Menggali uang di tanah sendiri

id menggali uang,tanah sendiri,tkd,transfer ke daerah,pemerintah pusat,NTB,sumbawa barat,dompu Oleh Abdul Hakim

Menggali uang di tanah sendiri

Arsip - Pekerja menyelesaikan pembangunan hotel bertingkat di Mataram, NTB, Selasa (18/2/2025). Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi NTB mencatat jumlah penyerapan tenaga kerja di NTB sepanjang 2024 sebanyak 15.590 orang tenaga kerja Indonesia dan 221 orang tenaga kerja asing dari capaian total realisasi investasi NTB 2024 sebesar Rp54,55 triliun, angka tersebut melampaui target yang ditetapkan oleh Kementerian Investasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebesar Rp26,9 triliun serta target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) NTB tahun 2024 yang ditetapkan sebesar Rp25,4 triliun. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/nz

Mataram (ANTARA) - Di sebuah ruang rapat sederhana di Taliwang, Bupati Sumbawa Barat, Amar Nurmansyah, menatap deretan grafik keuangan yang menurun tajam di layar proyektor.

Tahun 2026 menjadi tahun yang tidak mudah. Dana transfer pusat yang selama ini menopang lebih dari separuh APBD daerahnya berkurang drastis.

Namun, alih-alih larut dalam keluhan, Amar melihat situasi ini sebagai peluang. Ia menilai masa pengetatan fiskal justru bisa menjadi momentum bagi daerah untuk lebih inovatif dalam mengelola keuangan.

Sikap itu tergolong berani, terutama ketika banyak kepala daerah di tempat lain mulai resah menghadapi kondisi serupa. Di Lombok Tengah, pengurangan Transfer ke Daerah (TKD) mencapai Rp383 miliar, atau turun sekitar 17 persen dari tahun sebelumnya.

Di Dompu, pemangkasan mencapai Rp158 miliar dari pos yang sebelumnya menopang berbagai program publik. Sementara secara nasional, alokasi TKD tahun 2026 dipatok hanya Rp650 triliun, angka yang berarti penurunan hampir 30 persen dibandingkan tahun 2025.

Angka-angka itu memang tampak dingin di atas kertas, tapi dampaknya terasa hangat di lapangan. Mulai dari gaji pegawai yang tertunda, proyek jalan yang terhenti, hingga puskesmas yang kekurangan obat.

Meski demikian, di balik tekanan fiskal itu tersimpan peluang bagi daerah untuk menemukan kembali semangat kemandirian, saat pemerintah daerah benar-benar menggali “uang di tanah sendiri.”

Pemerintah pusat menegaskan bahwa kebijakan pengurangan TKD bukanlah pemotongan, melainkan realokasi anggaran. Sebagian dana dialihkan langsung ke masyarakat lewat program prioritas nasional seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Desa Merah Putih yang kini disalurkan melalui kementerian dan lembaga.

Dengan mekanisme baru ini, pemerintah berharap manfaat program tetap dirasakan masyarakat di daerah, meski salurannya berbeda.

Namun bagi provinsi seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), yang 70 persen APBD-nya masih bergantung pada transfer pusat, perubahan mekanisme tersebut menjadi guncangan besar.

Para ekonom menyebut kebijakan ini sebagai ujian bagi kemandirian fiskal daerah, sebuah tantangan yang hanya bisa dijawab dengan kepemimpinan yang visioner dan manajemen yang transparan.

Kementerian Dalam Negeri pun menyadari betapa beratnya situasi ini. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menekankan pentingnya penataan ulang prioritas belanja.

Menurutnya, belanja birokrasi seperti rapat, perjalanan dinas, dan kegiatan seremonial harus dikurangi, agar anggaran bisa difokuskan pada program yang memberikan hasil nyata di masyarakat.

Tito juga mengingatkan agar pengawasan dilakukan sejak tahap perencanaan, bukan setelah masalah muncul. Dengan begitu, setiap rupiah dari dana daerah dapat digunakan secara efisien dan bermakna.

Kemandirian fiskal

NTB adalah contoh provinsi yang masih mencari keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian.

Data Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak NTB mencatat, hingga Mei 2025, penyaluran dana transfer pusat ke provinsi ini mencapai Rp7,69 triliun atau sekitar 38 persen dari total belanja negara di NTB. Angka itu menunjukkan bahwa kekuatan fiskal NTB masih banyak disangga pemerintah pusat.

Meski demikian, sejumlah daerah mulai bergerak. Di Sumbawa Barat, pemerintah daerah memanfaatkan sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) dalam bentuk deposito perbankan agar menghasilkan bunga, serta menempatkan sebagian dana pada BUMD untuk memperoleh dividen.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga terus dioptimalkan melalui pajak dan retribusi yang kini dikelola secara digital agar kebocoran bisa ditekan.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Dompu menimbang langkah perampingan organisasi perangkat daerah sebagai upaya efisiensi. Kajian tengah dilakukan bersama Pemerintah Provinsi NTB untuk memastikan langkah itu efektif dan tidak mengganggu pelayanan publik.

