Pamekasan (ANTARA) - Direktur Lembaga Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan Sekartaji Bety Wirandini menyatakan, pemberitaan tidak ramah anak di media massa bagi anak di bawah umur yang terlibat kasus kriminal berpotensi merusak masa depan anak.
"Jika anak sebagai pelaku kejahatan identitasnya sudah diketahui masyarakat, apalagi diberitakan di media massa dengan nama dan alamat lengkap, maka akan mendapat pelabelan atau stigma negatif masyarakat terhadap anak tersebut. Ia akan selalu dinilai, meskipun sudah berusaha untuk berubah," kata Bety dalam dialog bertajuk "Media Massa dan Pelaku Kriminal Anak" yang digelar oleh Komunitas Masyarakat Pers di Pamekasan, Sabtu.
Bety mengatakan, pelabelan negatif pada anak di bawah umur pelaku tindak pidana kriminal yang namanya dipublikasikan dengan jelas di media massa itu, akan tetap melekat sampai yang bersangkutan dewasa karena beritanya menyebar luas.
Apalagi, sambung mantan Pengurus Besar Korp HMI-Wati (PB KOHATI) ini, berita tak ramah anak yang terjadi di Pamekasan kini banyak menyebar di berbagai media sosial, dan diunggah ulang oleh para pemilik akun media sosial.
Jika hal itu telah terjadi, maka, sambung Bety, pelaku kriminal anak juga berpotensi dapat ditolak oleh lingkungan, tempat tinggal, maupun sekolah.
"Dengan demikian, maka, anak itu akan sulit mengembangkan diri, apalagi mendapat pekerjaan nantinya, karena stigma negatif yang telah tersiar di pemberitaan media massa," katanya.
Bety yang juga mantan Ketua Kohati Cabang Bangkalan ini lebih lanjut menjelaskan, seorang anak yang terlibat dalam kasus kriminal sejatinya belum bisa disebut "penjahat", karena yang bersangkutan belum bisa mengambil keputusan sendiri.
Terkadang, tindakan yang dilakukan sang anak, karena terpengaruh lingkungan, seperti teman dan tempat dimana yang bersangkutan biasa bersosialisasi.
"Jadi pihak kepolisian atau media massa sepatutnya memperhatikan kode etik serta aturan-aturan mengenai perlindungan anak, baik sebagai korban, maupun sebagai pelaku," ujar Bety.
Terkait rilis pemberitaan media massa tak ramah anak dalam kasus pencurian kotak amal masjid di Pamekasan yang menyebutkan dengan jelas nama dan alamat tersangka pelaku kriminal anak yang masih di bawah umur, menurut Bety Wirandini, seharusnya tidak terjadi.
Media dan institusi aparat penegak hukum, yakni Polres, menurut dia, seharusnya memperhatikan dampak lanjutannya dan masa depan anak yang terlibat dalam kriminal itu.
"Ini merupakan tanggung jawab bersama semua elemen masyarakat, baik insan pers ataupun aparat penegak hukum," katanya, menjelaskan.
"Jika anak sebagai pelaku kejahatan identitasnya sudah diketahui masyarakat, apalagi diberitakan di media massa dengan nama dan alamat lengkap, maka akan mendapat pelabelan atau stigma negatif masyarakat terhadap anak tersebut. Ia akan selalu dinilai, meskipun sudah berusaha untuk berubah," kata Bety dalam dialog bertajuk "Media Massa dan Pelaku Kriminal Anak" yang digelar oleh Komunitas Masyarakat Pers di Pamekasan, Sabtu.
Bety mengatakan, pelabelan negatif pada anak di bawah umur pelaku tindak pidana kriminal yang namanya dipublikasikan dengan jelas di media massa itu, akan tetap melekat sampai yang bersangkutan dewasa karena beritanya menyebar luas.
Apalagi, sambung mantan Pengurus Besar Korp HMI-Wati (PB KOHATI) ini, berita tak ramah anak yang terjadi di Pamekasan kini banyak menyebar di berbagai media sosial, dan diunggah ulang oleh para pemilik akun media sosial.
Jika hal itu telah terjadi, maka, sambung Bety, pelaku kriminal anak juga berpotensi dapat ditolak oleh lingkungan, tempat tinggal, maupun sekolah.
"Dengan demikian, maka, anak itu akan sulit mengembangkan diri, apalagi mendapat pekerjaan nantinya, karena stigma negatif yang telah tersiar di pemberitaan media massa," katanya.
Bety yang juga mantan Ketua Kohati Cabang Bangkalan ini lebih lanjut menjelaskan, seorang anak yang terlibat dalam kasus kriminal sejatinya belum bisa disebut "penjahat", karena yang bersangkutan belum bisa mengambil keputusan sendiri.
Terkadang, tindakan yang dilakukan sang anak, karena terpengaruh lingkungan, seperti teman dan tempat dimana yang bersangkutan biasa bersosialisasi.
"Jadi pihak kepolisian atau media massa sepatutnya memperhatikan kode etik serta aturan-aturan mengenai perlindungan anak, baik sebagai korban, maupun sebagai pelaku," ujar Bety.
Terkait rilis pemberitaan media massa tak ramah anak dalam kasus pencurian kotak amal masjid di Pamekasan yang menyebutkan dengan jelas nama dan alamat tersangka pelaku kriminal anak yang masih di bawah umur, menurut Bety Wirandini, seharusnya tidak terjadi.
Media dan institusi aparat penegak hukum, yakni Polres, menurut dia, seharusnya memperhatikan dampak lanjutannya dan masa depan anak yang terlibat dalam kriminal itu.
"Ini merupakan tanggung jawab bersama semua elemen masyarakat, baik insan pers ataupun aparat penegak hukum," katanya, menjelaskan.