Mataram (ANTARA) - Para petambak di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, hingga kini masih menghadapi masalah  penyakit udang akibat virus myo atau "infectious myo necrosis virus"  dan bintik putih atau "white spot syndrome virus".
     Petambak udang lokal di Labuan Sangor, Kecamatan Maronge, Kabupaten Sumbawa Abdul Hakim yang dihubungi dari Mataram, Jumat, mengatakan hampir setiap musim panen terjadi serangan virus yang menyebabkan banyak udang mati.
     "Virus tersebut umumnya menyerang udang yang siap panen,  akibatnya hasil panen lebih sedikit karena banyak yang mati. Untuk memperkecil kerugian kami terpaksa memanen lebih cepat dari jadwal semula," katanya.
     Menurut dia beberapa petambak di Labuan Sangor terpaksa memanen udang lebih cepat, karena tingkat kematian udang akibat serangan virus tersebut cukup tinggi mencapai 75 - 100 kg setiap hari.
     "Kalau dbiarkan, tidak cepat dipanen, akan semakin banyak udang yang mati," katanya.
     Menurut dia serangan virus tersebut berlangsung cepat karena itu jika sudah ada gejala sebaiknya cepat dipanen agar tidak sampai menimbulkan kerugian lebih besar.
     Hasil panen udang dari dua petak tambak seluas hampir dua haktare mencapai sembilan ton, jika tidak ada serangan virus myo atau penyakit bintik putih, produksi bisa mencapai sepuluh ton.
     Ia mengatakan bibit udang atau benur yang ditabur pada setiap satu petak tambak sebanyak 300.000 hingga 400.000 ekor, kalau berhasil  bisa memproduksi udang sepuluh ton lebih.
     "Dibandingkan dengan tambak lain di Desa Labuan Sangor,  tingkat kematian udang ditambak yang saya kekola lebih rendah,  sehingga masih untung kendati relatif kecil," katanya.
     Menurut dia untuk mengantisipasi serangan penyakit udang tersebut dirinya dan sejumlah petambak lokal lain menggunakan daun "imba" sebagai pengganti antibiotik. Ini cara pengobatan tradisional
    "Penggunaan obat yang mengadung bahan kimia bisa mengakibatkan udang tidak laku di pasar internasional," katanya.
     Menurut informasi beberapa kontainer udang yang diekspor ke berbagai negara dikembalikan karena mengandung residu antibiotik. "Namun kami tidak pernah menggunakan antibiotik, kecuali dengan daun 'imba'," katanya.(*)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2025