Yogyakarta (ANTARA)- Departemen Luar Negeri (Deplu) akan membuat "database" kebudayaan untuk melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) atas sumber genetik, pengetahuan tradisi dan "folklore" Indonesia.
"Database kebudayaan ini akan memudahkan Deplu mengawasi negara lain yang mencoba mendaftarkan kekayaan genetik, tradisi dan `folklore` milik Indonesia," kata Direktur Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Deplu, Damos Dumoli Agusman, di Yogyakarta, Kamis.
Di sela Forum Diskusi Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas "Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (GRTKF), ia mengatakan kekayaan seni dan budaya Indonesia akan dimasukkan dalam database tersebut.
"Jika kekayaan seni dan budaya sudah terhimpun dalam database, diharapkan tidak ada lagi yang berteriak kebudayaan Indonesia dicuri oleh negara lain," katanya.
Selain tu, kata Damos, Deplu juga akan lebih mudah "memelototi" negara lain yang akan mendaftarkan GRTKF yang sudah masuk pada database kebudayaan.
"Database kebudayaan juga akan digunakan sebagai acuan oleh para diplomat Indonesia untuk mencermati kantor pendaftaran HKI di setiap negara," katanya.
Menurut Damos, langkah ini harus dilakukan karena setiap tahun produk kekayaan intelektual yang didaftarkan mencapai ribuan item.
Ia mengakui bahwa pencurian terhadap GRTKF negara berkembang termasuk Indonesia masih terus terjadi, seperti lagu Rasa Sayange yang diklaim Malaysia.
"Selain itu batik atau karya lain yang bersifat tradisional serta `folklore` dan motif perak Bali yang didaftarkan oleh orang lain di luar negeri," katanya.
Puncaknya, kata Damos, adanya kasus produk Indonesia yang ditolak di luar negeri karena dianggap melanggar hak cipta.
Negara-negara maju selalu mengedepankan perlindungan GRTKF melalui rezim HKI konvensional seperti hak cipta, paten dan merek yang tidak mampu menampung hak kepemilikan komunal.
"Kondisi ini diperparah dengan pemaksaan penegakan rezim HKI pada negara berkembang," ujarnya.(*)