Surabaya (ANTARA) - Pagi ini, seperti biasa, saya menyalakan ponsel sebelum sruput kopi di teras rumah, dan notifikasi WhatsApp yang berisik memenuhi ruangan. Seorang teman mengabarkan bahwa harga beras naik karena konspirasi global. Seorang yang lain menyebarkan berita bahwa robot buatan Jepang akan menggantikan manusia. Seseorang lagi mengirimkan potongan video yang katanya bukti bumi datar. Saya menyesap kopi. Saya tidak tahu mana yang lebih pahit. Kopi itu atau kenyataan bahwa orang lebih percaya pada pesan berantai daripada pada laporan resmi yang benar.
Kita, kata banyak orang, sudah hidup di zaman Society 5.0. Era canggih ketika kecerdasan buatan, robot, big data, dan internet segalanya hadir untuk memudahkan manusia. Di atas kertas, ia terdengar mulia, teknologi untuk manusia. Namun, setiap kali saya membuka layar ponsel, saya justru bertanya, apakah teknologi ini benar-benar membuat hidup kita lebih manusiawi? Ataukah kita hanya berubah menjadi bayangan yang berlarian di layar, kehilangan tubuhnya sendiri. Kita mungkin merasa “on-line”, tetapi sebenarnya kita semakin “off” dari kesadaran hidup bersama.
Civic sense, kesadaran warga untuk menjaga kepentingan bersama, dulu tampak sederhana. Membuang sampah pada tempatnya. Tidak menerobos lampu merah. Mematuhi antrean ketika di kasir Indomart. Menghormati ruang publik. Semua itu aturan tak tertulis yang membentuk peradaban sehari-hari. Tetapi di era post-truth dan Society 5.0, civic sense menjelma tantangan yang lebih rumit. Ruang publik kita tidak lagi sekadar jalan, trotoar, atau taman kota. Ruang publik kita kini adalah grup WhatsApp RT, kolom komentar Instagram, forum daring yang tak terhingga jumlahnya. Di sanalah orang membuang “sampah informasi” tanpa merasa bersalah, menyebarkan hoaks seperti melempar puntung rokok ke sungai.
Saya sering merasa kita lupa kalau civic sense bukan hanya perilaku “baik” atau “sopan”, melainkan keterampilan warga untuk menjaga integritas informasi sebagaimana mereka menjaga kebersihan taman kota. Seperti kita tidak boleh membuang sampah sembarangan di jalan, kita juga tidak boleh menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya. Ini bentuk baru dari kesadaran publik yakni informational civic sense.
Namun kesadaran semacam ini tidak tumbuh dari imbauan moral belaka. Kita bisa memasang seribu spanduk “Ayo Saring Sebelum Sharing”, tetapi orang tetap menyebarkan hoaks jika tidak ada ekosistem yang mendukungnya. Civic sense adalah latihan terus-menerus. Ia tidak lahir dari pidato, tetapi dari kebiasaan. Yang ujungnya menjadi kebiasaan baru bagi masyarakat.
Tiga syarat setidaknya harus kita bangun agar civic sense di era Society 5.0 dapat tumbuh. Pertama, keteladanan dan konsistensi dari institusi. Pemerintah dan media harus memperlihatkan bahwa mereka juga serius menjaga integritas informasi. Transparansi data, kecepatan klarifikasi, keterbukaan terhadap kritik, semua ini membangun kembali kepercayaan publik. Tanpa itu, setiap ajakan untuk melawan hoaks hanya terdengar sebagai retorika kosong.
Kedua, pendidikan literasi kritis sejak dini. Bukan hanya literasi membaca, tetapi literasi berpikir. Anak-anak harus dilatih membedakan fakta, opini, dan interpretasi. Mereka perlu diajak bertanya “Siapa yang diuntungkan?” atau “Apa sumbernya?” sebelum mempercayai sebuah informasi. Sekolah harus menjadi ruang latihan bagi warga demokratis, tempat civic sense digital dibentuk seperti halnya civic sense fisik.
