Provinsi Riau (ANTARA) - Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Riau Dr Erdianto Effendi SH MHum mengatakan tersangka pelaku praktik aborsi ilegal terhadap 2.638 jabang bayi di klinik di kawasan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, bertentangan dengan UU Nomor 36Tahun 2009 tentang Kesehatan sehingga bisa diancam 10 tahun penjara.
"Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar," kata Erdianto di Pekanbaru, Jumat.
Pendapat demikian disampaikannya terkait kasus pembunuhan sebanyak 2.638 jabang bayi, di sebuah klinik aborsi ilegal di kawasan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat dan 17 tersangka telah ditangkap aparat kepolisian.
Menurut Erdianto, pada dasarnya setiap orang dilarang melakukan aborsi berdasarkan pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan. Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan hanya dalam dua kondisi.
Pertama, indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (Pasal 75 ayat [2] UU Kesehatan)
"Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (Pasal 75 ayat [3] UU Kesehatan)," katanya.
Selain itu, aborsi hanya dapat dilakukan, sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis, oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan, dengan izin suami, kecuali korban perkosaan dan penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 76 UU Kesehatan).
Berikutnya dalam Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya.
Selain itu, sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Terhadap 17 pelaku dapat diterapkan pasal 55 KUHP tentang penyertaan, dimana para pelaku bekerjasama secara sadar melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum," katanya.
"Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar," kata Erdianto di Pekanbaru, Jumat.
Pendapat demikian disampaikannya terkait kasus pembunuhan sebanyak 2.638 jabang bayi, di sebuah klinik aborsi ilegal di kawasan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat dan 17 tersangka telah ditangkap aparat kepolisian.
Menurut Erdianto, pada dasarnya setiap orang dilarang melakukan aborsi berdasarkan pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan. Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan hanya dalam dua kondisi.
Pertama, indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (Pasal 75 ayat [2] UU Kesehatan)
"Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (Pasal 75 ayat [3] UU Kesehatan)," katanya.
Selain itu, aborsi hanya dapat dilakukan, sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis, oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan, dengan izin suami, kecuali korban perkosaan dan penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 76 UU Kesehatan).
Berikutnya dalam Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya.
Selain itu, sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Terhadap 17 pelaku dapat diterapkan pasal 55 KUHP tentang penyertaan, dimana para pelaku bekerjasama secara sadar melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum," katanya.