Peneliti Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Padjadjaran dr Gaga Irawan Nugraha dalam penelitiannya mengungkap bahwa lingkar pinggang pada tubuh dapat menjadi tanda utama sebagai faktor atas risiko penyakit jantung.
"Faktor utama yang dikaitkan dengan sindrom metabolik adalah lingkar pinggang, tekanan darah, kadar gula darah, rendahnya HDL atau kolesterol baik, dan tingginya kadar trigliserida atau LDL. Nah, kalau ada dua dari lima faktor yang disebutkan, maka tertegak dia mengalami kelainan metabolik atau sindroma metabolik. Jadi dari dua saja sudah cukup," ujar Gaga dalam keterangan di Bandung, Senin.
Dalam penelitian bertajuk "Hubungan Komponen Sindrom Metabolik dengan Indeks Massa Tubuh" itu, dia membahas mengenai sindrom metabolik, yakni sebuah kondisi kumpulan gejala kesehatan yang menjadi indikator peningkatan risiko penyakit jantung, stroke, hingga diabetes.
Dalam podcast Hasil Riset dan Diseminasi (HaRD Talk) Universitas Padjadjaran, Gaga mengungkap bahwa faktor-faktor sindrom metabolik itu, terutama lingkar pinggang berlebih dapat ditemukan pada orang-orang yang tampak sehat atau bahkan tidak mengalami obesitas.
Temuan tersebut, sekaligus meyakinkan bahwa orang dengan berat badan normal juga tetap memiliki risiko sindrom metabolik. Di mana lingkar pinggang yang masuk dalam kategori berlebih adalah yang mencapai 80 cm bagi perempuan, dan 90 cm bagi laki-laki.
Berdasarkan temuan dari penelitiannya, Gaga menyebut sekitar 20 persen orang yang mengalami sindrom metabolik tidak mengalami obesitas sama sekali. Kondisi tersebut disebabkan oleh munculnya beberapa gejala utama seperti tekanan darah maupun gula darah yang tinggi.
Menurut Gaga, para ahli dari berbagai organisasi internasional sebenarnya memiliki kriteria yang berbeda mengenai faktor sindrom metabolik. Namun, perbedaan kriteria tersebut tetap mengacu pada satu faktor utama, yaitu lingkar pinggang berlebih.
"Jadi risikonya -penyakit jantung- memang para ahli itu membuat kriteria yang berbeda-beda. Tetapi, hampir sama isinya, pokoknya ada lingkar pinggangnya," ujar Gaga.
Lebih lanjut, Gaga mengaku bahwa obesitas tetap menjadi masalah yang cukup serius bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir angka massa tubuh atau berat badan masyarakat Indonesia meningkat hingga tiga kali lipat.
Peningkatan tersebut, mencatatkan jumlah orang dewasa di Indonesia yang mengalami obesitas mencapai 35 persen. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa satu dari tiga orang dewasa di Indonesia kini mengalami obesitas.
Dengan demikian, stroke dan jantung koroner adalah penyakit yang harus mendapat perhatian lebih saat ini, pasalnya dua penyakit tersebut adalah penyebab kematian utama di Indonesia.
Stroke maupun jantung koroner, saat ini menempati peringkat pertama dan kedua sebagai penyebab kematian paling banyak di Indonesia. Kekhawatiran juga muncul karena penyakit tersebut mulai sering terlihat pada orang-orang dengan rentang usia 40 hingga 50 tahun.
Gaga menjelaskan, sebenarnya hanya sekitar 13 persen orang yang memiliki penyakit sindrom metabolik tanpa obesitas. Namun, kategori tersebut justru memiliki tingkat mortalitas atau kematian yang paling tinggi.
"Jadi orang yang kurus dan punya kelainan metabolik, itu lebih berisiko mengalami penyakit kronis dan menyebabkan kematian dibanding orang yang obesitas," ujarnya.
Gaga juga menganjurkan masyarakat agar bisa melakukan deteksi mandiri terkait gejala yang meningkatkan risiko penyakit jantung, mulai dari mengecek lingkar pinggang di rumah, rajin memantau berat badan, hingga rutin melakukan tes tekanan darah.
Puasa Intermitten
Dalam penelitian bertajuk "Hubungan Komponen Sindrom Metabolik dengan Indeks Massa Tubuh" itu, dia membahas mengenai sindrom metabolik, yakni sebuah kondisi kumpulan gejala kesehatan yang menjadi indikator peningkatan risiko penyakit jantung, stroke, hingga diabetes.
