Mataram (ANTARA) - Pegiat sosial dari Solidaritas Masyarakat Untuk Transparansi (Somasi) Nusa Tenggara Barat, mendeskripsikan ikhtiar aparat penegak hukum (APH) dalam memberantas tindak pidana korupsi (tipikor) di wilayahnya ibarat "macan ompong".
Koordinator Bidang Hukum Tipikor Somasi NTB, Johan Rahmatulloh di Mataram, Selasa, mengungkapkan, deskripsi tersebut muncul dari hasil analisa data penyelesaian kasus korupsi oleh APH di NTB dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
"Sejak 2016 sampai dengan 2019, mulai dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), sampai pada putusan Hakim didominasi oleh tuntutan dan vonis rendah, yakni dua tahun ke bawah. Jadi bisa diibaratkan APH dalam memberantas korupsi di NTB seperti 'macan ompong'," kata Johan.
Kemudian jika data hukuman koruptor di bawah dua tahun tersebut dibariskan dan dikalkulasikan ke dalam angka persentase. Hasilnya cukup luar biasa, dengan capaian 90 persen dari rata-rata 40 perkara per tahun yang masuk ke meja hijau.
"Tentu saja fakta tersebut menjadi sebuah anomali di tengah komitmen semua pimpinan eksekutif maupun yudikatif, baik di pusat maupun di daerah dalam memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana korupsi," ujar dia.
Bahkan dampaknya bisa dikatakan jauh di luar ekspektasi yang menurut kesimpulan Somasi NTB, tidak juga memberikan "multiplier effect" kepada setiap orang untuk jangan melakukan tindakan yang beraroma korupsi.
"Jadi proses penegakan hukum di dalam peradilan yang sudah menjadi kewenangan JPU dan Hakim, seharusnya bisa mengejawantahkan semangat dan komitmen pemberantasan korupsi itu ke dalam tuntutan dan putusannya," tegas pegiat sosial lulusan Magister Hukum Universitas Brawijaya tersebut.
Karenanya muncul kesan bahwa JPU dan Hakim di NTB sudah terperangkap dengan batasan ancaman hukuman terendah dari penerapan pasal yang ada pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Coba kita lihat dari JPU dan Hakim, 90 persen menuntut dan menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi dengan pasal 3. Primernya tentu pasal 2, selalu menjadi yang utama digunakan, namun hanya saja, pasal 2 jarang sekali bisa dibuktikan dalam persidangan," katanya.
Seperti diketahui bahwa ancaman terendah dari kedua pasal tersebut jauh berbeda, dimana untuk pasal 2 ancaman empat tahun dan pada pasal 3 satu tahun.
Kemudian dengan penerapan pasal 3, untuk JPU harus lebih mendalami kembali peran keterlibatan pelaku, sehingga bisa lebih berani menuntut pelaku dengan ancaman hukuman paling berat.
Sama halnya dengan Hakim, kelompok pegiat sosial yang mengawasi dan memantau kinerja APH dalam penanganan kasus korupsi ini juga berharap agar lebih cermat dalam memberikan pertimbangan putusannya. Bila perlu, hukuman yang diberikan jauh lebih berat dibandingkan tuntutan JPU.
Dengan harapan tersebut, Johan yang berbicara dengan membawa bendera Somasi NTB berharap agar ke depannya JPU dan Hakim bisa bersikap lebih progresif dalam menuntut dan memberikan putusan kepada "tikus-tikus berdasi" tersebut.
Dia turut menegaskan bahwa hasil analisa dan semua harapan ini disampaikan untuk memperkuat langkah penegak hukum di NTB dalam menjaga komitmennya memberantas korupsi yang dapat berdampak baik bagi pembangunan daerah.
"Jika kita sepakat bahwa korupsi masuk juga dalam 'extraordinary crime', maka penegakan hukum harus menjadi leading sektor. Karenanya, sebagai garda terdepan, institusi penegak hukum lah yang harus memulai cara-caranya dengan niat yang luar biasa," ujar dia.
"Artinya, jika korupsi ini sistematis dan masif, maka tuntutan dan putusannya juga harus selaras dengan tuntutan dan vonis yang tinggi. Apalagi jika ada tuntutan dan putusan yang sampai pada mencabut hak-hak politik pelaku, sungguh merupakan penegak hukum yang memiliki jiwa semangat anti korupsi yang ingin membebaskan bangsa dan negara ini dari orang-orang yang berniat ingin menghancurkannya melalui praktik-praktik korupsi," ucapnya menambahkan.
