Jakarta (ANTARA) - Lokataru Kantor Hukum dan HAM mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menyita aset miliaran rupiah milik mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono.

"Lokataru Kantor Hukum dan HAM mendesak KPK segera melakukan penyitaan aset milik Nurhadi cs dan mengembangkan penyelidikan pada dugaan adanya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang kemungkinan besar telah dilakukan," ucap Pendiri Lokataru Kantor Hukum dan HAM Haris Azhar melalui keterangannya di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, penanganan kasus Nurhadi dan Rezky tidak boleh hanya berhenti pada praktik suap dan gratifikasi yang saati ini telah ditangani oleh KPK tetapi juga harus ditindak lanjuti dugaan adanya TPPU yang dilakukan oleh keduanya.

Dalam penelusuran yang dilakukan Lokataru, ia menyatakan setidaknya telah ditemukan beberapa aset kepemilikan Nurhadi dan Rezky Herbiyono, yakni tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah, empat lahan usaha kelapa sawit.

Selanjutnya delapan badan hukum dalam berbagai jenis baik PT hingga UD, 12 mobil mewah dengan harga puluhan miliar rupiah, dan 12 jam tangan mewah dengan nilai puluhan miliar rupiah.

"Tak hanya itu, diduga masih ada aset lain yang kemungkinan besar belum terjangkau. Kami menemukan indikasi kuat ada penggunaan nama-nama di luar Nurhadi yang tercatat mengatasnamakan aset hasil tindak pidana dimaksud," ucap Haris.

Selain itu, KPK juga harus memberikan informasi kepada seluruh masyarakat berkaitan dengan beberapa lokasi yang telah menjadi tempat persembunyian Nurhadi, Rezky beserta keluarga mereka, sejak keduanya ditetapkan sebagai DPO pada Februari 2020 lalu.

"Berdasarkan informasi yang kami peroleh, setidaknya terdapat lima tempat persembunyian yang digunakan oleh Nurhadi dan Rezky selama pengejaran KPK dan terdapat beberapa pihak yang melindungi dan memberikan fasilitas persembunyian," ungkap Haris.

KPK, kata dia, juga harus segera menindak tegas pihak-pihak yang memberikan fasilitas persembunyian tersebut sesuai dengan Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berkaitan dengan upaya menghalangi proses hukum yang sedang berlangsung (obstruction of justice).

"Fasilitas persembunyian tersebut, setidak-tidaknya berupa tempat, proses perpindahan dari satu tempat ke tempat persembunyian lainnya, penyediaan kebutuhan harian, pengamanan, dan individu-individu penghubung komunikasi," tuturnya.

Ia mengatakan pengungkapan kasus Nurhadi tersebut patut dijadikan harapan sebagai upaya untuk membersihkan praktik mafia peradilan di Indonesia.

"Sebaliknya, jika KPK lemah, enggan dan permisif dalam penanganan kasus ini, justru akan menjadi kembang subur praktik mafia peradilan," kata Haris.

Nurhadi dan Rezky bersama Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2011-2016 pada 16 Desember 2019. Ketiganya kemudian dimasukkan dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak Februari 2020.

Untuk tersangka Nurhadi dan Rezky telah ditangkap tim KPK di Jakarta, Senin (1/6). Sementara tersangka Hiendra masih menjadi buronan.

Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.



 

Pewarta : Benardy Ferdiansyah
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024