Dinkes NTB sebut konsumsi pil tambah darah cegah stunting

id stunting,pil tambah darah,penyakit tangkes,dinkes ntb,nusa tenggara barat

Dinkes NTB sebut konsumsi pil tambah darah cegah stunting

Ilustrasi - Seorang bidan puskesmas sedang melakukan pemeriksaan pada calon pengantin untuk mencegah kasus stunting. ANTARA/HO-Humas Kabupaten Batang/am

Mataram (ANTARA) - Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menyatakan pil penambah darah yang diberikan kepada remaja putri merupakan bagian dari upaya untuk mencegah stunting atau tengkes pada anak-anak.

Kepala Dinas Kesehatan NTB Lalu Hamzi Fikri mengungkapkan pihaknya telah bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB serta Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) NTB untuk menyediakan tablet tambah darah di berbagai sekolah dan asrama.

"Mereka akan menjadi calon ibu, kalau anemia karena kekurangan sel darah merah bisa berisiko stunting bagi anak-anak mereka nanti," ujarnya di Mataram, Selasa.

Baca juga: HNSI minta ada ikan sebagai protein pada program makan bergizi

Hamzi menuturkan persediaan tablet tambah darah untuk didistribusikan masih cukup. Namun, kendala yang dihadapi pihaknya adalah pelaporan konsumsi rutin yang masih rendah.

Selain pembagian tablet tambah darah, pendekatan intervensi spesifik diupayakan mulai dari skrining anemia hingga pemeriksaan kehamilan (ANC). Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mempercepat penurunan stunting yang mencapai 12,15 persen di NTB berdasarkan survei Elektrik Pemantauan Gizi Masyarakat.

Baca juga: Tracking govt interventions for stunting-free Indonesia

"Stunting kita sebanyak 50.996 anak atau 12,15 persen, jadi ini yang harus kita turunkan jika mengacu pada by name by address (nama dan alamat)," kata Hamzi.

Lebih lanjut, Hamzi mengatakan telah berdiskusi dengan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Mataram untuk menguraikan masalah stunting. Menurut dia, stunting merupakan masalah hilir, sedangkan masalah hulu penyebab stunting berupa pola makan yang tidak sehat hingga pernikahan usia dini.

"Kita perlu intervensi spesifik secara serentak, namun intervensi sensitif juga tidak kalah penting," kata Hamzi.