Meskipun tidak populer, langkah-langkah seperti ini mencerminkan kesadaran bahwa struktur birokrasi perlu disesuaikan dengan kemampuan fiskal baru yang lebih ketat.

Para akademisi juga menilai bahwa peningkatan PAD harus menjadi agenda utama daerah. Pemerintah daerah didorong untuk memperluas basis pajak, memperkuat sektor ekonomi lokal, dan membuka ruang bagi pelaku usaha untuk tumbuh.

Tantangan terbesar bukan pada minimnya potensi, melainkan pada keberanian dan kreativitas menggali sumber-sumber pendapatan baru di luar transfer pusat.

Kemandirian fiskal tidak berarti daerah harus menutup diri dari bantuan pusat, melainkan belajar mengelola potensi sendiri dengan cara yang lebih inovatif.

Kalangan akademisi menilai pembiayaan kreatif atau creative local finance bisa menjadi jalan keluar dari ketergantungan. Model pembiayaan ini memadukan dana publik, swasta, dan lembaga nonpemerintah untuk mempercepat pembangunan tanpa menunggu dana pusat turun.

Skema seperti Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), penerbitan sukuk daerah, hingga obligasi hijau layak dijajaki. Di sisi lain, daerah juga bisa meniru langkah inovatif provinsi lain misalnya Kepulauan Riau yang menembus pasar ekspor hortikultura ke Singapura, atau menghidupkan ekonomi desa lewat program Kopdeskel Merah Putih.

Prinsipnya sederhana bahwa program yang tepat sasaran dan memberi dampak langsung ke masyarakat akan lebih kuat daripada sekadar menunggu dana rutin dari pusat.

Inovasi fiskal juga harus diiringi keberanian berbenah di sisi pendapatan. Kebocoran pajak restoran, parkir, hotel, dan air tanah masih menjadi masalah klasik.

Digitalisasi sistem pajak, pengawasan real time, serta keterbukaan laporan keuangan bisa memperkuat kepercayaan publik. Ketika publik percaya bahwa uang mereka dikelola dengan benar, maka partisipasi dalam pembangunan pun akan meningkat.

Menjaga layanan dasar

Di tengah pengurangan anggaran, kekhawatiran terbesar tentu tertuju pada keberlangsungan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik.

Namun, pemerintah pusat memastikan bahwa penyesuaian TKD tetap memperhatikan kemampuan daerah dalam menjalankan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Kementerian Dalam Negeri bersama Kementerian Keuangan telah menghitung kembali kebutuhan dasar tiap daerah agar program wajib seperti sekolah dan puskesmas tetap berjalan.

Selain itu, empat langkah utama ditekankan bagi seluruh pemerintah daerah, yakni melakukan efisiensi belanja, meningkatkan PAD tanpa menambah beban masyarakat, memanfaatkan sinergi program nasional, serta memperkuat kemudahan berusaha.

Strategi ini diharapkan membuat penyesuaian TKD tidak berakhir pada stagnasi, melainkan mendorong reformasi tata kelola keuangan daerah yang lebih sehat.

Pada akhirnya, kemandirian fiskal bukan semata soal besar kecilnya dana, melainkan soal sikap dan keberanian mengambil keputusan. Sebuah kabupaten di NTB dapat belajar bahwa mengelola anggaran dengan bijak adalah bentuk nyata cinta terhadap negeri.

Seperti halnya pandangan banyak ekonom publik, daerah yang kuat bukanlah yang menerima dana terbesar, tetapi yang paling efisien dan adil dalam penggunaannya.

Dalam kondisi fiskal yang ketat, pemerintah daerah dihadapkan pada dua pilihan, yakni terus mengeluh karena dana berkurang, atau menata ulang mesin ekonominya agar lebih tangguh.

Kebijakan pusat memang menekan alokasi transfer, tetapi sekaligus membuka ruang bagi kreativitas lokal untuk tumbuh. Dari desa di Lombok Tengah hingga pelabuhan di Sumbawa, ada peluang untuk menggerakkan ekonomi tanpa harus menunggu instruksi dari Jakarta.

Krisis fiskal kali ini sejatinya menjadi ujian yang bisa melahirkan pembaruan tata kelola keuangan di daerah. Pemerintah daerah yang cerdas akan menggunakan situasi ini untuk memperbaiki manajemen belanja, meningkatkan transparansi, dan memperluas basis pendapatan. Kuncinya adalah kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, sektor swasta, dan masyarakat.

Apabila NTB mampu menjadikan tekanan fiskal sebagai bahan bakar inovasi, maka berkurangnya TKD bukanlah akhir dari desentralisasi, melainkan awal dari babak baru kemandirian daerah.

Dana mungkin berkurang, tetapi ide dan semangat tidak pernah habis. Selama ada kemauan menggali potensi di tanah sendiri, daerah tak perlu takut hidup tanpa infus dari pusat.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - NTB di persimpangan fiskal: Saatnya mandiri dari dana pusat



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.