Mataran (ANTARA) - Tersangka yang diduga minta jatah dari proyek Rumah Susun (Rusun) Satuan Non Vertikal Tertentu (SNVT) Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR NTB, Bulera, dilimpahkan ke penuntut umum Kejari Mataram.
Kasat Reskrim Polresta Mataram AKP Joko Tamtomo di Mataram, Kamis, mengatakan, tersangka dilimpahkan bersama barang bukti setelah berkasnya dinyatakan lengkap oleh jaksa peneliti.
"Kita limpahkan karena berkasnya sudah P21 (berkas dinyatakan lengkap)," kata Joko.
Kegiatan pelimpahan tersangka dan barang bukti ke penuntut umum atau dengan kata lain tahap dua ini dilaksanakan pada Kamis (23/1) pagi. Penyerahan langsung dilakukan dari tangan penyidik kepada penuntut umum di Kantor Kejari Mataram.
Terkait dengan pelimpahannya, Kasi Pidsus Kejari Mataram Wayan Suryawan membenarkan bahwa penuntut umum telah menerima tersangka dan barang bukti dari penyidik kepolisian pada Kamis (23/1) pagi.
"Iya pagi tadi kita terima pelimpahan tersangka dan barang bukti. Jadi sekarang sudah menjadi kewenangan penuntut umum. Penahanannya kita lanjutkan di Lapas Mataram untuk 20 hari ke depan," kata Wayan Suryawan.
Dalam kasus yang terungkap dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) oleh Tim Satreskrim Polres Mataram ini, tersangka Bulera diduga meminta jatah Rp100 juta dari direktur pelaksana proyek Rusun Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Al-Kahfi, di Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa.
Kepada direktur CV Jangka Utama, tersangka Bulera diduga membuat alasan untuk biaya administrasi yang kisaran uangnya 5-10 persen dari nominal proyek.
Karenanya sebagai tersangka, Bulera dijerat dengan Pasal 12 Huruf e Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Untuk tujuh proyek pembangunan rusun dan rusus yang berjalan di tahun 2019 ini, NTB mendapat kucuran anggaran sebesar Rp20,5 miliar. Penandatanganan kontrak kerja dengan tujuh rekanan pemenang tender telah dilaksanakan pada 18 Juli 2019.
Tujuh proyek tersebut antara lain, Rusun Ponpes Ulil Albab di Desa Perian, Montong Gading, Lombok Timur dengan nilai Rp3,48 miliar, dikerjakan CV Cinta Bahagia.
Kemudian Rusun Ponpes Al-Madina di Kelurahan Kenanga, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, yang dikerjakan PT. Performa Trans Utama dengan nilai kontrak Rp2,351 miliar. CV Sagita mengerjakan Rusus di Desa Kukin, Kecamatan Moyo Utara, Kabupaten Sumbawa, dengan kontrak Rp4,55 miliar.
Selanjutnya paket proyek Rusus di Kelurahan Jatiwangi, Kecamatan Asakota, Kota Bima, yang dikerjakan CV Rangga Makazza dengan nilai kontrak Rp5,49 miliar.
Ada lagi proyek yang dikerjakan CV Kurnia Karya dengan nilai kontrak Rp4,617 miliar, untuk pengerjaan Rusus di Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Timur. Proyek Rusus di Desa Poto Tano, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat senilai Rp2,97 miliar, yang dikerjakan CV Sumber Resky Abadi.
Selanjutnya dugaan permintaan setoran Rp100 juta dari proyek yang menyeret Bulera sebagai tersangka itu berkaitan dengan proyek Rusun Ponpes Modern Al-Kahfi Desa Pernek, Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, yang dikerjakan CV Jangka Utama dengan kontrak Rp3,49 miliar.
Kasat Reskrim Polresta Mataram AKP Joko Tamtomo di Mataram, Kamis, mengatakan, tersangka dilimpahkan bersama barang bukti setelah berkasnya dinyatakan lengkap oleh jaksa peneliti.
"Kita limpahkan karena berkasnya sudah P21 (berkas dinyatakan lengkap)," kata Joko.
Kegiatan pelimpahan tersangka dan barang bukti ke penuntut umum atau dengan kata lain tahap dua ini dilaksanakan pada Kamis (23/1) pagi. Penyerahan langsung dilakukan dari tangan penyidik kepada penuntut umum di Kantor Kejari Mataram.
Terkait dengan pelimpahannya, Kasi Pidsus Kejari Mataram Wayan Suryawan membenarkan bahwa penuntut umum telah menerima tersangka dan barang bukti dari penyidik kepolisian pada Kamis (23/1) pagi.
"Iya pagi tadi kita terima pelimpahan tersangka dan barang bukti. Jadi sekarang sudah menjadi kewenangan penuntut umum. Penahanannya kita lanjutkan di Lapas Mataram untuk 20 hari ke depan," kata Wayan Suryawan.
Dalam kasus yang terungkap dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) oleh Tim Satreskrim Polres Mataram ini, tersangka Bulera diduga meminta jatah Rp100 juta dari direktur pelaksana proyek Rusun Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Al-Kahfi, di Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa.
Kepada direktur CV Jangka Utama, tersangka Bulera diduga membuat alasan untuk biaya administrasi yang kisaran uangnya 5-10 persen dari nominal proyek.
Karenanya sebagai tersangka, Bulera dijerat dengan Pasal 12 Huruf e Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Untuk tujuh proyek pembangunan rusun dan rusus yang berjalan di tahun 2019 ini, NTB mendapat kucuran anggaran sebesar Rp20,5 miliar. Penandatanganan kontrak kerja dengan tujuh rekanan pemenang tender telah dilaksanakan pada 18 Juli 2019.
Tujuh proyek tersebut antara lain, Rusun Ponpes Ulil Albab di Desa Perian, Montong Gading, Lombok Timur dengan nilai Rp3,48 miliar, dikerjakan CV Cinta Bahagia.
Kemudian Rusun Ponpes Al-Madina di Kelurahan Kenanga, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, yang dikerjakan PT. Performa Trans Utama dengan nilai kontrak Rp2,351 miliar. CV Sagita mengerjakan Rusus di Desa Kukin, Kecamatan Moyo Utara, Kabupaten Sumbawa, dengan kontrak Rp4,55 miliar.
Selanjutnya paket proyek Rusus di Kelurahan Jatiwangi, Kecamatan Asakota, Kota Bima, yang dikerjakan CV Rangga Makazza dengan nilai kontrak Rp5,49 miliar.
Ada lagi proyek yang dikerjakan CV Kurnia Karya dengan nilai kontrak Rp4,617 miliar, untuk pengerjaan Rusus di Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Timur. Proyek Rusus di Desa Poto Tano, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat senilai Rp2,97 miliar, yang dikerjakan CV Sumber Resky Abadi.
Selanjutnya dugaan permintaan setoran Rp100 juta dari proyek yang menyeret Bulera sebagai tersangka itu berkaitan dengan proyek Rusun Ponpes Modern Al-Kahfi Desa Pernek, Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, yang dikerjakan CV Jangka Utama dengan kontrak Rp3,49 miliar.