Koordinator Bidang Hukum Tipikor Somasi NTB, Johan Rahmatulloh di Mataram, Selasa, mengungkapkan, deskripsi tersebut muncul dari hasil analisa data penyelesaian kasus korupsi oleh APH di NTB dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
"Sejak 2016 sampai dengan 2019, mulai dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), sampai pada putusan Hakim didominasi oleh tuntutan dan vonis rendah, yakni dua tahun ke bawah. Jadi bisa diibaratkan APH dalam memberantas korupsi di NTB seperti 'macan ompong'," kata Johan.
Kemudian jika data hukuman koruptor di bawah dua tahun tersebut dibariskan dan dikalkulasikan ke dalam angka persentase. Hasilnya cukup luar biasa, dengan capaian 90 persen dari rata-rata 40 perkara per tahun yang masuk ke meja hijau.
"Tentu saja fakta tersebut menjadi sebuah anomali di tengah komitmen semua pimpinan eksekutif maupun yudikatif, baik di pusat maupun di daerah dalam memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana korupsi," ujar dia.
Bahkan dampaknya bisa dikatakan jauh di luar ekspektasi yang menurut kesimpulan Somasi NTB, tidak juga memberikan "multiplier effect" kepada setiap orang untuk jangan melakukan tindakan yang beraroma korupsi.
"Jadi proses penegakan hukum di dalam peradilan yang sudah menjadi kewenangan JPU dan Hakim, seharusnya bisa mengejawantahkan semangat dan komitmen pemberantasan korupsi itu ke dalam tuntutan dan putusannya," tegas pegiat sosial lulusan Magister Hukum Universitas Brawijaya tersebut.
Karenanya muncul kesan bahwa JPU dan Hakim di NTB sudah terperangkap dengan batasan ancaman hukuman terendah dari penerapan pasal yang ada pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Coba kita lihat dari JPU dan Hakim, 90 persen menuntut dan menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi dengan pasal 3. Primernya tentu pasal 2, selalu menjadi yang utama digunakan, namun hanya saja, pasal 2 jarang sekali bisa dibuktikan dalam persidangan," katanya.
Seperti diketahui bahwa ancaman terendah dari kedua pasal tersebut jauh berbeda, dimana untuk pasal 2 ancaman empat tahun dan pada pasal 3 satu tahun.
Kemudian dengan penerapan pasal 3, untuk JPU harus lebih mendalami kembali peran keterlibatan pelaku, sehingga bisa lebih berani menuntut pelaku dengan ancaman hukuman paling berat.
Sama halnya dengan Hakim, kelompok pegiat sosial yang mengawasi dan memantau kinerja APH dalam penanganan kasus korupsi ini juga berharap agar lebih cermat dalam memberikan pertimbangan putusannya. Bila perlu, hukuman yang diberikan jauh lebih berat dibandingkan tuntutan JPU.
Dengan harapan tersebut, Johan yang berbicara dengan membawa bendera Somasi NTB berharap agar ke depannya JPU dan Hakim bisa bersikap lebih progresif dalam menuntut dan memberikan putusan kepada "tikus-tikus berdasi" tersebut.
Dia turut menegaskan bahwa hasil analisa dan semua harapan ini disampaikan untuk memperkuat langkah penegak hukum di NTB dalam menjaga komitmennya memberantas korupsi yang dapat berdampak baik bagi pembangunan daerah.
"Jika kita sepakat bahwa korupsi masuk juga dalam 'extraordinary crime', maka penegakan hukum harus menjadi leading sektor. Karenanya, sebagai garda terdepan, institusi penegak hukum lah yang harus memulai cara-caranya dengan niat yang luar biasa," ujar dia.
"Artinya, jika korupsi ini sistematis dan masif, maka tuntutan dan putusannya juga harus selaras dengan tuntutan dan vonis yang tinggi. Apalagi jika ada tuntutan dan putusan yang sampai pada mencabut hak-hak politik pelaku, sungguh merupakan penegak hukum yang memiliki jiwa semangat anti korupsi yang ingin membebaskan bangsa dan negara ini dari orang-orang yang berniat ingin menghancurkannya melalui praktik-praktik korupsi," ucapnya menambahkan.