Jakarta (ANTARA) - Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Rumadi Ahmad mendorong kajian mendalam sebelum menetapkan fatwa haram rokok elektrik/vape.
''Kami menghormati keputusan yang sudah dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah. Hanya saja, kami menilai perlu adanya kajian termasuk kajian ilmiah terlebih dahulu sehingga tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan mengenai vape,'' kata Rumadi dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram rokok elektrik.
Ia mengatakan Lakpesdam PBNU pada tahun 2018 lalu telah melakukan kajian ''Fikih Tembakau: Kebijakan Produk Tembakau Alternatif di Indonesia''.
Rumadi menjelaskan kehadiran produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, merupakan buah inovasi teknologi yang telah diaplikasikan oleh sejumlah negara maju, seperti Inggris, Jepang dan Selandia baru, guna mengurangi jumlah perokok di negara tersebut.
''Apa yang sudah dilakukan Inggris, Selandia Baru dan beberapa negara lain semestinya dapat menjadi contoh bagi Indonesia yang jumlah perokoknya mencapai lebih dari 60 juta jiwa. Negara-negara tersebut melakukan kajian, terutama kajian ilmiah guna mengurangi angka perokoknya,'' kata dia.
Selain itu, lanjut dia, Inggris dan Selandia Baru memperkuat penggunaan produk tembakau alternatif dengan regulasi. Oleh karena itu, Indonesia juga membutuhkan regulasi khusus.
Regulasi tersebut, kata dia, harus berlandaskan kajian dengan melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga hasil yang dikeluarkan objektif dalam mempertimbangkan segala maslahat dan mudarat bagi masyarakat.
Dengan begitu, regulasi yang dihasilkan memberikan manfaat. ''Selain itu, regulasi dan perkembangan inovasi tembakau ini harus memiliki keberpihakan kepada para petani tembakau lokal sehingga tidak mengandalkan tembakau impor,'' katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj mengatakan organisasinya tidak ingin terburu-buru untuk mengeluarkan fatwa terhadap rokok elektrik.
''Kami menunggu musyawarah ulama dulu, kami tidak berani. Tidak sembarangan menjatuhkan hukuman halal, haram, wajib, sunah. Itu tidak sembarangan. Harus melalui musyawarah,'' kata dia.
''Kami menghormati keputusan yang sudah dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah. Hanya saja, kami menilai perlu adanya kajian termasuk kajian ilmiah terlebih dahulu sehingga tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan mengenai vape,'' kata Rumadi dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram rokok elektrik.
Ia mengatakan Lakpesdam PBNU pada tahun 2018 lalu telah melakukan kajian ''Fikih Tembakau: Kebijakan Produk Tembakau Alternatif di Indonesia''.
Rumadi menjelaskan kehadiran produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, merupakan buah inovasi teknologi yang telah diaplikasikan oleh sejumlah negara maju, seperti Inggris, Jepang dan Selandia baru, guna mengurangi jumlah perokok di negara tersebut.
''Apa yang sudah dilakukan Inggris, Selandia Baru dan beberapa negara lain semestinya dapat menjadi contoh bagi Indonesia yang jumlah perokoknya mencapai lebih dari 60 juta jiwa. Negara-negara tersebut melakukan kajian, terutama kajian ilmiah guna mengurangi angka perokoknya,'' kata dia.
Selain itu, lanjut dia, Inggris dan Selandia Baru memperkuat penggunaan produk tembakau alternatif dengan regulasi. Oleh karena itu, Indonesia juga membutuhkan regulasi khusus.
Regulasi tersebut, kata dia, harus berlandaskan kajian dengan melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga hasil yang dikeluarkan objektif dalam mempertimbangkan segala maslahat dan mudarat bagi masyarakat.
Dengan begitu, regulasi yang dihasilkan memberikan manfaat. ''Selain itu, regulasi dan perkembangan inovasi tembakau ini harus memiliki keberpihakan kepada para petani tembakau lokal sehingga tidak mengandalkan tembakau impor,'' katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj mengatakan organisasinya tidak ingin terburu-buru untuk mengeluarkan fatwa terhadap rokok elektrik.
''Kami menunggu musyawarah ulama dulu, kami tidak berani. Tidak sembarangan menjatuhkan hukuman halal, haram, wajib, sunah. Itu tidak sembarangan. Harus melalui musyawarah,'' kata dia.