Mataram (ANTARA) - Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Nusa Tenggara Barat meminta Dinas Pariwisata NTB dan Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Lombok untuk membatalkan pelatihan pelaku pariwisata yang terdampak Virus Corona baru atau COVID-19, karena berisiko terhadap kesehatan peserta.
Ketua HPI NTB Ainuddin, di Mataram, Rabu, mengaku sudah menyampaikan surat permohonan pembatalan pelatihan tersebut kepada Dinas Pariwisata NTB dan ditembuskan kepada Gubernur NTB, Kepala Kepolisian Daerah NTB, serta Direktur Poltekpar Lombok.
"Kami mohon agar kegiatan yang bentuknya menghimpun banyak orang perlu dikaji ulang. Saya tidak yakin bahwa peserta yang terdiri dari berbagai latar belakang akan bisa disiplin menjaga jarak," katanya.
Menurut dia, upaya menjaga jarak tidak bisa dilihat hanya pada waktu pelatihan berlangsung, meskipun tempat duduknya telah diatur. Namun yang perlu dipikirkan adalah setelah pelaksanaan kegiatan, apakah peserta akan tetap disiplin untuk menjaga jarak dengan baik.
Informasi yang diperoleh HPI NTB, pelatihan yang akan digelar oleh Poltekpar Lombok tersebut melibatkan sebanyak 100 orang peserta yang terdampak COVID-19. Mereka terdiri atas pegawai perusahaan perjalanan wisata sebanyak 20 orang dan resepsionis hotel sebanyak 20 orang.
Selain itu, pegawai kebersihan hotel sebanyak 20 orang, pegawai layanan F & B sebanyak 20 orang, dan pegawai bagian produksi makanan sebanyak 20 orang.
Saat ini, kata Ainuddin, semua warga harus mematuhi kebijakan pemerintah terkait pembatasan jarak untuk mencegah penularan COVID-19.
"Dalam implementasinya, semua lembaga pemerintah harus memberikan contoh yang baik. Jadi mohon Kepala Dinas Pariwisata NTB mengevaluasi kembali kegiatan pelatihan tersebut," ucap Ainuddin.
Pria yang juga berprofesi sebagai pengacara tersebut juga menyarankan kepada Dinas Pariwisata NTB dan Poltekpar Lombok yang bernaung di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk mengalihkan anggaran pelatihan dalam bentuk bantuan kebutuhan pokok kepada pelaku jasa pariwisata yang terdampak COVID-19.
"Daripada pelatihan yang akan menimbulkan risiko. Bayangkan kalau dengan kegiatan itu ada yang tertular, maka negara akan mengeluarkan anggaran berlipat-lipat untuk memulihkan kesehatan peserta yang tertular. Belum lagi biaya peserta yang di karantina," katanya.
Ketua HPI NTB Ainuddin, di Mataram, Rabu, mengaku sudah menyampaikan surat permohonan pembatalan pelatihan tersebut kepada Dinas Pariwisata NTB dan ditembuskan kepada Gubernur NTB, Kepala Kepolisian Daerah NTB, serta Direktur Poltekpar Lombok.
"Kami mohon agar kegiatan yang bentuknya menghimpun banyak orang perlu dikaji ulang. Saya tidak yakin bahwa peserta yang terdiri dari berbagai latar belakang akan bisa disiplin menjaga jarak," katanya.
Menurut dia, upaya menjaga jarak tidak bisa dilihat hanya pada waktu pelatihan berlangsung, meskipun tempat duduknya telah diatur. Namun yang perlu dipikirkan adalah setelah pelaksanaan kegiatan, apakah peserta akan tetap disiplin untuk menjaga jarak dengan baik.
Informasi yang diperoleh HPI NTB, pelatihan yang akan digelar oleh Poltekpar Lombok tersebut melibatkan sebanyak 100 orang peserta yang terdampak COVID-19. Mereka terdiri atas pegawai perusahaan perjalanan wisata sebanyak 20 orang dan resepsionis hotel sebanyak 20 orang.
Selain itu, pegawai kebersihan hotel sebanyak 20 orang, pegawai layanan F & B sebanyak 20 orang, dan pegawai bagian produksi makanan sebanyak 20 orang.
Saat ini, kata Ainuddin, semua warga harus mematuhi kebijakan pemerintah terkait pembatasan jarak untuk mencegah penularan COVID-19.
"Dalam implementasinya, semua lembaga pemerintah harus memberikan contoh yang baik. Jadi mohon Kepala Dinas Pariwisata NTB mengevaluasi kembali kegiatan pelatihan tersebut," ucap Ainuddin.
Pria yang juga berprofesi sebagai pengacara tersebut juga menyarankan kepada Dinas Pariwisata NTB dan Poltekpar Lombok yang bernaung di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk mengalihkan anggaran pelatihan dalam bentuk bantuan kebutuhan pokok kepada pelaku jasa pariwisata yang terdampak COVID-19.
"Daripada pelatihan yang akan menimbulkan risiko. Bayangkan kalau dengan kegiatan itu ada yang tertular, maka negara akan mengeluarkan anggaran berlipat-lipat untuk memulihkan kesehatan peserta yang tertular. Belum lagi biaya peserta yang di karantina," katanya.