuk menyetorkan royalti ke pemerintah. Seharusnya, PT GTI setiap dasawarsa menyetorkan royalti dengan kenaikan harga porsentase sebesar 10 persen.
Bahkan belum lama ini muncul kabar terbaru dari hasil penelusuran Tim Komisi I DPRD NTB yang menemukan fakta bahwa dalam kawasan kelola PT GTI, ada banyak tempat usaha perorangan yang lahannya telah berpetak-petak secara masif.
Jika kemudian pemerintah masih acuh dan tutup mata dengan peluang pendapatan bernilai triliunan ini, DPRD NTB akan mengambil tindakan tegas dengan memanfaatkan hak konstitusional sebagai anggota DPR.
Bentuk dukungan penyelamatan aset daerah ini juga banyak berdatangan dari luar NTB, tidak hanya secara personal, salah satu diantaranya juga hadir dari Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman.
Dalam pernyataannya, Boyamin kepada Antara menegaskan, MAKI Akan selalu siap mengawal kasus ini hingga tuntas serta mendukung aparat penegak hukum membongkar kedok mafia yang bersembunyi dibalik persoalan aset bernilai triliunan tersebut.