Dalam podcast Hasil Riset dan Diseminasi (HaRD Talk) Universitas Padjadjaran, Gaga mengungkap bahwa faktor-faktor sindrom metabolik itu, terutama lingkar pinggang berlebih dapat ditemukan pada orang-orang yang tampak sehat atau bahkan tidak mengalami obesitas.
Temuan tersebut, sekaligus meyakinkan bahwa orang dengan berat badan normal juga tetap memiliki risiko sindrom metabolik. Di mana lingkar pinggang yang masuk dalam kategori berlebih adalah yang mencapai 80 cm bagi perempuan, dan 90 cm bagi laki-laki.
Berdasarkan temuan dari penelitiannya, Gaga menyebut sekitar 20 persen orang yang mengalami sindrom metabolik tidak mengalami obesitas sama sekali. Kondisi tersebut disebabkan oleh munculnya beberapa gejala utama seperti tekanan darah maupun gula darah yang tinggi.
Menurut Gaga, para ahli dari berbagai organisasi internasional sebenarnya memiliki kriteria yang berbeda mengenai faktor sindrom metabolik. Namun, perbedaan kriteria tersebut tetap mengacu pada satu faktor utama, yaitu lingkar pinggang berlebih.
"Jadi risikonya -penyakit jantung- memang para ahli itu membuat kriteria yang berbeda-beda. Tetapi, hampir sama isinya, pokoknya ada lingkar pinggangnya," ujar Gaga.
Lebih lanjut, Gaga mengaku bahwa obesitas tetap menjadi masalah yang cukup serius bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir angka massa tubuh atau berat badan masyarakat Indonesia meningkat hingga tiga kali lipat.
Peningkatan tersebut, mencatatkan jumlah orang dewasa di Indonesia yang mengalami obesitas mencapai 35 persen. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa satu dari tiga orang dewasa di Indonesia kini mengalami obesitas.
Dengan demikian, stroke dan jantung koroner adalah penyakit yang harus mendapat perhatian lebih saat ini, pasalnya dua penyakit tersebut adalah penyebab kematian utama di Indonesia.
Stroke maupun jantung koroner, saat ini menempati peringkat pertama dan kedua sebagai penyebab kematian paling banyak di Indonesia. Kekhawatiran juga muncul karena penyakit tersebut mulai sering terlihat pada orang-orang dengan rentang usia 40 hingga 50 tahun.
Gaga menjelaskan, sebenarnya hanya sekitar 13 persen orang yang memiliki penyakit sindrom metabolik tanpa obesitas. Namun, kategori tersebut justru memiliki tingkat mortalitas atau kematian yang paling tinggi.
"Jadi orang yang kurus dan punya kelainan metabolik, itu lebih berisiko mengalami penyakit kronis dan menyebabkan kematian dibanding orang yang obesitas," ujarnya.
Gaga juga menganjurkan masyarakat agar bisa melakukan deteksi mandiri terkait gejala yang meningkatkan risiko penyakit jantung, mulai dari mengecek lingkar pinggang di rumah, rajin memantau berat badan, hingga rutin melakukan tes tekanan darah.
Puasa Intermitten
Salah satu tren yang tengah populer untuk mencegah obesitas dan memperbaiki gaya hidup, adalah dengan melakukan puasa intermitten yang ditujukan untuk membatasi waktu makan agar tidak terus-terusan mengkonsumsi makanan.
Namun, Gaga memperingatkan agar masyarakat berhati-hati dan tidak sembarangan menerapkan konsep puasa intermitten untuk menjaga pola makan.
Gaga menyebut intermitten fasting pasti mengubah pola dan kebiasaan makan seseorang secara drastis dan dapat menyebabkan tingginya asam lambung.
Namun, dia menegaskan yang penting dari pola makan bukan hanya pada kebiasaan waktu makan, melainkan juga komposisi makanan yang dikonsumsi haruslah bergizi lengkap.
"Saya sih tidak menyarankan intermitten fasting ya. Lebih baik perbaiki, makan yang teratur dengan komposisi yang balance," ujar Gaga.
Mengenai faktor pemicu risiko penyakit jantung, kata dia, ada beberapa kekeliruan utama di masyarakat yang berkaitan dengan gaya hidup tidak sehat. Yang pertama, orang-orang yang tidak makan pagi lebih besar berpotensi terkena obesitas maupun diabetes.
Pasalnya, sarapan pagi menjadi salah satu waktu paling penting untuk mengisi tubuh dengan makanan. Menurut Gaga, ketika seseorang tidak sarapan pagi, maka otak akan tetap memberikan sensor lapar dan menyebabkan makan tidak teratur pada siang, sore, dan malam harinya.