Ketiga, penguatan partisipasi warga dalam pengelolaan informasi publik. Ruang digital harus menjadi forum deliberasi, bukan arena saling teriak. Platform media sosial, lembaga negara, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas harus menciptakan mekanisme klarifikasi bersama, fact-checking berbasis warga, serta moderasi yang adil. Partisipasi ini penting karena hanya melalui keterlibatan orang akan merasa memiliki ruang digital dan menjaganya.
Seperti di jalan raya ada sanksi bagi pembuang sampah sembarangan, kita juga butuh mekanisme sanksi bagi penyebar hoaks yang merugikan publik. Namun sanksi saja tak cukup. Ia harus diiringi penjelasan yang menyentuh hati seperti mengapa hoaks berbahaya, bagaimana ia melukai orang, dan apa dampaknya bagi masyarakat. Tanpa itu, sanksi hanya jadi momok, bukan pembelajaran.
Gotong royong, musyawarah kampung, ronda malam, semua adalah bentuk tradisional dari civic sense yang pernah kita miliki. Dalam kehidupan tradisional, kabar bohong atau kabar buruk dikendalikan oleh norma komunitas. Orang yang menyebarkan fitnah akan kehilangan kehormatan. Kini, dalam ruang digital yang anonim, norma itu lenyap. Kita perlu menumbuhkan kembali norma baru, norma digital, yang memberi insentif bagi perilaku bertanggung jawab dan memberi sanksi sosial bagi perilaku merusak.
Era post-truth memang menantang, tetapi ia juga membuka peluang. Kesadaran publik digital bisa membuat kita lebih dewasa sebagai warga. Kita bisa belajar bahwa kebebasan berekspresi bukan berarti kebebasan merusak, bahwa hak berbicara juga diikuti kewajiban memeriksa. Ini bukan sekadar etika individu, tetapi fondasi demokrasi yang sehat.
Saya sering teringat tetangga saya yang percaya bumi ini datar. Ia menunjukkan video di YouTube dengan penuh keyakinan. Katanya itu bukti ilmiah. Saya tidak ingin berdebat. Civic sense saya mengajarkan bahwa tidak semua percakapan harus berakhir dengan kemenangan. Kadang lebih bijak menutup mulut. Tetapi apakah civic sense di Society 5.0 berarti membiarkan orang hidup dalam kebohongan yang nyaman? Ataukah justru kita perlu cara baru untuk mengajak orang kembali ke ruang publik yang sehat?
Karena pada akhirnya, civic sense di era Society 5.0 adalah tentang mengembalikan rasa percaya. Percaya pada fakta yang diverifikasi bersama, pada ruang publik yang kita rawat bersama, pada nilai bahwa kebenaran lebih kuat daripada kebohongan yang manis. Tanpa rasa percaya ini, kita hanya akan menjadi massa yang sibuk bersorak di ruang gema masing-masing, tetapi kehilangan kemampuan untuk membangun sesuatu bersama.
Bangsa yang besar bukan hanya diukur dari gedung-gedung tinggi atau teknologi canggihnya, melainkan dari kebiasaan warganya dalam menjaga integritas ruang publik serta fisik maupun digital. Menghidupkan civic sense di era post-truth dan Society 5.0 bukan proyek jangka pendek. Ia adalah proses panjang membangun kembali kontrak sosial kita. Dan itu dimulai dari kebiasaan kecil yakni memeriksa sebelum menyebarkan, bertanya sebelum percaya, mendengar sebelum menghakimi.
Di tengah hiruk-pikuk informasi yang serba cepat, mungkin ini terdengar sederhana. Namun seperti yang pernah diajarkan sejarah kota-kota besar dunia bahwa kemajuan peradaban selalu dimulai dari kesadaran warganya untuk menjaga hal-hal kecil. Dan dalam Society 5.0 yang penuh kebingungan ini, hal-hal kecil itulah yang justru menjadi fondasi bagi masa depan yang lebih jernih.
Kopi saya habis. Ponsel saya kembali berdering. Ada pesan baru: katanya ada artis yang diculik alien. Saya tersenyum getir. Mungkin alien itu justru lebih punya civic sense daripada kita. Panjang umur kehidupan.
*) Penulis adalah Komisioner KPID Jatim
