Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk mengembangkan kasus mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (NHD) ke arah dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Bahwa tentu sangat memungkinkan untuk dikembangkan ke arah dugaan TPPU, sejauh dari hasil penyidikan saat ini ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka TPPU," kata Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu.
Baca juga: Kronologis penangkapan Nurhadi dan menantunya
Untuk pengembangan tersebut, lanjut dia, penyidik KPK tentu akan mendalami setiap informasi dan keterangan yang diperoleh dari saksi-saksi maupun barang-barang yang diamankan dari hasil penggeledahan.
Baca juga: KPK didesak menyita aset miliaran rupiah milik Nurhadi dan menantunya
Namun, kata dia, saat ini penyidik KPK akan fokus terlebih dahulu pada penguatan pembuktian unsur pasal-pasal yang dipersangkakan saat ini untuk tersangka Nurhadi dalam kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada tahun 2011—2016.
Demikian pula, kata Ali, terhadap dugaan keterlibatan istri Nurhadi, Tin Zuraida maupun pihak-pihak lain terkait dengan kasus tersebut penyidik juga akan mendalami lebih lanjut setiap informasi yang telah diterima.
Hal itu termasuk kemungkinan penerapan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi atau merintangi penyidikan bagi pihak-pihak yang membantu pelarian Nurhadi, Ali mengatakan bahwa KPK akan menganalisis terlebih dahulu setiap keterangan para saksi yang nantinya dipanggil penyidik.
Sebelumnya, pendiri Lokataru Kantor Hukum dan HAM Haris Azhar mendesak KPK segera menyita aset miliaran rupiah milik Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono serta mengembangkan penyelidikan pada dugaan adanya TPPU yang kemungkinan besar telah dilakukan.
Dalam penelusuran yang dilakukan Lokataru, menurut dia, setidaknya telah ditemukan beberapa aset kepemilikan Nurhadi dan Rezky, yakni tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah serta empat lahan usaha kelapa sawit.
Selanjutnya, delapan badan hukum dalam berbagai jenis baik PT hingga UD, 12 mobil mewah dengan harga puluhan miliar rupiah, dan 12 jam tangan mewah dengan nilai puluhan miliar rupiah.
"Tak hanya itu, diduga masih ada aset lain yang kemungkinan besar belum terjangkau. Kami menemukan indikasi kuat ada penggunaan nama-nama di luar Nurhadi yang tercatat mengatasnamakan aset hasil tindak pidana dimaksud," ucap Haris melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (4/6).
Baca juga: 3 kendaraan mewah diamankan KPK saat tangkap Nurhadi
Nurhadi dan Rezky bersama Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada tahun 2011—2016 pada tanggal 16 Desember 2019. Ketiganya kemudian dimasukkan dalam status daftar pencarian orang (DPO) sejak Februari 2020.
Untuk tersangka Nurhadi dan Rezky telah ditangkap tim KPK di Jakarta, Senin (1/6), sementara tersangka Hiendra masih menjadi buronan.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
"Bahwa tentu sangat memungkinkan untuk dikembangkan ke arah dugaan TPPU, sejauh dari hasil penyidikan saat ini ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka TPPU," kata Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu.
Baca juga: Kronologis penangkapan Nurhadi dan menantunya
Untuk pengembangan tersebut, lanjut dia, penyidik KPK tentu akan mendalami setiap informasi dan keterangan yang diperoleh dari saksi-saksi maupun barang-barang yang diamankan dari hasil penggeledahan.
Baca juga: KPK didesak menyita aset miliaran rupiah milik Nurhadi dan menantunya
Namun, kata dia, saat ini penyidik KPK akan fokus terlebih dahulu pada penguatan pembuktian unsur pasal-pasal yang dipersangkakan saat ini untuk tersangka Nurhadi dalam kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada tahun 2011—2016.
Demikian pula, kata Ali, terhadap dugaan keterlibatan istri Nurhadi, Tin Zuraida maupun pihak-pihak lain terkait dengan kasus tersebut penyidik juga akan mendalami lebih lanjut setiap informasi yang telah diterima.
Hal itu termasuk kemungkinan penerapan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi atau merintangi penyidikan bagi pihak-pihak yang membantu pelarian Nurhadi, Ali mengatakan bahwa KPK akan menganalisis terlebih dahulu setiap keterangan para saksi yang nantinya dipanggil penyidik.
Sebelumnya, pendiri Lokataru Kantor Hukum dan HAM Haris Azhar mendesak KPK segera menyita aset miliaran rupiah milik Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono serta mengembangkan penyelidikan pada dugaan adanya TPPU yang kemungkinan besar telah dilakukan.
Dalam penelusuran yang dilakukan Lokataru, menurut dia, setidaknya telah ditemukan beberapa aset kepemilikan Nurhadi dan Rezky, yakni tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah serta empat lahan usaha kelapa sawit.
Selanjutnya, delapan badan hukum dalam berbagai jenis baik PT hingga UD, 12 mobil mewah dengan harga puluhan miliar rupiah, dan 12 jam tangan mewah dengan nilai puluhan miliar rupiah.
"Tak hanya itu, diduga masih ada aset lain yang kemungkinan besar belum terjangkau. Kami menemukan indikasi kuat ada penggunaan nama-nama di luar Nurhadi yang tercatat mengatasnamakan aset hasil tindak pidana dimaksud," ucap Haris melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (4/6).
Baca juga: 3 kendaraan mewah diamankan KPK saat tangkap Nurhadi
Nurhadi dan Rezky bersama Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada tahun 2011—2016 pada tanggal 16 Desember 2019. Ketiganya kemudian dimasukkan dalam status daftar pencarian orang (DPO) sejak Februari 2020.
Untuk tersangka Nurhadi dan Rezky telah ditangkap tim KPK di Jakarta, Senin (1/6), sementara tersangka Hiendra masih menjadi buronan.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.