Tidak teraturnya pola makan, menyebabkan otak mengirim sinyal lapar dan kenyang yang tidak teratur, sehingga akan terus-terusan merasa lapar.
"Nah inilah yang seringkali disebut bahwa orang tuh lapar terus-terusan. Karena pola makan yang tidak teratur, sehingga sinyal lapar nya tidak jelas," ucap Gaga.
Baca juga: Belanja asuransi kesehatan mesti seimbang antara FKTP dan RS
Selain itu, konsumsi makanan yang tinggi karbohidrat sederhana seperti gula dan tepung juga harus dikurangi apabila seseorang ingin memperbaiki pola makan dan mencegah diri dari obesitas.
Guna menjaga tubuh dari gejala sindrom metabolik, Gaga mengatakan olahraga rutin dan teratur menjadi kiat untuk menjaga tubuh, dengan durasi sedikitnya 150 menit olahraga ringan-sedang dan 75 menit olahraga berat dalam satu minggu, cukup untuk menjaga kondisi badan tetap ideal.
Baca juga: Anggota DPRD Yogyakarta meninggal di Bandara Ngurah Rai sebab sakit jantung
Pasalnya, Gaga menjelaskan, ketika olahraga maka tubuh akan menggunakan lemak yang tertimbun di dalam tubuh sebagai sumber energi. Gula-gula yang menumpuk di dalam tubuh juga bisa digunakan oleh otot ketika berolahraga.
"Jaga pola makan dan komposisi makanan yang baik untuk menerapkan gaya hidup sehat agar terbebas dari sindrom metabolik yang menyebabkan risiko penyakit jantung mematikan," tuturnya.
Namun, Gaga memperingatkan agar masyarakat berhati-hati dan tidak sembarangan menerapkan konsep puasa intermitten untuk menjaga pola makan.
Gaga menyebut intermitten fasting pasti mengubah pola dan kebiasaan makan seseorang secara drastis dan dapat menyebabkan tingginya asam lambung.
Namun, dia menegaskan yang penting dari pola makan bukan hanya pada kebiasaan waktu makan, melainkan juga komposisi makanan yang dikonsumsi haruslah bergizi lengkap.
"Saya sih tidak menyarankan intermitten fasting ya. Lebih baik perbaiki, makan yang teratur dengan komposisi yang balance," ujar Gaga.
Mengenai faktor pemicu risiko penyakit jantung, kata dia, ada beberapa kekeliruan utama di masyarakat yang berkaitan dengan gaya hidup tidak sehat. Yang pertama, orang-orang yang tidak makan pagi lebih besar berpotensi terkena obesitas maupun diabetes.
Pasalnya, sarapan pagi menjadi salah satu waktu paling penting untuk mengisi tubuh dengan makanan. Menurut Gaga, ketika seseorang tidak sarapan pagi, maka otak akan tetap memberikan sensor lapar dan menyebabkan makan tidak teratur pada siang, sore, dan malam harinya.
Tidak teraturnya pola makan, menyebabkan otak mengirim sinyal lapar dan kenyang yang tidak teratur, sehingga akan terus-terusan merasa lapar.
"Nah inilah yang seringkali disebut bahwa orang tuh lapar terus-terusan. Karena pola makan yang tidak teratur, sehingga sinyal lapar nya tidak jelas," ucap Gaga.
Baca juga: Belanja asuransi kesehatan mesti seimbang antara FKTP dan RS
Selain itu, konsumsi makanan yang tinggi karbohidrat sederhana seperti gula dan tepung juga harus dikurangi apabila seseorang ingin memperbaiki pola makan dan mencegah diri dari obesitas.
Guna menjaga tubuh dari gejala sindrom metabolik, Gaga mengatakan olahraga rutin dan teratur menjadi kiat untuk menjaga tubuh, dengan durasi sedikitnya 150 menit olahraga ringan-sedang dan 75 menit olahraga berat dalam satu minggu, cukup untuk menjaga kondisi badan tetap ideal.
Baca juga: Anggota DPRD Yogyakarta meninggal di Bandara Ngurah Rai sebab sakit jantung
Pasalnya, Gaga menjelaskan, ketika olahraga maka tubuh akan menggunakan lemak yang tertimbun di dalam tubuh sebagai sumber energi. Gula-gula yang menumpuk di dalam tubuh juga bisa digunakan oleh otot ketika berolahraga.
"Jaga pola makan dan komposisi makanan yang baik untuk menerapkan gaya hidup sehat agar terbebas dari sindrom metabolik yang menyebabkan risiko penyakit jantung mematikan," tuturnya.