Edy Supriatna Sjafei
Mekkah (ANTARA) - Tidak terasa pelaksanaan ritual haji 1431 H/2010 M segera berakhir, dan jemaah haji Indonesia yang berjumlah 221 ribu jiwa "sesuai quota" akan kembali ke Tanah Air secara bertahap mulai sekitar 20 November 2010.
Bagi jemaah haji Indonesia, ada catatan yang bisa dijadikan renungan dan diaplikasikan dalam kehidupan sosial dalam suasana keprihatinan di Tanah Air, menyangkut bencana alam tsunami, banjir, gunung meletus dan gempa bumi.
Bagi seorang muslim, yang baru selesai menunaikan ibadah haji, semua peristiwa memilukan tersebut tentu harus dimaknai dengan sikap positif karena hal itu menyangkut kemabruran haji.
KH Hasyim Muzadi dalam khotbah wukuf di Padang Arafah pada 15 Nopember mengatakan, siapa pun yang melaksanakan ibadah haji ingin memperoleh kemabruran, sebagai tanda diterimanya ibadah mereka, oleh Allah SWT.
Mabrur itu sendiri, kata Hasyim yang juga menjadi naib amirul haj, mengandung pengertian dibebaskannya seseorang dari segala dosa masa silam.
Balasan mabrur adalah surga. Tapi, di antara jemaah lupa bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kebabruran itu.
Syarat itu, kata mantan ketua Nahdlatul Ulama (NU) tersebut adalah menjaga niat dan bersihnya hati.
Untuk ini bukan pekerjaan ringan, karena hati itu setiap saat bisa diganggu oleh kepentingan nafsu dan pengaruh lingkungan.
Syarat lainnya adalah pelaksanaan manasik (aturan hukum) haji yang benar, tidak merusak rukun.
Bila melanggar wajib, harus ada tebusan. Menurut syariat, tebusan itu bias berupa puasa atau amal sosial.
Sedangkan kesunatan haji merupakan pengembangan dari yang rukun dan wajib, sekalipun tidak mengganggu keabsahan haji.
"Allah selalu menepati janjinya, tinggal kita apakah bisa memenuhi syarat untuk meraih janji itu," katanya.
Syarat lainnya adalah bekal yang halal dan tidak bercampuran hal-hal yang syubhat.
Jika dilihat realitasnya, tidak satu pihak pun dapat mengetahui hakikat seseorang yang menjalani ibadah haji, apakah memperoleh mabrur atau tidak.
Sebab, hakikat itu hanya Allah yang mengetahui, sedangkan manusia hanya berdoa dan berusaha secara optimal.
Menurut Hasyim, Allah SWT memberi tanda-tanda kemabruran melalui keadaan orang itu dalam hubungan "hablun minallah dan hablun minannas".
Pendekatan diri (taqorrub) kepada Allah akan melahirkan perbaikan kondisi dan gerak batin seseorang yang berpotensi membentuk karakter lebih baik.
Dengan demikian akan memudahkan seorang muslim untuk membangun kesalehan pribadinya menuju kesalehan social.
"Jadi, kemabruran adalah rekontruksi manusia lahir batin yang dampaknya akan positif dalam pergaulan di dunia, sekaligus khusnul khotimah menuju akhirat," kata Hasyim Muzadi.
Indikator mabrur
Untuk menentukan kualitas haji mabrur bagi seseorang tak bisa menggunakan parameter wujud fisik, misalnya sekembalinya dari tanah suci lantas orang bersangkutan rajin pergi ke masjid, kerap berzikir atau rajin mendoakan seseorang yang tengah tertimpa musibah.
Juga tak bisa menggunakan pendekatan pandangan keseharian, karena bisa saja diam-diam orang yang baru kembali di Tanah Air kembali giat melakukan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Para ulama menyebutkan bahwa haji mabrur itu memiliki indikator, antara lain patuh melaksanakan perintah Allah SWT, melaksanakan sholat, konsekuen membayar zakat.
Juga sungguh-sungguh membangun keluarga sakinah mawaddah dan wa rahmah, selalu rukun dengan sesama umat manusia, sayang kepada sesama makhluk Allah SWT.
Selain itu juga konsekuen meninggalkan larangan Allah SWT, terutama dosa-dosa besar, seperti syirik, riba, judi, zina, khamr, korupsi, membunuh orang, bunuh diri, bertengkar, menyakiti orang lain, khurafat, serta bid`ah.
Gemar melakukan ibadah wajib, sunat dan amal shalih lainnya serta berusaha meninggalkan perbuatan yang makruh dan tidak bermanfaat.
Aktif berkiprah dalam memperjuangkan, mendakwahkan Islam dan istiqamah serta sungguh-sungguh dalam melaksanakan amar maruf dengan cara yang maruf, melaksanakan nahi munkar tidak dengan cara munkar.
Memiliki sifat dan sikap terpuji seperti sabar, syukur, tawakkal, tasamuh, pemaaf, dan tawadlu.
Malu kepada Allah SWT utk melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Semangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam.
Haji mabrur juga bila bekerja keras dan tekun untuk memenuhi keperluan hidup dirinya, keluarganya dan dalam rangka membantu orang lain serta berusaha untuk tidak membebani dan menyulitkan orang lain.
Cepat melakukan tobat apabila terlanjur melakukan kesalahan dan dosa, tidak membiasakan diri proaktif dengan perbuatan dosa, tidak mempertontonkan dosa dan tidak betah dalam setiap aktivitas berdosa.
Dan yang lebih penting lagi, sungguh-sungguh memanfaatkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk menolong orang lain dan menegakkan "Izzul Islam wal Muslimin".
Jadi, menilai haji mabrur itu sungguh sulit. Apalagi bagi orang bersangkutan untuk menjalankannya. Namun demikian, upaya memenuhi seluruh indikator tersebut mutlak diperjuangkan dan dicapai.
Sama halnya seorang atlet, agar memperoleh fisik kuat dan berprestasi di ajang pertandingan tentu harus banyak berlatih.
Bagi seorang yang sudah berhaji, bagi yang mau belajar dengan tanda-tanda kebesaran Allah, di tanah suci Madinah, Mekkah, Arafah dan Mina, dia memperoleh pembelajaran dan gemblengan langsung oleh Allah.
Karena itu, sekembalinya di tanah air orang yang telah berhaji diharapkan menjadi pembawa rahmat bagi semua umat di sekitarnya.(*)