Kadis DPMPTSP Buleleng tarik puluhan juta per izin

id Kejati Bali ,Pemerasan investor ,Kajati Bali Ketut Sumedana ,Rumah subsidi Buleleng ,Kriminal Bali

Kadis DPMPTSP Buleleng tarik puluhan juta per izin

Penyidik menggiring Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Buleleng I Made Kuta yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan investor terkait pembangunan rumah subsidi di Buleleng, Bali. ANTARA/Rolandus Nampu

Denpasar (ANTARA) - Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Ketut Sumedana menyebutkan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Buleleng I Made Kuta diduga menarik uang puluhan juta per izin pembangunan rumah subsidi kepada investor.

Sumedana di Denpasar, Senin, mengatakan I Made Kuta yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka diduga meminta uang kepada developer yang mengajukan izin pembangunan rumah subsidi yakni setiap unit rumah dikenakan biaya tambahan sebesar Rp10-20 juta oleh tersangka. Jika dihitung dari total 419 rumah yang telah dibangun, nilai pemerasan ini mencapai miliaran rupiah.

“Developer mengajukan izin, satu izin bisa sampai 419 rumah. Setiap rumah dimintai Rp10-20 juta. Ini jelas merugikan masyarakat, karena dana subsidi yang seharusnya untuk mereka malah diambil untuk kepentingan pribadi,” ungkap Ketut Sumedana.

Dia menjelaskan harga rumah subsidi yang seharusnya sekitar Rp200 juta telah disubsidi menjadi Rp140 juta oleh pemerintah, dengan 50 persen dananya diberikan melalui bank, namun uang yang diperas dari developer akhirnya mengurangi subsidi yang seharusnya diterima masyarakat berpenghasilan rendah

Selain kasus pemerasan izin, Kajati Bali juga mengungkap adanya penyimpangan dalam distribusi rumah subsidi. Sejumlah rumah yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (di bawah Rp7 juta per bulan), justru dibeli oleh orang yang tidak memenuhi syarat.

“Hasil penyelidikan di lapangan menemukan ada satu orang bisa memiliki hingga tiga rumah. Bahkan ada yang membeli rumah subsidi tetapi bukan warga yang berdomisili di sana, padahal rumah subsidi ini seharusnya diberikan kepada masyarakat yang memang membutuhkan,” katanya.

Mantan Kapuspenkum Kejagung RI tersebut mengatakan penyidik juga menemukan bahwa hampir 300 KTP milik masyarakat berpenghasilan rendah disewa oleh developer untuk mengurus administrasi rumah subsidi, namun rumah-rumah tersebut justru ditempati oleh pihak yang tidak berhak.

Baca juga: PN beberkan alasan vonis bebas terdakwa penyelamat Landak Jawa

“Kalau mereka bisa membeli lebih dari satu rumah dan bahkan memperbaiki rumahnya menjadi lebih bagus, berarti mereka bukan golongan masyarakat tidak mampu. Itu artinya mereka tidak pantas mendapatkan subsidi,” katanya.

Baca juga: Kajati Bali beberkan kerusakan lingkungan

Terhadap temuan ini, penyidik Pidana Khusus Kejati Bali telah mengambil langkah tegas dengan melakukan penyitaan terhadap rumah-rumah yang belum ditempati. Namun, bagi rumah yang sudah ditempati oleh masyarakat, pihaknya masih mempertimbangkan kebijakan lebih lanjut dengan tetap mengedepankan aspek kemanusiaan.

Kasus pemerasan ini, kata Sumedana, telah berlangsung cukup lama, sejak pembangunan rumah subsidi dimulai pada 2019. Pekerjaan sempat terhenti karena pandemi COVID-19, lalu dilanjutkan kembali pada 2022-2023. Sejak saat itu, pemerasan dilakukan terhadap lebih dari satu developer.


notification icon
Dapatkan Berita Terkini khusus untuk anda dengan mengaktifkan notifikasi Antaranews.com