Mataram (ANTARA) - Information Fusion Center (IFC) berulang tahun kesebelas beberapa waktu lalu. Besar kemungkinan, sebagian besar di antara kita tidak tahu barang apa ini. Hanya segelintir yang tahu IFC dan berbagai aspek yang terkait dengannya. Biasanya mereka adalah peminat isu-isu keamanan maritim atau maritime security.
 
Mereka yang  tidak kenal IFC itu hal wajar. Soalnya, lembaga yang satu ini secara fisik berada di luar wilayah Indonesia. Dari sisi nonfisik bahkan lebih berjarak lagi. Tetapi, walaupun jauh di mata, IFC sebetulnya dekat di hati.
      
IFC merupakan sebuah lembaga dalam tubuh Angkatan Laut Singapura atau Republic of Singapore Navy (RSN). Didirikan pada 27 April 2009, unit ini bertugas menghimpun, mengolah dan mendiseminasi informasi terkait situasi keamanan maritim di Asia Tenggara.
       
Informasi dimaksud didapat dari Angkatan Laut yang menjadi mitra lembaga tersebut yang sebagian besar berasal dari kawasan serantau. Ada juga Angkatan Laut dari luar ASEAN seperti China, AS, dan India. Saat ini ada 20 negara yang bergabung dengan IFC. Jerman bergabung awal Januari lalu.
       
Karena berkecimpung dalam ranah keamanan maritim khususnya keamanan maritim nontradisional, informasi yang dihimpun, diolah dan didiseminasi IFC difokuskan pada kejadian pencurian di atas kapal, perompakan atau gangguan lainnya yang menimpa kapal-kapal yang tengah bernavigasi di perairan penting kawasan seperti Selat Malaka dan Selat Singapura.
       
Selain melalui milis, IFC juga rutin menggelar “Shared Awareness Meeting”, sebuah forum yang dibuat bersama dengan komunitas pelayaran serantau untuk mendiskusikan berbagai masalah atau kejadian besar dalam bidang keamanan maritim dan dicarikan solusinya.
       
Saya selalu dikirimi update situasi keamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura melalui surat elektronik oleh IFC. Saya juga beberapa kali diundang ke forum itu. Informasi dan berbagai turunannya memang betul-betul menjadi denyut nadi lembaga tersebut, sesuai dengan namanya.
       
TNI AL bergabung juga ke dalam IFC dan menempatkan seorang perwira penghubung (liaison officer) di sana. Ada cerita menarik di balik bergabungnya matra ini. Saya diceritakan oleh teman yang tidak bisa saya sebutkan namanya dalam tulisan ini.
       
Kata si teman, TNI AL bergabung dengan IFC karena terkait dengan KM Sinar Kudus. Kok, bisa? Tanya saya. Untuk penyegar ingatan, KM Sinar Kudus adalah kapal milik perusahaan pelayaran nasional Samudra Indonesia yang disandera oleh perompak Somalia pada 2011.
       
Pemerintah Indonesia memutuskan akan membebaskan ABK kapal itu dengan men-deploy operasi militer dengan sandi “Operasi Merah Putih”. Maka dibuatlah rencana untuk kepentingan itu oleh Mabes TNI. Agar perencanaan dapat disusun dengan saksama, dibutuhkan informasi awal mengenai semua hal yang berhubungan dengan operasi yang akan dijalankan.
       
Kata teman saya tadi, informasi berharga inilah yang dipasok oleh IFC kepada TNI. Informasi yang disuplai ini dihimpun oleh IFC dari 97 pusat informasi keamanan yang tersebar di 41 negara. Hasil akhirnya kita tahu semua: KM Sinar Kudus beserta awaknya berhasil diselamatkan.
       
Empat dari puluhan perompak yang berada di atas kapal tersebut dilumpuhkan oleh pasukan khusus TNI yang terdiri dari Marinir, Kopassus dan Kopaska. Mereka dikirim dengan dua fregat dan satu heli yang menunggu di Kolombo, Sri Lanka.
       
Hanya saja, sangat disayangkan duit tebusan sebesar Rp 4,5 milyar yang sudah kadung dibayarkan kepada pimpinan kelompok lanun tersebut tidak berhasil direbut kembali oleh pasukan khusus TNI.
       
Setelah kejadian itu, tepatnya pada 11 Maret 2011, TNI AL secara resmi bergabung dengan IFC, melengkapi jumlah negara anggota yang sudah terlebih dahulu berpartisipasi dalam organisasi tersebut.
       
Dua puluh empat perwira menengah, sebagian besar berpangkat Mayor, namun pernah pula Letnan Kolonel, telah ditugaskan sebagai penghubung atau international liaison officer (ILO) di lembaga itu oleh Mabes TNI AL hingga kini.
       
