Menggali kekosongan hukum: Mengapa tata cara pelaksanaan pidana mati belum ditetapkan dalam KUHP baru?

id kekosongan hukum,tata cara pelaksanaan pidana mati ,KUHP baru

Menggali kekosongan hukum: Mengapa tata cara pelaksanaan pidana mati belum ditetapkan dalam KUHP baru?

Praktisi dan Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Mataram dan Majelis Hukum Dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB 2022-2027, Dr. Firzhal Arzhi Jiwantara, SH.MH.C.M.C (ANTARA/HO)

Mataram (ANTARA) - Hukuman mati, meskipun kontroversial, tetap menjadi salah satu bentuk sanksi yang sah dalam hukum pidana Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru padahal KUHP baru akan berlaku Januari 2026 akan tetapi sampai sekarang Pemerintah belum membentuk Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang sudah diatur secara jelas dan eksplisit dalam Pasal 102 KUHP baru, pidana mati masih dipertahankan untuk tindak pidana tertentu.

Namun, ada satu hal yang menjadi pertanyaan besar bagi praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat luas: mengapa tata cara pelaksanaan pidana mati belum diatur dalam KUHP baru? Ketidakjelasan ini menciptakan kekosongan hukum yang memerlukan perhatian serius, terutama terkait dengan prinsip keadilan, transparansi, dan hak asasi manusia.

Pidana mati, sebagai bentuk hukuman yang paling berat, tentu memerlukan prosedur pelaksanaan yang jelas untuk memastikan bahwa proses eksekusi berjalan dengan adil dan sah. Tanpa adanya pengaturan yang terperinci, pelaksanaan pidana mati bisa terjebak dalam ketidakpastian hukum yang berpotensi merugikan pihak terpidana maupun masyarakat. Bagaimanapun, eksekusi pidana mati adalah proses yang tak bisa dibatalkan, sehingga setiap langkah dalam pelaksanaannya harus dijaga dengan penuh kehati-hatian dan sesuai dengan norma hukum yang berlaku.

Di dalam KUHP yang lama, memang sudah ada aturan tentang pelaksanaan pidana mati, seperti yang diatur dalam Pasal 11 KUHP yang mengatur mengenai cara pelaksanaan hukuman mati dengan regu tembak. Namun, dalam KUHP baru, meskipun hukuman mati tetap ada, prosedur pelaksanaan eksekusi belum diatur secara spesifik. Hal ini memunculkan pertanyaan, mengapa hal sebesar ini bisa terlewatkan dalam pembaruan yang seharusnya lebih komprehensif dan jelas?

Bahwa tanpa adanya regulasi yang jelas mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati, potensi ketidakadilan bisa saja terjadi. Misalnya, dalam hal pelaksanaan eksekusi, apakah hak-hak terpidana akan dihormati? Apakah proses eksekusi akan dilakukan dengan cara yang humanis dan sesuai dengan standar hak asasi manusia? Tanpa pedoman yang jelas, bisa saja eksekusi dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang diinginkan. Ketidakpastian semacam ini bisa menjadi celah bagi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.

Tata cara pelaksanaan pidana mati yang jelas juga penting untuk mencegah kesalahan eksekusi, seperti yang pernah terjadi dalam beberapa kasus di dunia, di mana seseorang yang dihukum mati kemudian terbukti tidak bersalah. Oleh karena itu, prosedur yang rinci, mulai dari pemberitahuan kepada keluarga, pemberian kesempatan untuk mengajukan grasi, hingga pelaksanaan eksekusi itu sendiri, harus diatur dengan jelas untuk menghindari kesalahan yang tidak bisa diperbaiki.

Setelah disahkannya KUHP baru, masih ada kekosongan hukum terkait pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pidana mati. Biasanya, hal ini diatasi dengan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri yang mengatur teknis pelaksanaan eksekusi pidana mati. Namun, ketidakpastian kapan regulasi ini akan disahkan memberikan kesan bahwa legislasi terkait tata cara eksekusi hukuman mati tidak dianggap sebagai prioritas dalam pembaruan hukum pidana Indonesia.

Proses legislasi yang belum lengkap ini bisa berdampak negatif. Tanpa adanya peraturan pelaksanaan yang jelas, masyarakat akan terus bertanya-tanya tentang bagaimana pelaksanaan hukuman mati akan dilakukan dengan adil dan transparan. Bahkan, di mata dunia internasional, ketidakjelasan ini dapat menciptakan citra buruk bagi Indonesia yang seharusnya sudah menyelaraskan hukum pidananya dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang lebih progresif.

Mengabaikan pengaturan tata cara pelaksanaan pidana mati juga memberikan kesempatan untuk mengevaluasi kembali kebijakan ini. Apakah masih relevan menerapkan hukuman mati di era yang semakin menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak hidup? Banyak negara di dunia yang sudah menghapuskan hukuman mati, melihatnya sebagai langkah menuju peradilan yang lebih manusiawi dan menghormati hak asasi manusia.

Jika Indonesia tetap mempertahankan pidana mati, maka pengaturan pelaksanaannya harus disusun dengan sangat teliti dan penuh pertimbangan. Namun, tanpa regulasi yang jelas, kebijakan ini justru bisa menjadi cacat hukum yang merugikan pihak-pihak terkait, baik itu terpidana, keluarga, maupun masyarakat luas.

Bahwa dengan ketidakjelasan mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati dalam KUHP baru menciptakan kekosongan hukum yang perlu segera diatasi. Mengingat pentingnya eksekusi yang adil dan sah, pengaturan yang jelas harus segera disusun agar proses hukuman mati tidak disalahgunakan dan tetap menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dalam konteks ini, Pemerintah harus segera merumuskan peraturan pelaksanaan yang transparan dan sesuai dengan semangat keadilan, agar hukuman mati tetap diterapkan dengan cara yang lebih bertanggung jawab. Sementara itu, keberadaan kekosongan hukum ini juga bisa menjadi momentum untuk meninjau kembali relevansi pidana mati dalam sistem hukum Indonesia di masa depan.

*) Penulis adalah Praktisi dan Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Mataram dan Majelis Hukum Dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB 2022-2027