Mataram (ANTARA) - Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM belum mengizinkan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat H. Lalu Serinata keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Mataram untuk kepentingan berobat dan pemeriksaan medis di Jakarta.
"Kami sudah tindaklanjuti surat permohonan Kalapas Mataram, dengan meneruskannya ke Dirjen Pemasyarakatan, sejak pekan lalu, namun belum ada jawaban," kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Barat (NTB) H. Irchamni Chabiburahman, di Mataram, Senin.
Ia mengatakan, permohonan izin berobat itu tergolong mendesak karena kondisi kesehatan mantan pejabat NTB itu semakin memprihatinkan.
Serinata membutuhkan perawatan medis di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta karena seringkali mengeluh nyeri di dada dan matanya yang pernah dioperasi.
"Kalau tidak segera dibawa ke Jakarta, bisa bahaya dan matanya bisa copot," ujar Chabiburahman.
Menurutnya, tugasnya untuk meneruskan permohonan izin berobat itu sudah dilakukan sehingga tinggal menunggu persetujuan Dirjen Pemasyarakatan.
Bahkan, Gubernur NTB KH. M. Zainul Majdi, ikut membantu mempercepat penerbitan izin berobat lintas daerah itu.
"Pak Gubernur juga berupa, beliau akan bicara dengan Pak Menteri agar izin berobat itu segera dikabulkan," ujarnya.
Kini Serinata yang juga mantan politisi Partai Golkar itu masih menghuni ruang observasi poliklinik Lapas Mataram semenjak dieksekusi aparat kejaksaan, 27 Juli lalu.
Gubernur NTB periode 2003-2008 itu mulai menjalani hukuman setelah divonis hukuman penjara selama tiga tahun oleh Pengadilan Negeri Mataram pada 20 Agustus 2009, namun sebagai tahanan kota.
Serinata baru menghuni Lapas Klas IIA Mataram itu setelah dieksekusi oleh aparat kejaksaan, sesuai putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2396/K/Pidsus/2009 tertanggal 11 Desember 2009, yang menolak kasasi yang diajukan penasehat hukum terdakwa maupun kasasi yang diajukan pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU), akhir Pebruari lalu.
JPU mengajukan kasasi karena majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Mataram mengurangi masa hukuman Serinata, sementara penasehat hukum Serinata mengajukan kasasi karena menurut mereka vonis PT Mataram masih tidak sesuai harapan.
Putusan PT Mataram, yakni Serinata divonis tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta serta diwajibkan menyetor biaya pengganti sebesar Rp776 juta sesuai nilai kerugian negara.
Putusan majelis hakim PT Mataram tertanggal 20 Agustus 2009 itu, lebih ringan dari putusan majelis hakim PN Mataram tertanggal 11 Juni 2009.
Majelis hakim PN Mataram menjatuhkan vonis lima tahun penjara dan denda sebesar Rp400 juta subsider enam bulan kurungan, serta dibebankan kewajiban membayar biaya pengganti sesuai nilai kerugian negara.
Serinata terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat tindak pidana korupsi secara "berjamaah" ketika menjabat Ketua DPRD NTB periode 1999-2004 sekaligus sebagai Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) secara "ex officio" sehingga merugikan negara sebesar Rp7,5 miliar lebih.
Serinata juga terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara Cq Pemerintah Provinsi NTB sebesar Rp2,5 miliar lebih pada dakwaan kedua, sehingga total kerugian negara mencapai Rp10 miliar.(*)
"Kami sudah tindaklanjuti surat permohonan Kalapas Mataram, dengan meneruskannya ke Dirjen Pemasyarakatan, sejak pekan lalu, namun belum ada jawaban," kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Barat (NTB) H. Irchamni Chabiburahman, di Mataram, Senin.
Ia mengatakan, permohonan izin berobat itu tergolong mendesak karena kondisi kesehatan mantan pejabat NTB itu semakin memprihatinkan.
Serinata membutuhkan perawatan medis di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta karena seringkali mengeluh nyeri di dada dan matanya yang pernah dioperasi.
"Kalau tidak segera dibawa ke Jakarta, bisa bahaya dan matanya bisa copot," ujar Chabiburahman.
Menurutnya, tugasnya untuk meneruskan permohonan izin berobat itu sudah dilakukan sehingga tinggal menunggu persetujuan Dirjen Pemasyarakatan.
Bahkan, Gubernur NTB KH. M. Zainul Majdi, ikut membantu mempercepat penerbitan izin berobat lintas daerah itu.
"Pak Gubernur juga berupa, beliau akan bicara dengan Pak Menteri agar izin berobat itu segera dikabulkan," ujarnya.
Kini Serinata yang juga mantan politisi Partai Golkar itu masih menghuni ruang observasi poliklinik Lapas Mataram semenjak dieksekusi aparat kejaksaan, 27 Juli lalu.
Gubernur NTB periode 2003-2008 itu mulai menjalani hukuman setelah divonis hukuman penjara selama tiga tahun oleh Pengadilan Negeri Mataram pada 20 Agustus 2009, namun sebagai tahanan kota.
Serinata baru menghuni Lapas Klas IIA Mataram itu setelah dieksekusi oleh aparat kejaksaan, sesuai putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2396/K/Pidsus/2009 tertanggal 11 Desember 2009, yang menolak kasasi yang diajukan penasehat hukum terdakwa maupun kasasi yang diajukan pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU), akhir Pebruari lalu.
JPU mengajukan kasasi karena majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Mataram mengurangi masa hukuman Serinata, sementara penasehat hukum Serinata mengajukan kasasi karena menurut mereka vonis PT Mataram masih tidak sesuai harapan.
Putusan PT Mataram, yakni Serinata divonis tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta serta diwajibkan menyetor biaya pengganti sebesar Rp776 juta sesuai nilai kerugian negara.
Putusan majelis hakim PT Mataram tertanggal 20 Agustus 2009 itu, lebih ringan dari putusan majelis hakim PN Mataram tertanggal 11 Juni 2009.
Majelis hakim PN Mataram menjatuhkan vonis lima tahun penjara dan denda sebesar Rp400 juta subsider enam bulan kurungan, serta dibebankan kewajiban membayar biaya pengganti sesuai nilai kerugian negara.
Serinata terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat tindak pidana korupsi secara "berjamaah" ketika menjabat Ketua DPRD NTB periode 1999-2004 sekaligus sebagai Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) secara "ex officio" sehingga merugikan negara sebesar Rp7,5 miliar lebih.
Serinata juga terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara Cq Pemerintah Provinsi NTB sebesar Rp2,5 miliar lebih pada dakwaan kedua, sehingga total kerugian negara mencapai Rp10 miliar.(*)