Kehadiran otoritas keamanan maritim Indonesia dalam IFC ke depan kemungkinan akan bertambah kuat dengan akan bergabungnya Badan Keamanan Laut (Bakamla). Ketika masih menjabat sebagai Kepala Bakamla, Laksdya Achmad Taufiqoerrochman telah mengirim surat keinginan bergabung alias declaration of intent kepada IFC.
       
Niatan perwira tinggi ini sepertinya berangkat dari kedekatannya dengan IFC yang terbangun ketika ia menjadi komandan operasi pembebasan KM Sinar Kudus yang disandera oleh perompak Somalia pada 2011.
       
Tapi kabarnya ada persoalan internal Bakamla, sehingga rencana tadi terhenti untuk sementara. Jika kelak lembaga ini betul-betul jadi bergabung, Bakamla merupakan anggota IFC kedua yang bukan matra laut. Dari 20 anggota yang ada saat ini, hanya Filipina yang tidak menempatkan AL-nya. Negeri Duterte ini menugaskan perwira Philippine Coast Guard (PCG). Informasi terbaru, kini seorang pewira AL Filipina telah pula ditempatkan di IFC.
       
Selain IFC, di kawasan Asia ada satu lagi organisasi yang berkecimpung dalam ranah keamanan maritim serta memiliki pusat informasi seperti IFC. Namanya “Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP)”.
       
Adapun unit pengumpulan, pengolahan dan diseminasi informasinya dikenal dengan nama “Information Sharing Center” (ISC). Menarik mencermati keterlibatan lembaga yang juga berkecimpung dalam ranah keamanan maritim ini.
       
Hingga saat ini Indonesia tidak pernah berpartisipasi dalam kegiatan resmi ReCAAP. Tetapi mengikuti seminar atau diskusi yang diadakan lembaga ini cukup sering. Hal ini cukup aneh. Pasalnya, Indonesia sebetulnya merupakan salah satu negara anggota ASEAN yang ikut melahirkan ReCAAP.
       
Indonesia terlibat dalam pertemuan-pertemuan pendirian ReCAAP sejak 2004. Tapi, ketika lembaga ini resmi berdiri pada 4 September 2006 Indonesia tidak ikut di dalamnya. Selain Indonesia, negeri jiran Malaysia juga tidak masuk organisasi itu.
       
Setelah ReCAAP berjalan, sikap Malaysia malah makin kooperatif terhadap organisasi tersebut yang diwujudkan dengan intensnya komunikasi negara tersebut dengan ReCAAP melalui coast guard-nya (MMEA).
       
Sementara itu Indonesia sepertinya tetap bersikap dingin. Saya menduga, Indonesia tidak atau belum bergabung dengan ReCAAP karena alasan nomenklatur “perompakan” yang melekat pada lembaga ini.
       
Mengkategorikan sebuah perbuatan adalah perompakan/pembajakan sesuai Pasal 101 the United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 harus memenuhi salah satu di antara tindakan ini: setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta (poin a).
       
Dengan poin ini, suatu tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah dapat dikategorikan sebagai pembajakan bila ditujukan: di laut lepas dan di suatu tempat di luar yurisdiksi negara mana pun.
       
Sementara pada poin b dalam ketentuan yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 itu, pembajakan dapat pula berupa “setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak.”
       
Atau, poin c yang menyebutkan bahwa suatu perbuatan yang disebut pembajakan dapat berupa setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam poin a atau b.

Dari 20 anggota yang ada saat ini, hanya Filipina yang tidak menempatkan AL-nya. Negeri Duterte ini menugaskan perwira Philippine Coast Guard (PCG). Informasi terbaru, kini seorang perwira AL Filipina telah pula ditempatkan di IFC.
       
Sementara itu mengacu kepada statistik yang secara reguler dikeluarkan oleh ReCAAP ISC, lokasi kejadian tindak kejahatan di laut seluruhnya berada di laut teritorial sebuah negara pantai, sedangkan tindakan kejahatan yang dinilai sebagai perompakan/pembajakan tak lebih hanya pencurian di atas kapal yang tengah berlayar atau sandar di pelabuhan.
       
Bisa pula alasan belum bergabung dengan ReCAAP karena Indonesia tidak tahu instansi mana yang akan ditempatkan di sana. Apakah Bakamla atau Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai  (KPLP), Polair atau instansi lainnya. Entahlah.

*Penulis, Siswanto Rusdi adalah Direktur The National Maritime Institute (Namarin), sebuah lembaga pengkajian kemaritiman independen di Jakarta.

 

Pewarta : Oleh Siswanto Rusdi*
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024